Contact Form

 

Tsunami Aceh, 15 tahun kemudian: 'Saya yakin putra saya masih hidup, dan usianya sekarang 21 tahun'


JAKARTA, KOMPAS.com - Tepat hari ini, 26 Desember 15 tahun lalu, gempa besar dengan magnitudo 9,3 mengakibatkan tsunami yang melanda wilayah Aceh .

Kala itu, masyarakat Aceh yang wilayahnya masih bernama Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) merasakan kepedihan mendalam akibat kehilangan keluarga, kerabat, tetangga, dan teman dekat.

Berikut sejumlah fakta pasca-peristiwa tersebut yang berhasil dihimpun Kompas.com :

Melansir data Bank Dunia, jumlah korban mencapai 167.000 orang, baik itu yang meninggal dunia maupun hilang. Selain itu, tak kurang dari 500.000 orang kehilangan tempat tinggal.

Jumlah korban jiwa itu belum termasuk korban tsunami di wilayah lain.

Seperti diketahui, tsunami di Aceh diakibatkan gempa dangkal di laut bermagnitudo 9,3, yang jaraknya sekitar 149 kilometer dari Meulaboh.

Secara keseluruhan ada 14 negara yang terkena dampak tsunami dengan jumlah korban mencapai 230.000 jiwa.

Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono pun menetapkan tiga hari masa berkabung pasca kejadian pada 26 Desember 2004 silam.

Pasca-kejadian, kendali pemerintahan di Aceh diambil alih pemerintah pusat.

Hal itu berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2004 tentang Langkah-langkah Penanganan Bencana Alam Gempa Bumi dan Tsunami di Provinsi NAD dan Sumatera Utara.

Dilansir dari dokumentasi Harian Kompas , dalam instruksi itu disebutkan seluruh pejabat eselon I Departemen Dalam Negeri (Depdagri) harus melakukan dukungan langkah-langkah komprehensif untuk bencana alam di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara (Sumut).

Baca juga: Tangis Haru Mengenang Para Korban Tsunami Aceh, 14 Tahun Lalu…

Langkah itu meliputi penanganan darurat, pemulihan mental, rehabilitasi, serta dukungan penyelenggaraan pemerintah daerah (pemda) terutama di NAD.

Untuk itu dibentuk Tim Asistensi Pemulihan Pemda NAD dan Sumut yang beranggotakan pejabat eselon I dan II. Dalam pelaksanaannya, tim asistensi dibantu para praja tingkat III (nindya praja) dari Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).

Tsunami Aceh terjadi akibat interaksi lempeng Indo-Australia dan Eurasia. Interaksi ini menimbulkan gempa bermagnitudo 9,3 di dasar laut pada kedalaman 10 kilometer.

Besarnya magnitudo tersebut menjadikan gempa ini sekaligus sebagai bencana paling mematikan di abad modern.

Tak sampai di sana. Sebelum gempa terjadi, juga diikuti gempa sebelumnya dengan durasi antara 8-10 menit, yang sekaligus menorehkan sejarah tersendiri.

Baca juga: Pada Peringatan 14 Tahun Tsunami Aceh, Terselip Doa untuk Banten dan Lampung

Setelah rentetan gempa panjang, permukaan air laut sempat surut. Hal itu menjadi tanda permulaan sebelum tsunami menerjang wilayah pesisir pantai.

Dengan kecepatan gelombang hampir 360 kilometer per jam, tinggi tsunami Aceh diperkirakan mencapai 30 meter.

Hal itu sama saja seperti tinggi 17 kali dari tinggi rata-rata orang dewasa dengan ketinggian rata-rata 170 sentimeter bila berdiri sejajar ke atas.

Namun, ketinggian gelombang ini tidaklah sama untuk semua wilayah.

Baca juga: 26 Desember 2004, Gempa dan Tsunami Aceh Menimbulkan Duka Indonesia..

Pemerintah saat itu menaksir kerugian akibat tsunami mencapai puluhan triliun. Hal itu lantaran porak-porandanya ratusan ribu rumah serta fasilitas umum dan sosial masyarakat.

Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah akhirnya melakukan pinjaman ke Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB).

Menteri Pekerjaan Umum saat itu, Djoko Kirmanto menyatakan, pemerintah telah menetapkan tiga tahap program pembenahan Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) pascagempa.

Pertama, program tanggap darurat yang dilakukan sampai akhir tahun 2005.

Kedua, program rehabilitasi yang dimulai sejak pertengahan tahun 2005 sampai pertengahan tahun 2006.

Ketiga, program rekonstruksi yang dikerjakan sampai akhir tahun 2009.




Saudah dan suaminya menunjukkan foto putra mereka, Muhammad Siddiq, yang tersapu gelombang tsunami pada tanggal 26 Desember 2004.

Seorang ibu yang kehilangan dua orang anaknya dalam bencana tsunami dahsyat di Aceh pada tahun 2004 yakin bahwa salah satu di antara mereka, putra bungsunya, masih hidup dan ia pun tak henti-hentinya mencari. Hidayatullah, wartawan di Aceh yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, mencari keberadaan keluarga Saudah yang pernah menjadi narasumber BBC lima tahun silam. Waktu itu, Saudah, warga Punge Blang Cut, Banda Aceh, yakin betul anaknya masih hidup sehingga terus berharap dan terus mencarinya. Saudah menempati rumah di pinggir pantai dan di depan rumahnya, di lahan sekitar 200 meter persegi, terdapat dua unit kapal yang bersandar secara paksa setelah diseret gelombang tsunami Aceh tahun 2004, yakni Kapal Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) dan kapal Administrasi Penjaga Laut Malahayati.

Kapal Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) dan kapal Administrasi Penjaga Laut Malahayati mendarat di depan rumah Saudah ketika terjadi tsunami 2004 lalu.

Saudah yang kini telah berusia 59 tahun, mengaku ingatannya mulai memudar, matanya kini telah mulai rabun karena dimakan usia. Namun ia masih ingat betul bagaimana gemuruh gelombang pasang tsunami menghantam badannya kala itu. "Saat itu saya mendengar suara riuh, saya pikir itu hanya suara angin, tapi setelah keluar dari rumah terlihat jelas air setinggi rumah tingkat dua sedang bersiap untuk menghantam rumah dan apa yang ada di sekitarnya," kenang Saudah.

Saudah ketika ditemui di rumahnya pada tanggal 23 Desember 2014, menjelang peringatan 10 tahun tsunami Aceh.

Saudah adalah seorang ibu dengan delapan orang anak. Dari kedelapan buah hatinya itu, dua orang menjadi korban tsunami 15 tahun silam, anak ketiga Titin Agustina dan putra bungsunya Muhammad Siddiq. Saat tsunami datang putra bungsunya masih berusia enam tahun. "Begitu melihat air saya lari sambil menggendong Siddiq. Berkali-kali anak itu minta turun dari gendongan agar bisa berlari sendiri, tapi saya tidak pernah melepasnya dari pelukan, sampai hantaman air yang memisahkan kami," kisah Saudah dengan suara serak dan matanya yang mulai sembab. Hampir sepanjang wawancara ia menangis, bahkan wawancara sempat dihentikan beberapa kali sambil menunggu Saudah menyeka air mata. Dalam gempa dan tsunami yang terjadi di Provinsi Aceh pada tahun 2004 lalu, sedikitnya 280.000 jiwa menjadi korban.

Rohmatin Bonasir Wartawan BBC News Indonesia Saya bertemu Saudah secara tidak sengaja ketika mengambil gambar dua kapal yang terdampar di depan rumahnya menjelang peringatan 10 tahun tsunami Aceh. Ia duduk termenung di teras rumahnya yang bercat hijau. Dengan derai air mata, ia pun mengungkapkan derita dan kepedihan hati sejak kehilangan sang putra, Muhammad Siddiq, dari dekapan untuk selamanya. Saudah mengaku menyesal mengapa ia tidak menuruti kemauan Siddiq untuk turun dari gendongan agar bisa berlari dari kejaran ombak. Rumahnya yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari pinggir pantai juga hanyut. Tak genap satu tahun pasca tsunami di atas tanah itu pula, Saudah bersama keluarga kembali mendirikan rumah meskipun lokasi itu rawan tsunami. Langkah tersebut dilakukan semata atas keyakinan putra bungsunya masih hidup dan suatu hari mungkin akan mencari keluarganya di tempat yang sama. Apa yang ia ceritakan sekarang konsisten dengan penuturannya pada peringatan tsunami tahun 2014 lalu.

Korban-korban tsunami dimakamkan di belasan kuburan massal yang tersebar di seluruh Aceh. Pada tahun 2010, korban yang belum terindentifikasi mencapai 170.000 jiwa. Menurut Asisten II Pemerintah Provinsi Aceh, Teuku Ahmad Dadek, hingga kini masih ada 70.000 nama yang belum diketahui nasibnya. Setiap momentum peringatan tsunami yang menyapu daratan Aceh pada 26 Desember, Saudah dan keluarga selalu datang ke kuburan massal yang berada di kawasan pantai Lampuuk, Aceh Besar, untuk menziarahi anak ketiganya yang menjadi korban kala itu. Mereka sekeluarga hanya datang berziarah ke satu tempat ini, karena alasan sebuah mimpi yang meyakinkan mereka bahwa anak ketiganya berada di area kuburan massal korban tsunami tersebut. "Titin sering datang dalam mimpi adik-adiknya. Ia meminta kami untuk sering datang dan menjenguk dia di kuburan massal pantai Lampuuk, karena itu kami hanya datang ke satu tempat," kata Saudah. 'Masih ada harapan' Saudah mengatakan jika masih hidup, anak bungsunya kini sudah berusia 21 tahun. Sebuah foto pernikahan anak pertamanya di Medan, Sumatera Utara pada tahun 2003 merupakan satu-satunya dokumen yang ada Muhammad Siddiq didalamnya. "Dulu kami sudah mencarinya ke mana-mana, sampai ke sebuah yayasan panti asuhan di Sumatera Utara, tapi belum berhasil menemukannya. Namun ayahnya pernah bermimpi kalau Siddiq masih hidup dan dia diasuh oleh seseorang di Jakarta," kata Saudah.

Gambar yang diambil pada tanggal 28 Desember 2004 menunjukkan kerusakan skala besar di Banda Aceh, Provinsi Aceh.

Saudah sekeluarga mengaku masih mencari keberadaan anak bungsunya sampai saat ini dan mengaku tak patah arang. Bahkan abang dan kakak kandungnya amat sangat sering berselancar di media sosial untuk mencari nama yang sama dengan adiknya. "Dalam mimpi mama dan ayah masih sering menggendong kamu, bahkan baru-baru ini kamu datang kembali dalam mimpi sambil pulang ke rumah, keyakinan itulah yang kami pegang bahwa engkau masih hidup," harapnya. Di usia yang semakin lanjut, Saudah dan keluarga tidak pernah menginginkan apapun lagi, selain sebuah harapan untuk kepulangan seorang anak. "Jika kau masih hidup pulanglah anakku, mama dan ayah masih menunggu kedatanganmu. Kami begitu rindu dan ingin memeluk tubuhmu. Semoga Allah memperkenankan pertemuan kita sebelum mama dan ayah bertemu dengan ajal," isak tangis Saudah semakin tidak terbendung kala mengingat Siddiq.




FOTO: 15 Tahun Tsunami Aceh, Warga Panjatkan Doa di Kuburan Massal 26 Des 2019, 11:23 WIB Diperbarui 26 Des 2019, 11:28 WIB Sejumlah warga mendatangi Kuburan Massal Siron untuk memenjatkan doa saat peringatan 15 tahun musibah gempa dan tsunami Aceh. Photographer: Liputan6.com




“Dalam kondisi hamil itu, saya lari dari desa dan mendaki menuju ke atas bukit. Jaraknya lumayan jauh, karena kami mendaki sampai ke ujung bukit di Desa Lamguron. Mungkin karena situasi takut jadi kuat sendiri. Alhamdulillah kehendak Tuhan, saya kuat tidak kenapa-kenapa begitu juga dengan bayi di dalam perut,” cerita Nadiah pada kumparan.




YOGYAKARTA, AYOBANDUNG.COM -- Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) DIY meminta masyarakat tidak mengaitkan fenomena Gerhana Matahari Cincin (GMC) hari ini, dengan hal buruk. Hal tersebut hanya karena berbarengan dengan peringatan terjadinya tsunami Aceh 26 Desember 2004 lalu. Kepala Stasiun Geofisika BMKG DIY Agus Riyanto menjelaskan, hari ini ada tiga agenda penting yang dimiliki BMKG berkaitan dengan tiga peristiwa alam. Yaitu gerhana matahari cincin (GMC); monitoring tes bunyi sirine tsunami yang dimiliki BMKG di Pantai Glagah, Kulonprogo dan Parangtritis, Bantul; pengamatan hilal awal bulan baru Komariyah. Agus mengungkapkan, tes bunyi sirine tsunami sebetulnya merupakan agenda bulanan. Hanya saja pada hari ini agenda tersebut bertepatan dengan peringatan terjadinya tsunami Aceh pada tanggal yang sama. "Ada orang yang mengaitkan, Wah ini bersamaan dengan tsunami Aceh, ada gerhana matahari juga. Ada apa nih. Padahal tidak ada hubungannya sama sekali. Itu hoaks," kata dia, dijumpai di Kantor Stasiun Geofisika BMKG, Gamping, Sleman, DIY, Kamis (26/12/2019). Hanya saja memang, sirine tsunami sengaja dibunyikan tanggal 26 tiap bulannya, agar mengingatkan semua pihak dengan bencana tsunami Aceh. Sehingga selalu waspada dengan tanda-tanda alam. AYO BACA : Video Siaran Langsung Gerhana Matahari Cincin di 5 Tempat di Indonesia Ia mengatakan, dari laporan di lapangan, sirine di kedua pantai tadi berbunyi dan masih berfungsi dengan baik. Sirine dibunyikan diawali dengan suara announcer, yang menyatakan bahwa sirine hanya sebagai bentuk uji suara. "Jangkauan suara sirine mencapai 3-4 Kilometer, sebetulnya bisa lebih dari itu ya, karena menyesuaikan dengan panjang garis pantai kita," ungkapnya. BMKG berharap Pemda setempat bisa ikut mengupayakan mitigasi bencana. Agus mengatakan, GMC pada hari ini terjadi pada 10.56 WIB dan mencapai puncaknya pada 12.47 WIB, berakhir pada 14.28 WIB. "Tapi kalau DIY, hanya bisa berkesempatan mengamati gerhana matahari sebagian," paparnya. GMC terjadi ketika matahari, bulan, bumi tepat segaris. Tak ada dampak signifikan yang terjadi akibat GMC, bahkan dari pengamatan BMKG, cuaca saat ini masih sama dengan kemarin, berawan. AYO BACA : Waspada Solar Retinopathy, Gangguan Mata Setelah Tatap Gerhana Matahari "Di DIY hanya kebagian nampak menyaksikan GMC saja," ujarnya. Menurut Agus, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan cuaca maupun fenomena alam lain sebagai dampak gerhana hari ini. Yang dikhawatirkan justru ketika masyarakat ingin menikmati fenomena langka ini, dengan menatap langsung ke matahari. BMKG menyarankan agar masyarakat menggunakan filter khusus matahari. Pasalnya, menatap langsung matahari dengan mata tanpa pelindung khusus, bisa menyebabkan kebutaan. "Kalau mau melihat pakai baskom diisi air juga bisa jadi salah satu cara. Itupun kalau GMT, kalau seperti sekarang tidak terlalu jelas," ujarnya. Kepala Seksi Observasi Stasiun Geofisika BMKG DIY, Budiarta mengatakan, GMC berlangsung sekitar 11 tahun sekali. Tetapi untuk GMC hari ini, di Jawa hanya bisa teramati gerhana matahari sebagian. Koordinator Satlinmas Rescue Istimewa Wilayah V Pantai Glagah, Aris Widiatmoko mengatakan, gelombang laut di laut selatan Jawa, masih terpantau normal, seperti laporan yang dipublikasikan oleh BMKG. Tidak ada pengaruh signifikan dari GMC terhadap gelombang laut. Selain itu, sirine EWS tsunami di pantai tersebut juga berada dalam kondisi baik. AYO BACA : 3 Gerhana Matahari pada Zaman Rasulullah SAW

Berita ini merupakan hasil kerja sama antara Ayo Media Network dan Suara.

Isi tulisan di luar tanggung jawab Ayo Media Network.




SERAMBINEWS.COM - Muhammad Idris (36) warga Peureulak Aceh Timur dan keluarganya pada setiap 26 Desember berkunjung ke Kajhu, Baitussalam Aceh Besar melakukan doa bersama.

Namun kunjungan kali ini pada tahun 2019 tidak ditemani ibunya Ainsyah (84) karena dalam keadaan sakit.

“Kali ini saya bersama istri saja ke Kahju, abang sempat ikut tidak,” tanyanya kepada Yusmandin Idris yang juga wartawan Serambinews.com (Serambi Indonesia), Rabu (25/12/2019).

Kunjungan setiap 26 Desember selain berdoa di pertapakan rumah juga mengenang musibah 15 tahun lalu.

Musibah yang merenggut nyawa kakaknya Zawiyah Idris (guru MTsN Model Banda Aceh) , suami Zawiyah Amiruddin Idrus (karyawan Serambi) dan adik kandung Naslimah serta tiga keponakannya dan mertua dari Zawiah.

Mereka waktu itu menempati satu rumah BTN di Kompleks Kajhu, Baitussalam, Aceh Besar.

•  Anak Ini Meninggal Dalam Pelukan Ibunya, Dikeroyok dan Ditusuk di Lokasi Pesta

Muhammad Idris menuturkan, saat musibah terjadi, Zawiyah dan keluarganya tinggal di Kahju, Kecamatan Baitusallam.

Ada satu kisah yang masih diingatnya pada malam tsunami atau sebelum musibah terjadi.

Waktu itu kakaknya (Zawiyah) mengatakan kepada Muhammad, nanti usai haji adek (Muhammad) tinggal di rumah saja, kami sekeluarga akan pulang semua karena kami sudah sediakan satu ekor lembu untuk Qurban menyambut lebaran haji.




JAKARTA - Berbagai peristiwa penting terjadi pada 26 Desember. Salah satu kejadian yang masih terngiang di ingatan masyarakat Indonesia adalah gempa bumi 9,0 skala Richter mengguncang Aceh diikuti gelombang tsunami pada tahun 2004. Akibatnya, ratusan ribu nyawa manusia melayang tersapu gulungan ombak.

Berikut beberapa peristiwa bersejarah pada 26 Desember, sebagaimana dikutip Okezone dari laman Wikipedia:

1859 - Kapal Onrust milik Belanda ditenggelamkan laskar pengikut Pangeran Antasari dalam Perang Banjar di Lewu Lutung Tuwur, Barito Utara. Perang itu dipimpin para panglima Dayak, di antaranya adalah Panglima Sogo.

Pada 1990 pemerintah Soviet praktis telah kehilangan seluruh kendali terhadap kondisi-kondisi ekonomi. Pengeluaran pemerintah meningkat tajam karena semakin meningkatnya usaha-usaha yang tidak menguntungkan yang membutuhkan dukungan negara sementara subsini harga konsumen juga berlanjut.

Perolehan pajak menurun karena perolehan dari penjualan vodka merosot drastis karena kampanye anti alkohol dan karena pemerintahan republik dan pemerintah-pemerintah setempat menahan perolehan pajak dari pemerintah pusat di bawah semangat otonomi regional.

Pada 1991, pemerintahan-pemerintahan komunis Bulgaria, Cekoslowakia, Jerman Timur, Hongaria, Polandia dan Rumania yang dipaksakan setelah Perang Dunia II runtuh sementara revolusi melanda Eropa Timur.

Uni Soviet juga mulai mengalami pergolakan ketika akibat-akibat politik dari glasnost dirasakan getarannya di seluruh negeri. Meskipun dilakukan upaya-upaya untuk meredamnya, ketidakstabilan di Eropa Timur mau tidak mau menyear ke negara-negara di lingkungan Uni Republik Sosialis Soviet. Dalam pemilu-pemilu untuk dewan-dewan regional di republik-republik Uni Soviet, kaum nasionalis maupun para tokoh pembaruan yang radikal menyapu kursi di dewan.

2003 - Gempa bumi tektonik berkekuatan 6.6 SR mengguncang dan meluluhlantakkan kota kuno Bam di Iran Selatan dan situs arkeologi Citadel Arg-é Bam. Korban jiwa lebih dari 10.000 orang. 2004 - Gempa bumi dahsyat terjadi di Samudra Hindia, lepas pantai Aceh. Gempa tektonik berkekuatan 9.0 SR menyebabkan gelombang tsunami yang menewaskan sedikitnya 170.000 jiwa di belasan negara di Asia Tenggara, Asia Selatan dan pantai Afrika Timur. Peristiwa itu ditetapkan menjadi bencana nasional karena roda pemerintahan daerah tak berjalan.

2012 - Shinzō Abe kembali terpilih sebagai Perdana Menteri Jepang, menggantikan Yoshihiko Noda.

Dia adalah seorang politikus Jepang yang menjabat sebagai Perdana Menteri Jepang dari 26 September 2006 hingga 26 September 2007. Sebelumnya ia adalah Sekretaris Kabinet Jepang dari Perdana Menteri Junichiro Koizumi. (qlh)




Yusmandin Idris, wartawan Serambi Indonesia yang kini bertugas di Bireuen tak bisa melupakan kisah seusai Gempa dan Tsunami mengguncang Aceh pada 26 Desember 2004.

Ia berangkat ke Banda Aceh untuk mencari adiknya yang berdomisili di rumah BTN di Kompleks Kajhu, Baitussalam, Aceh Besar.

Dalam kondisi tak menentu seusai gempa dan tsunami Aceh, Yusmandin Idris berupaya keras mencari adiknya yang sudah berkeluarga.

Bahkan terus mencari di kawasan Banda Aceh dan Aceh Besar hingga sampai ke Medan, Sumatera Utara.

Namun, upayanya tak berhasil hingga hanya bisa mengirim doa untuk adik dan keluarganya, terutama tiap 26 Desember .

Muhammad Idris (36) warga Peureulak Aceh Timur dan keluarganya pada setiap 26 Desember berkunjung ke Kajhu, Baitussalam Aceh Besar melakukan doa bersama.

Namun kunjungan kali ini pada tahun 2019 tidak ditemani ibunya Ainsyah (84) karena dalam keadaan sakit.

“Kali ini saya bersama istri saja ke Kajhu, abang sempat ikut tidak,” tanyanya kepada Yusmandin Idris yang juga wartawan Serambinews.com (Serambi Indonesia), Rabu (25/12/2019).

Kunjungan setiap 26 Desember selain berdoa di pertapakan rumah juga mengenang musibah 15 tahun lalu.

Musibah yang merenggut nyawa kakaknya Zawiyah Idris (guru MTsN Model Banda Aceh) , suami Zawiyah Amiruddin Idrus (karyawan Serambi) dan adik kandung Naslimah serta tiga keponakannya dan mertua dari Zawiah.




TRIBUNNEWS.COM, BANDA ACEH - Kapal Induk USS Abraham Lincoln , Amerika Serikat punya kisah tersendiri yang tidak dapat dipisahkan dengan bencana gempa dan tsunami yang menerjang Aceh pada 26 Desember 2004, tepat 15 tahun silam.

Tentara angkatan laut yang bermarkas di kapal induk kelima kelas Nimitz di Angkatan Laut Amerika Serikat ini termasuk penyuplai bantuan pertama kepada para korban tsunami di Aceh .

Melalui USS Abraham Lincoln , tentara Amerika Serikat dengan mudah dapat menjangkau wilayah yang terdampak bencana tsunami.

Seperti diketahui saat bencana tsunami terjadi, Kapal Induk USS Abraham Lincoln melakukan lego jangkar di wilayah perairan Aceh dalam sebuah misi.

Peristiwa bencana tsunami dengan cepat terdengar oleh awak kapal.

Beberapa heli dari US Navy yang berpangkalan di kapal induk USS Abraham Lincoln segera melakukan misi kemanusiaan menyuplai bantuan kepada para korban.

Pesawat asing ketika itu dapat dengan bebas memasuki wilayah udara Aceh setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat itu menetapkan bencana gempa dan tsunami Aceh sebagai bencana nasional.

TNI mengeluarkan Notice to Airman (Notam) yang mengisyaratkan ruang udara Aceh terbuka bagi pesawat-pesawat asing serta masyarakat internasional.

Mereka dapat langsung terbang dari negaranya menuju Aceh dalam misi kemanusiaan, tanpa harus memenuhi syarat keimigrasian normal.

Kurang dari 24 jam setelah Notice to Airman (Notam) tersebut diberlakukan, pesawat terbang asing dari berbagai negara segera mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Aceh melalui bandara Sultan Iskandar Muda.




Safri, Didin dan Wak Gel berada di luar gedung menatap kosong kantor mereka yang remuk. Tak lama kemudian, orang-orang berlarian sambil meneriakkan, “air laut naik, air laut naik.” Safri kaget, tak percaya, masih berusaha melihat beberapa aset di bekar reruntuhan gedung. “Saya lalu melihat air keluar dari got, memenuhi jalan, ini serius,” kisahnya kepada acehkini , Kamis (25/12/2019).



Total comment

Author

fw

0   comments

Cancel Reply