Contact Form

 

Hari Ini 15 Tahun Lalu Tsunami Aceh, Begini Potret Terbaru Gadis 11 Tahun yang Ditolong Wartawan BBC


JAKARTA, KOMPAS.com - Tepat hari ini, 26 Desember 15 tahun lalu, gempa besar dengan magnitudo 9,3 mengakibatkan tsunami yang melanda wilayah Aceh .

Kala itu, masyarakat Aceh yang wilayahnya masih bernama Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) merasakan kepedihan mendalam akibat kehilangan keluarga, kerabat, tetangga, dan teman dekat.

Berikut sejumlah fakta pasca-peristiwa tersebut yang berhasil dihimpun Kompas.com :

Melansir data Bank Dunia, jumlah korban mencapai 167.000 orang, baik itu yang meninggal dunia maupun hilang. Selain itu, tak kurang dari 500.000 orang kehilangan tempat tinggal.

Jumlah korban jiwa itu belum termasuk korban tsunami di wilayah lain.

Seperti diketahui, tsunami di Aceh diakibatkan gempa dangkal di laut bermagnitudo 9,3, yang jaraknya sekitar 149 kilometer dari Meulaboh.

Secara keseluruhan ada 14 negara yang terkena dampak tsunami dengan jumlah korban mencapai 230.000 jiwa.

Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono pun menetapkan tiga hari masa berkabung pasca kejadian pada 26 Desember 2004 silam.

Pasca-kejadian, kendali pemerintahan di Aceh diambil alih pemerintah pusat.

Hal itu berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2004 tentang Langkah-langkah Penanganan Bencana Alam Gempa Bumi dan Tsunami di Provinsi NAD dan Sumatera Utara.

Dilansir dari dokumentasi Harian Kompas , dalam instruksi itu disebutkan seluruh pejabat eselon I Departemen Dalam Negeri (Depdagri) harus melakukan dukungan langkah-langkah komprehensif untuk bencana alam di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara (Sumut).

Baca juga: Tangis Haru Mengenang Para Korban Tsunami Aceh, 14 Tahun Lalu…

Langkah itu meliputi penanganan darurat, pemulihan mental, rehabilitasi, serta dukungan penyelenggaraan pemerintah daerah (pemda) terutama di NAD.

Untuk itu dibentuk Tim Asistensi Pemulihan Pemda NAD dan Sumut yang beranggotakan pejabat eselon I dan II. Dalam pelaksanaannya, tim asistensi dibantu para praja tingkat III (nindya praja) dari Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).

Tsunami Aceh terjadi akibat interaksi lempeng Indo-Australia dan Eurasia. Interaksi ini menimbulkan gempa bermagnitudo 9,3 di dasar laut pada kedalaman 10 kilometer.

Besarnya magnitudo tersebut menjadikan gempa ini sekaligus sebagai bencana paling mematikan di abad modern.

Tak sampai di sana. Sebelum gempa terjadi, juga diikuti gempa sebelumnya dengan durasi antara 8-10 menit, yang sekaligus menorehkan sejarah tersendiri.

Baca juga: Pada Peringatan 14 Tahun Tsunami Aceh, Terselip Doa untuk Banten dan Lampung

Setelah rentetan gempa panjang, permukaan air laut sempat surut. Hal itu menjadi tanda permulaan sebelum tsunami menerjang wilayah pesisir pantai.

Dengan kecepatan gelombang hampir 360 kilometer per jam, tinggi tsunami Aceh diperkirakan mencapai 30 meter.

Hal itu sama saja seperti tinggi 17 kali dari tinggi rata-rata orang dewasa dengan ketinggian rata-rata 170 sentimeter bila berdiri sejajar ke atas.

Namun, ketinggian gelombang ini tidaklah sama untuk semua wilayah.

Baca juga: 26 Desember 2004, Gempa dan Tsunami Aceh Menimbulkan Duka Indonesia..

Pemerintah saat itu menaksir kerugian akibat tsunami mencapai puluhan triliun. Hal itu lantaran porak-porandanya ratusan ribu rumah serta fasilitas umum dan sosial masyarakat.

Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah akhirnya melakukan pinjaman ke Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB).

Menteri Pekerjaan Umum saat itu, Djoko Kirmanto menyatakan, pemerintah telah menetapkan tiga tahap program pembenahan Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) pascagempa.

Pertama, program tanggap darurat yang dilakukan sampai akhir tahun 2005.

Kedua, program rehabilitasi yang dimulai sejak pertengahan tahun 2005 sampai pertengahan tahun 2006.

Ketiga, program rekonstruksi yang dikerjakan sampai akhir tahun 2009.




TRIBUNNEWS.COM - Tepat hari ini, Kamis 26 Desember 2019 menjadi hari peringatan terjadinya bencana tsunami Aceh yang terjadi 2004 silam.

Setelah 15 tahun berlalu, para korban selamat pun kembali bangkit dan menata hidupnya kembali.

Salah satunya adalah Mawardah Priyanka , gadis korban tsunami Aceh yang pernah viral karena ditolong seorang wartawan BBC bernama Andrew Harding.

Mawardah Priyanka baru berusia 11 tahun ketika tsunami meluluhlantakkan bumi Serambi Mekkah dan merenggut nyawa kedua orangtuanya.

Mawardah Priyanka masih terbilang beruntung karena kakak kandungnya juga ditemukan selamat.

Ia juga perlahan bangkit setelah dipertemukan dengan Andrewa Harding yang sudah dianggapnya seperti orangtua angkat.

•   Setahun Tsunami Banten, Begini Kabar Terbaru Artis Keluarga Korban, Ifan Seventeen hingga Ade Jigo

Seorang wartawan BBC , bernama Andrew Harding, yang saat itu sedang bertugas di   Aceh, bertemu pertama kalinya dengan Mawardah.

Dikutip dari laman BBC Indonesia pada Desember 2014 silam, Andrew menceritakan kembali kisahnya saat pertama kali dengan Mawardah.

"Di tenda darurat pengungsi yang didirikan dekat masjid, saya pertama kali bertemu dengan Mawardah Priyanka . Saat itu dia berusia 11 tahun, kelelahan, sangat kotor, dan sendirian.

Kedua orangtuanya meninggal karena gelombang tsunami - yang diperkirakan setinggi 35 meter - menimpa rumah mereka di desa di pesisir Lampuuk.




Saudah dan suaminya menunjukkan foto putra mereka, Muhammad Siddiq, yang tersapu gelombang tsunami pada tanggal 26 Desember 2004.

Seorang ibu yang kehilangan dua orang anaknya dalam bencana tsunami dahsyat di Aceh pada tahun 2004 yakin bahwa salah satu di antara mereka, putra bungsunya, masih hidup dan ia pun tak henti-hentinya mencari. Hidayatullah, wartawan di Aceh yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, mencari keberadaan keluarga Saudah yang pernah menjadi narasumber BBC lima tahun silam. Waktu itu, Saudah, warga Punge Blang Cut, Banda Aceh, yakin betul anaknya masih hidup sehingga terus berharap dan terus mencarinya. Saudah menempati rumah di pinggir pantai dan di depan rumahnya, di lahan sekitar 200 meter persegi, terdapat dua unit kapal yang bersandar secara paksa setelah diseret gelombang tsunami Aceh tahun 2004, yakni Kapal Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) dan kapal Administrasi Penjaga Laut Malahayati.

Kapal Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) dan kapal Administrasi Penjaga Laut Malahayati mendarat di depan rumah Saudah ketika terjadi tsunami 2004 lalu.

Saudah yang kini telah berusia 59 tahun, mengaku ingatannya mulai memudar, matanya kini telah mulai rabun karena dimakan usia. Namun ia masih ingat betul bagaimana gemuruh gelombang pasang tsunami menghantam badannya kala itu. "Saat itu saya mendengar suara riuh, saya pikir itu hanya suara angin, tapi setelah keluar dari rumah terlihat jelas air setinggi rumah tingkat dua sedang bersiap untuk menghantam rumah dan apa yang ada di sekitarnya," kenang Saudah.

Saudah ketika ditemui di rumahnya pada tanggal 23 Desember 2014, menjelang peringatan 10 tahun tsunami Aceh.

Saudah adalah seorang ibu dengan delapan orang anak. Dari kedelapan buah hatinya itu, dua orang menjadi korban tsunami 15 tahun silam, anak ketiga Titin Agustina dan putra bungsunya Muhammad Siddiq. Saat tsunami datang putra bungsunya masih berusia enam tahun. "Begitu melihat air saya lari sambil menggendong Siddiq. Berkali-kali anak itu minta turun dari gendongan agar bisa berlari sendiri, tapi saya tidak pernah melepasnya dari pelukan, sampai hantaman air yang memisahkan kami," kisah Saudah dengan suara serak dan matanya yang mulai sembab. Hampir sepanjang wawancara ia menangis, bahkan wawancara sempat dihentikan beberapa kali sambil menunggu Saudah menyeka air mata. Dalam gempa dan tsunami yang terjadi di Provinsi Aceh pada tahun 2004 lalu, sedikitnya 280.000 jiwa menjadi korban.

Rohmatin Bonasir Wartawan BBC News Indonesia Saya bertemu Saudah secara tidak sengaja ketika mengambil gambar dua kapal yang terdampar di depan rumahnya menjelang peringatan 10 tahun tsunami Aceh. Ia duduk termenung di teras rumahnya yang bercat hijau. Dengan derai air mata, ia pun mengungkapkan derita dan kepedihan hati sejak kehilangan sang putra, Muhammad Siddiq, dari dekapan untuk selamanya. Saudah mengaku menyesal mengapa ia tidak menuruti kemauan Siddiq untuk turun dari gendongan agar bisa berlari dari kejaran ombak. Rumahnya yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari pinggir pantai juga hanyut. Tak genap satu tahun pasca tsunami di atas tanah itu pula, Saudah bersama keluarga kembali mendirikan rumah meskipun lokasi itu rawan tsunami. Langkah tersebut dilakukan semata atas keyakinan putra bungsunya masih hidup dan suatu hari mungkin akan mencari keluarganya di tempat yang sama. Apa yang ia ceritakan sekarang konsisten dengan penuturannya pada peringatan tsunami tahun 2014 lalu.

Korban-korban tsunami dimakamkan di belasan kuburan massal yang tersebar di seluruh Aceh. Pada tahun 2010, korban yang belum terindentifikasi mencapai 170.000 jiwa. Menurut Asisten II Pemerintah Provinsi Aceh, Teuku Ahmad Dadek, hingga kini masih ada 70.000 nama yang belum diketahui nasibnya. Setiap momentum peringatan tsunami yang menyapu daratan Aceh pada 26 Desember, Saudah dan keluarga selalu datang ke kuburan massal yang berada di kawasan pantai Lampuuk, Aceh Besar, untuk menziarahi anak ketiganya yang menjadi korban kala itu. Mereka sekeluarga hanya datang berziarah ke satu tempat ini, karena alasan sebuah mimpi yang meyakinkan mereka bahwa anak ketiganya berada di area kuburan massal korban tsunami tersebut. "Titin sering datang dalam mimpi adik-adiknya. Ia meminta kami untuk sering datang dan menjenguk dia di kuburan massal pantai Lampuuk, karena itu kami hanya datang ke satu tempat," kata Saudah. 'Masih ada harapan' Saudah mengatakan jika masih hidup, anak bungsunya kini sudah berusia 21 tahun. Sebuah foto pernikahan anak pertamanya di Medan, Sumatera Utara pada tahun 2003 merupakan satu-satunya dokumen yang ada Muhammad Siddiq didalamnya. "Dulu kami sudah mencarinya ke mana-mana, sampai ke sebuah yayasan panti asuhan di Sumatera Utara, tapi belum berhasil menemukannya. Namun ayahnya pernah bermimpi kalau Siddiq masih hidup dan dia diasuh oleh seseorang di Jakarta," kata Saudah.

Gambar yang diambil pada tanggal 28 Desember 2004 menunjukkan kerusakan skala besar di Banda Aceh, Provinsi Aceh.

Saudah sekeluarga mengaku masih mencari keberadaan anak bungsunya sampai saat ini dan mengaku tak patah arang. Bahkan abang dan kakak kandungnya amat sangat sering berselancar di media sosial untuk mencari nama yang sama dengan adiknya. "Dalam mimpi mama dan ayah masih sering menggendong kamu, bahkan baru-baru ini kamu datang kembali dalam mimpi sambil pulang ke rumah, keyakinan itulah yang kami pegang bahwa engkau masih hidup," harapnya. Di usia yang semakin lanjut, Saudah dan keluarga tidak pernah menginginkan apapun lagi, selain sebuah harapan untuk kepulangan seorang anak. "Jika kau masih hidup pulanglah anakku, mama dan ayah masih menunggu kedatanganmu. Kami begitu rindu dan ingin memeluk tubuhmu. Semoga Allah memperkenankan pertemuan kita sebelum mama dan ayah bertemu dengan ajal," isak tangis Saudah semakin tidak terbendung kala mengingat Siddiq.




“Dalam kondisi hamil itu, saya lari dari desa dan mendaki menuju ke atas bukit. Jaraknya lumayan jauh, karena kami mendaki sampai ke ujung bukit di Desa Lamguron. Mungkin karena situasi takut jadi kuat sendiri. Alhamdulillah kehendak Tuhan, saya kuat tidak kenapa-kenapa begitu juga dengan bayi di dalam perut,” cerita Nadiah pada kumparan.




SERAMBINEWS.COM - Muhammad Idris (36) warga Peureulak Aceh Timur dan keluarganya pada setiap 26 Desember berkunjung ke Kajhu, Baitussalam Aceh Besar melakukan doa bersama.

Namun kunjungan kali ini pada tahun 2019 tidak ditemani ibunya Ainsyah (84) karena dalam keadaan sakit.

“Kali ini saya bersama istri saja ke Kahju, abang sempat ikut tidak,” tanyanya kepada Yusmandin Idris yang juga wartawan Serambinews.com (Serambi Indonesia), Rabu (25/12/2019).

Kunjungan setiap 26 Desember selain berdoa di pertapakan rumah juga mengenang musibah 15 tahun lalu.

Musibah yang merenggut nyawa kakaknya Zawiyah Idris (guru MTsN Model Banda Aceh) , suami Zawiyah Amiruddin Idrus (karyawan Serambi) dan adik kandung Naslimah serta tiga keponakannya dan mertua dari Zawiah.

Mereka waktu itu menempati satu rumah BTN di Kompleks Kajhu, Baitussalam, Aceh Besar.

•  Anak Ini Meninggal Dalam Pelukan Ibunya, Dikeroyok dan Ditusuk di Lokasi Pesta

Muhammad Idris menuturkan, saat musibah terjadi, Zawiyah dan keluarganya tinggal di Kahju, Kecamatan Baitusallam.

Ada satu kisah yang masih diingatnya pada malam tsunami atau sebelum musibah terjadi.

Waktu itu kakaknya (Zawiyah) mengatakan kepada Muhammad, nanti usai haji adek (Muhammad) tinggal di rumah saja, kami sekeluarga akan pulang semua karena kami sudah sediakan satu ekor lembu untuk Qurban menyambut lebaran haji.




Safri, Didin dan Wak Gel berada di luar gedung menatap kosong kantor mereka yang remuk. Tak lama kemudian, orang-orang berlarian sambil meneriakkan, “air laut naik, air laut naik.” Safri kaget, tak percaya, masih berusaha melihat beberapa aset di bekar reruntuhan gedung. “Saya lalu melihat air keluar dari got, memenuhi jalan, ini serius,” kisahnya kepada acehkini , Kamis (25/12/2019).




SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH – Ini merupakan satu diantara sepuluh Escape Building yang dimiliki propinsi Aceh. Bangunan penyelamatan ini berlokasi di Alue Deah Teungoh, Meuraxa, Banda Aceh.

Selain sepi aktivitas, gedung bernilai Rp 15 Miliar yang dibangun pemerintah Jepang pada 2006 silam ini pun terkesan tanpa perawatan.

Mulai dari coretan di dinding, cat yang mengelupas, plafon retak hingga kehadiran rerumputan di celah lantai.

• UAS Batal Hadiri Peringatan Tsunami di Pidie, Anak Dai Sejuta Ummat Sebagai Pengganti

• Gerhana Matahari Bersamaan Peringatan Tsunami Aceh, Ini Lokasi Pengamatan dan Shalat di Lhokseumawe

• Biaya Peringatan Tsunami di Pidie Ditanggung Pemerintah Aceh, Pemkab Menanggung Ini

Pihak desa mengaku tak memiliki dana untuk mengurus, terlebih gedung ini berada di bawah pengelolaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Banda Aceh.




Meski hari tersebut merupakan hari peringatan gempa dan tsunami Aceh yang terjadi 26 Desember 2004.

SERAMBINEWS.COM, SUKA MAKMUE - Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Aceh pada Kamis (26/12/2019) besok tetap bekerja seperti hari biasa.

Meski hari tersebut merupakan hari peringatan gempa dan tsunami Aceh.

Demikian juga PNS di Pemkab Nagan Raya tetap masuk dinas meski mereka diminta untuk hadir ke lokasi peringatan tsunami di Masjid Desa Langkak, Kecamatan Kuala Pesisir.

• Jalan di Pusat Pemerintahan Aceh Singkil Tergenang

• Nasib Pengemudi Lamborghini yang Todong Pistol ke Dua Pelajar, Mobil Disita dan Pelaku Dipenjara

• Viral! Kisah Kucing Selamatkan Tuannya dari Teror Ular, si Putih Bertarung Hebat dengan Ular Kobra

Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Nagan Raya, Bambang Surya Bakti kepada Serambinews.com, Rabu (25/12/2019) mengatakan, Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh tahun 2019 bahwa yang libur hanya pekerja/buruh atau karyawan perusahaan pada peringatan tsunami .

"Sedangkan PNS tetap bekerja seperti biasa," katanya.

Menurut Bambang, PNS di Nagan Raya sudah disampaikan untuk meramaikan peringatan tsunami di Langkak, sedangkan bidang pelayanan tetap bekerja seperti biasa.

Dikatannya, PNS sudah libur cuti bersama pada Selasa (24/12/2019.(*)







Jl. Cawang Baru Utara No.25, RT.4/RW.9, Cipinang Cempedak, Jatinegara, Jakarta Timur, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 13340



Total comment

Author

fw

0   comments

Cancel Reply