Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Joko Widodo ( Jokowi ) memanggil lima tokoh untuk dilantik sebagai anggota Dewan Pengawas KPK di Istana Negara, Jakarta pada hari ini Jumat (20/12). Mereka yang datang juga telah mengonfirmasi bakal dilantik sebagai anggota Dewas KPK. Para tokoh tersebut antara lain Artidjo Alkostar, Syamsuddin Haris, Albertina Ho, Harjono, dan Tumpak Hatorangan Panggabean. Mereka mendatangi Istana Negara dengan senyum semringah. Artidjo Alkostar
Lahir di Situbondo, Jawa Timur pada Mei 1948. Pernah menjadi pengacara dalam Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta. Artidjo menjadi hakim agung di Mahkamah Agung pada 2000 lalu. Selama hampir 20 tahun bertugas, Artidjo menangani sekitar 19.708 perkara, termasuk kasus-kasus korupsi. Artidjo merupakan hakim yang tenar lantaran garang terhadap terdakwa kasus korupsi yang mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Ia kerap memperberat hukuman terdakwa korupsi, mulai dari politisi, birokrat, hingga pengacara. Syamsuddin Haris Merupakan peneliti senior dalam Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Puluhan buku telah ditulisnya. Lahir di Bima, Nusa Tenggara Barat pada 9 Oktober 1957. Syamsuddin ingin membantu pemerintah menegakkan pemerintahan yang bersih melalui Dewan Pengawas KPK. "Kita ingin menegakkan pemerintah yang bersihd dengan memperkuat KPK. Bagaimana pun tanpa pemerintahan yang bersih, kita tidak bisa meningkatkan daya saing," ucap Syamsuddin di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/12).
[Gambas:Video CNN] Albertina Ho Seorang hakim wanita yang dikenal publik usai memberi vonis kepada mafia pajak Gayus Tambunan pada 2011 lalu. Kala itu, Dia memvonis Gayus tujuh tahun penjara. Albertina telah lama berkarir di dunia peradilan. Sebelum ditunjuk menjadi anggota Dewan Pengawas KPK oleh Jokowi, dia menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Kupang, Nusa Tenggara Timur. Harjono Adalah Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP). Pernah juga menjabat sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi. Harjono lahir di Nganjuk, Jawa Timur pada 31 Mareti 1948. Dia tetap suka mengkritik urusan peradilan di Indonesia meski telah pensiun. Tumpak Hatorangan Tumpak Hatorangan Panggabean adalah Plt Ketua KPK pada 2007-2011. Kala itu, dia menggantikan Antasari Azhar yang harus nonaktif dari jabatannya dalam kasus pembunuhan. Lahir di Sanggau, Kalimantan Barat, pada 29 Juli 1943. Tumpak mengawali karir bidang hukum di Kejaksaan.
Jakarta, CNN Indonesia -- Wajah Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) ke depan akan berubah. Per hari ini, Komisioner KPK Jilid IV yang dipimpin Agus Rahardjo menyerahkan tugas kepada Pimpinan baru yang dinakhodai Firli Bahuri . Bersamaan dengan itu, untuk pertama kalinya lima anggota Dewan Pengawas ( Dewas ) dilantik Presiden Joko Widodo untuk bekerja sebagaimana mandatnya. Pada hari ini pula, kinerja KPK sudah sepenuhnya mengacu kepada Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Pasal 69D pada intinya menjelaskan bahwa KPK harus bekerja sesuai undang-undang baru setelah Dewas terbentuk. Keraguan muncul dari publik akan kinerja KPK dalam memberantas korupsi ke depan. Pasalnya, aturan perubahan tersebut dinilai membuat 'lumpuh' lembaga antirasuah.
Sejumlah poin penting yang membatasi kerja pemberantasan korupsi di antaranya adalah status KPK sebagai lembaga negara di rumpun eksekutif dan pegawai KPK merupakan ASN; penghapusan pimpinan sebagai penanggung jawab tertinggi; hingga kewenangan dewan pengawas masuk pada teknis penanganan perkara, yakni memberikan atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan dan penyitaan.
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengatakan sistem yang ada saat ini tidak menawarkan solusi perihal pemberantasan korupsi. Siapa pun pimpinan ataupun anggota Dewas, menurut dia, tidak akan memberi banyak pengaruh terhadap kinerja KPK dalam menangkap koruptor atau memberantas korupsi. "Saya harus garis bawahi yang dimaksud sistem itu adalah Undang-undang Nomor 9 Tahun 2019 yang sudah membuat KPK pada dasarnya lumpuh dalam konteks penegakan hukum," ujar Bivitri kepada CNNIndonesia.com , Jum'at (20/12). Mengenai nama Artidjo Alkostar dan Albertina Ho yang disebut-sebut berpeluang mengisi kursi Dewas, Bivitri menilai tidak akan melahirkan banyak perubahan signifikan. Menurut dia, permasalahan utama terletak pada desain Dewas itu sendiri. Anggota Dewas akan terjebak dalam sistem yang dibangun tidak jelas sejak awal. "Karena yang jadi masalah itu adalah desain Dewas sendiri yang sebenarnya bukan pengawas tapi pemberi izin. Ini yang misleading saya kira selama ini. Seakan-akan alasannya KPK enggak ada yang mengawasi, tapi kenyataannya Dewas ini pemberi izin, bukan mengawasi," kata dia.
Keinginan untuk memperbaiki iklim pemberantasan korupsi diperburuk dengan figur pimpinan KPK, Firli Bahuri, yang rekam jejaknya dipertanyakan. Bivitri khawatir ke depannya terjadi konflik kepentingan dalam menangani perkara. "Jadi, dengan itu maka dengan masuknya pimpinan baru sekarang yang rekam jejaknya sangat dipertanyakan, terutama kaitannya dengan buku merah, ya, conflict of interest dengan kepolisian dan sebagainya saya kira sangat bisa dengan sistem yang sekarang," ujarnya.
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai UU KPK melumpuhkan kerja pemberantasan korupsi. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Apalagi dalam kondisi pegawai KPK yang berstatus ASN, menurut Bivitri, kemungkinan besar kritik berkurang atau bahkan hilang. Hal itu membuat pelanggaran akan menguap begitu saja. "Dengan sistem yang ada sekarang toh semua pegawai KPK nantinya tidak akan bisa vokal lagi dan kalaupun terlalu vokal, nantinya akan jatuh dari rezim ASN sehingga peluang untuk lebih independen itu sangat berkurang," tambahnya. Wadah Pegawai KPK yang kerap kali mengkritisi pimpinan, menurut Bivitri juga bisa dibubarkan untuk kemudian diganti dengan organisasi kantor, semacam Persatuan Jaksa Indonesia. Dia memprediksi WP KPK tidak bisa lagi independen karena terikat status pegawai sipil negara.
Sementara itu, Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) UGM, Oce Madril memandang Artidjo dan Albertina tidak akan mau mengisi posisi Dewas jika sistemnya seperti saat ini. Keberadaan Dewas, menurut dia, mengacaukan kelembagaan KPK dan penegakkan hukum. "Menurut saya siapa pun yang di sana akan terjebak dengan sistem yang tidak jelas," kata Oce kepada CNNIndonesia.com. Oce menilai kerja Firli Bahuri Cs bakal menjadi lebih berat lantaran berlakunya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Ini menjadi tantangan untuk Pimpinan Jilid V. "Memang akan ada tantangan yang jauh lebih berat, karena KPK yang lama dan ke depan berbeda. Yang ke depan berdasarkan UU baru, ada banyak pergeseran yang ada di UU tersebut," ucapnya. Pergeseran yang dimaksud adalah poin-poin yang membatasi KPK sebagaimana telah dijelaskan di atas. Sepak terjang terhadap pemberantasan korupsi, lanjut Oce, juga dipengaruhi oleh sosok pimpinan KPK yang memiliki catatan pada rekam jejaknya. "Ya, memang belum bisa kita simpulkan demikian. Tapi berdasarkan UU baru ada banyak keterbatasan yang dialami KPK. Kemudian kedua, dengan profil pimpinan baru, apakah mereka tegas terhadap kasus penting. Publik meragukan mereka memberantas korupsi dengan cara tegas. Publik juga meragukan lembaganya sendiri karena memiliki batasan," ujarnya.
Mantan Hakim Agung Kamar Pidana Mahkamah Agung (MA) Artidjo Alkostar menunjukkan buku tentang dirinya di Jakarta. (ANTARA FOTO/Galih Pradipta)
Oce pun menyampaikan kondisi ideal pemberantasan korupsi saat ini adalah dikeluarkannya Perppu KPK dan menjadikan sosok seperti Artidjo sebagai pimpinan KPK. Penempatan sosok Artidjo di kursi Dewas, menurut dia, sebagai sesuatu yang mubazir. "Idealnya Presiden mengeluarkan Perppu, kemudian Artidjo dan Albertina Ho jadi Pimpinan KPK. Kalau kita bicara ideal, sosok-sosok seperti mereka masuk jadi Pimpinan KPK. Presiden keluarkan Perppu, batalkan model yang sekarang itu, kemudian tunjuk, seleksilah orang-orang keren gitu," pungkas Oce. "Kalau mereka ditempatkan dengan Dewan Pengawas sekarang, kita jadi bingung dengan komitmen pemberantasan korupsi presiden," ujarnya lagi. Lebih lanjut, Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai undang-undang yang baru mengatur KPK sebagai lembaga pencegahan korupsi. Jika pun ada penindakan, kata dia, harus seizin Dewas yang sangat mungkin izin itu tidak diberikan jika menyangkut nama-nama kerabat Presiden dan orang tertentu. Apalagi untuk periode pertama Dewas dipilih langsung oleh Presiden. Ia memandang KPK ke depan akan menjadi alat kekuasaan dan diarahkan ke sisi pencegahan saja. Sepak terjang lembaga antirasuah, menurut dia, ada di bawah kendali Presiden. "Jadi, komisioner sama sekali tidak bergigi. Sepenuhnya dikendalikan Dewas dan karena Dewas bukan penegak hukum, setiap kali KPK melakukan penindakan (menyadap, menangkap, menahan, menggeledah dan menyita) pasti akan dipersoalkan oleh para koruptor," ungkap dia. Perihal nama-nama seperti Artidjo dan Albertina Ho untuk Dewas, Fickar memandang tidak akan berpengaruh terhadap apa pun. Hanya saja, ia berharap sikap dan komitmen mereka terhadap pemberantasan korupsi tetap dijunjung tinggi meski dipilih oleh Presiden. "Namun saya tidak tahu apakah setelah menjadi Dewas masih bisa mempertahankan idenya atau hanya menjalankan visi misi dan perintah Presiden seperti rekannya yang menjadi menteri yang selalu bilang ini kemauan Presiden," tutup Fickar. [Gambas:Video CNN] (ryn/pmg)
JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) resmi dipimpin oleh lima pimpinan baru yang diketuai oleh Firli Bahuri .
Seusai dilantik oleh Presiden Joko Widodo pada Jumat (20/12/2019) sore, kelima pimpinan mengikuti serah terima jabatan dengan para pimpinan KPK lama di bawah pimpinan Agus Rahardjo.
Prosesi serah terima juga digelar bersamaan dengan penyerahan jabatan kepada lima Dewan Pengawas KPK .
Serah terima jabatan diawali dengan pembacaan pakta integritas yang pada intinya berisi komitmen para pimpinan dan Dewan Pengawas KPK.
Baca juga: Firli Cs Resmi Menjabat, Jokowi Harap Penguatan KPK Nyata
Selanjutnya, semua pimpinan dan Dewan Pengawas menandatangani pakta tersebut.
Dalam prosesi itu, mantan Ketua KPK Agus Rahardjo menyampaikan permintaan maafnya kepada seluruh elemen KPK.
Ia juga berpesan kepada para pimpinan yang baru untuk menjaga KPK dengan sebaik-baiknya.
"Saya sudah menjadi anggota alumni dan masih merasa memiliki KPK. Oleh karena itu, tugas kita belum selesai, masih banyak hal yang belum harus dilakukan. Jaga rumah kita, mari kita terus berjuang," kata Agus Rahardjo di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat.
Baca juga: Wakil Ketua DPR Harap Dewas dan Pimpinan KPK Bersinergi Berantas Korupsi
Sementara itu, Ketua Dewan Pengawas Tumpak Hatarongan Panggabean dalam sambutannya meminta doa restu kepada semua pihak. Sebab, Dewan Pengawas merupakan unsur baru dalam tubuh KPK.
Ia juga mengungkapkan komitmen Dewan Pengawas dalam upaya pemberantasan korupsi.
"Kami mohon kiranya kami berlima sebagai organ yang baru ada di sini dapat diterima dengan baik. Dan mohon doa restunya supaya apa yang disebut di dalam undang-undang (KPK) bisa dilaksanakan dengan baik," ujar Tumpak.
Terakhir, Ketua KPK periode 2019-2024, Firli Bahuri, dalam sambutannya berjanji untuk meningkatkan kinerja KPK.
"Saya Firli dan empat pimpinan lain menyampaikan mohon dukungan, mohon sumbangsih, kita bekerja keras bersatu bekerja membangun negeri membebaskan NKRI dari korupsi," kata Firli.
ILUSTRASI. Presiden Joko Widodo melantik pimpinan KPK 2019-2023 di Istana Negara, Jumat (20/12). Presiden lantik pimpinan KPK periode 2019-2023. Reporter: Vendi Yhulia Susanto | Editor: Komarul Hidayat KONTAN.CO.ID - JAKARTA . Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti dewan pengawas dan pimpinan Komisi Pmberantasan Korupsi (KPK) yang dilantik Jumat ini (20/12). Menurut ICW, mayoritas publik pesimistis akan nasib KPK ke depan. "Bagaimana tidak, lima Pimpinan KPK baru tersebut sarat akan persoalan masa lalu dan konsep dari dewan pengawas yang hingga saat ini diprediksi menganggu independensi KPK," kata Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (20/12). ICW menyebutkan terdapat beberapa hal terkait pimpinan KPK yang baru. Pertama , sejak awal proses pemilihan Pimpinan KPK menimbulkan kontroversial di tengah publik. Mulai dari pembentukan panitia seleksi (pansel) yang kuat diduga dekat dengan salah satu institusi penegak hukum, tidak mengakomodir suara publik, sampai mengabaikan aspek integritas pada saat penjaringan pimpinan KPK. Baca Juga: Firli Bahuri Cs sah menjadi pimpinan KPK periode 2019-2023 Kedua , pimpinan KPK yang akan dilantik diduga tidak memiliki integritas dan diyakini akan membawa KPK ke arah yang buruk. Hal ini terkonfirmasi ketika salah satu diantara pimpinan KPK tersebut diduga pernah melanggar kode etik. Selain itu juga tidak patuh dalam melaporkan harta kekayaan pada KPK (LHKPN). Tidak hanya untuk pimpinan KPK yang baru, ICW juga menyebutkan beberapa hal terkait dewan pengawas KPK. ICW menilai siapapun yang ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menjadi Dewan Pengawas KPK menunjukkan bahwa Presiden tidak memahami bagaimana cara memperkuat KPK dan memang berniat untuk menghancurkan lembaga anti korupsi itu. "ICW menolak keseluruhan konsep dari dewan pengawas sebagaimana tertera dalam UU KPK baru," kata Kurnia. Ada tiga yang menjadi dasar alasan penolakan ICW tersebut. Pertama , secara teoritik KPK masuk dlm rumpun lembaga negara independen yang tidak mengenal konsep lembaga dewan pengawas. Sebab, yang terpenting dalam lembaga negara independen adalah membangun sistem pengawasan. Baca Juga: Tumpak Hatorangan Panggabean diangkat jadi Ketua Dewan Pengawas KPK Hal itu sudah dilakukan KPK dengan adanya Deputi Pengawas Internal dan Pengaduan Masyarakat KPK. Bahkan, kedeputian tersebut pernah menjatuhkan sanksi etik pada dua pimpinan KPK, yakni Abraham Samad dan Saut Situmorang. "Lagi pula dalam UU KPK yang lama sudah ditegaskan bahwa KPK diawasi oleh beberapa lembaga, misalnya BPK, DPR, dan Presiden. Lalu pengawasan apa lagi yang diinginkan oleh negara?," kata dia. Kedua , kewenangan Dewan Pengawas KPK sangat berlebihan. Bagaimana mungkin tindakan pro justicia yang dilakukan oleh KPK harus meminta izin dari Dewan Pengawas KPK, sementara disaat yang sama justru kewenangan pimpinan KPK sebagai penyidik dan penuntut justru dicabut. Ketiga , kehadiran Dewan Pengawas KPK dikhawatirkan sebagai bentuk intervensi pemerintah terhadap proses hukum yang berjalan di KPK. Sebab, Dewan Pengawas KPK dalam UU KPK baru dipilih oleh Presiden. "ICW menuntut agar Presiden Jokowi segera menunaikan janji yang pernah diucapkan terkait penyelamatan KPK melalui instrumen Perppu. Adapun PerPPU yang diharapkan oleh publik mengakomodir harapan yakni membatalkan pengesahan UU KPK baru dan mengembalikan UU KPK seperti sedia kala," tutur Kurnia. Reporter: Vendi Yhulia Susanto Editor: Komarul Hidayat
TRIBUNPALU.COM - Aktivis Antikorupsi Haris Azhar tampak keberatan dengan tugas Dewan Pengawas KPK terkait memberikan izin jika KPK ingin melakukan penyadapan.
Menurut Haris Azhar, wewenang Dewan Pengawas KPK tersebut justru membuat pegawai KPK terjebak.
Mendengar keberatan yang diajukan Haris Azhar, Politisi Partai Nasdem Irma Suryani Chaniago pun memberikan tanggapan tegasnya.
Dilansir TribunnewsBogor.com dari tayangan talk show TV One edisi Kamis (19/12/2019), Aktivis Antikorupsi sekaligus praktisi hukum Saor Siagian mengkritik keras tugas dari Dewan Pengawas KPK.
Dalam tayangan tersebut, Saor Siagian keberatan dengan wewenang Dewan Pengawas KPK memberikan izin penyadapan kepada KPK.
Sebab menurut Saor, kejahatan itu terjadi tidak mengenal waktu.
• Presiden Jokowi Lantik Dewan Pengawas KPK Siang Ini, Ini Bocorannya
• Ada 5 Anggota Dewan Pengawas KPK, Jokowi: Ada Ekonom, Akademisi, hingga Mantan Petinggi KPK
• Namanya Disebut Masuk dalam Daftar Dewan Pengawas KPK, Yusril Ihza: Maaf Saya Tidak Berminat
Jika KPK harus terlebih dahulu meminta izin kepada Dewan Pengawas KPK jika ingin melakukan penyadapan, hal itu akan merepotkan.
Karenanya, Saor Siagian pun bertanya soal mekanisme KPK dalam meminta izin penyadapan kepada Dewan Pengawas KPK.
"Salah satu wewenangnya kan memberikan atau tidak memberikan izin tertulis. Karakter korupsi itu extra ordinary crime. Cara kerja mereka itu adalah luar biasa. Coba berimajinasi, kalau dia (Dewas) memberikan izin tidak izin. Bagaimana mekanisme kerja mereka padahal kejahatan bukan jam kerja ?" tanya Saor Siagian.
Saor Siagian lantas bertanya soal mekanisme kerja Dewan Pengawas KPK nantinya.
"Apakah Dewas ini tidak pernah tidur 24 jam untuk memberikan izin tertulis ?" tanya Saor Siagian.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi III DPR yang membidangi hukum, hak asasi manusia, dan keamanan akan mengawasi kinerja Dewan Pengawas KPK yang baru saja dilantik Presiden Joko Widodo (Jokowi) siang ini.
Ketua Komisi III DPR dari fraksi PDI Perjuangan, Herman Hery menilai kewenangan yang diemban Dewan Pengawas cukup besar.
Baca: Pimpinan KPK Nawawi Pomolango Punya Kekayaan Rp 1,8 Miliar
"Komisi III akan terus mengawasi kinerja Dewas KPK ke depan mengingat cukup besarnya kewenangan Dewan Pengawas KPK yang diberikan oleh UU KPK," kata Herman kepada wartawan, Jumat (20/12/2019).
Lebih lanjut, Herman menilai Presiden Jokowi telah memilih secara objektif dan independen kelima orang yang menjadi Dewan Pengawas.
Ia yakin Presiden Jokowi punya pertimbangan matang dalam memilih Dewan Pengawas KPK untuk menjawab perhatian masyarakat yang begitu besar.
"Presiden pasti sangat hati-hati dalam memilih nama Dewan Pengawas," katanya.
Presiden Jokowi melantik lima anggota dewan pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/12/2019) siang.
Pelantikan itu tertuang dalam Surat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 140/P/Tahun 2019 tentang Pengangkatan Keanggotaan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi.
Diketahui pada sore ini, Dewas KPK akan dilantik bersamaan dengan pimpinan KPK periode 2019-2023.
Kabar24.com , JAKARTA — “ Lha , rumor lama itu. Tidak benar, mas." Kalimat itu terlontar dari mantan Pelaksana tugas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Indriyanto Seno Adji ketika dikonfirmasi soal kebenaran masuknya nama dirinya ke dalam bursa calon anggota Dewan Pengawas KPK. Sosok Dewan Pengawas (Dewas) KPK memang masih menjadi teka-teki hingga saat ini. Namun, belakangan muncul sejumlah nama yang diisukan masuk jajaran bursa Dewas KPK. Mereka adalah mantan pimpinan KPK Tumpak Hatorangan Pangabean, guru besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Marcus Priyo Gunarto, mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Adi Toegarisman, dan ahli hukum Pidana Universitas Padjajaran Romli Atmasasmita. Kemudian, ada pula nama mantan Hakim Agung Gayus Lambuun, guru besar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Harkristuti Harkrisnowo, dan mantan pimpinan KPK Erry Riyana Hardjapamengkas. Indriyanto memilih untuk tidak berkomentar lebih jauh soal munculnya isu tersebut. Hal senada juga dikatakan Marcus Priyo yang juga anggota Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK. Sesuai UU baru KPK yang termaktub dalam Pasal 69A, anggota Dewas KPK akan berjumlah lima orang dan ditunjuk langsung oleh presiden untuk pertama kalinya. Sejalan dengan itu, Presiden Joko Widodo sebelumnya mengaku sudah mengantongi beberapa nama calon Dewas KPK. Presiden menerima banyak masukan terkait dengan kapabillitas para calon Dewas KPK dengan pertimbangan rekam jejak, integritas, berpengalaman di bidang hukum pidana, dan audit pemeriksaan untuk pengelolaan keuangan. Rencananya, anggota Dewas akan diumumkan antara 20-21 Desember mendatang bersamaan dengan pelantikan komisioner KPK periode 2019—2023. Di lain pihak, Indonesia Corruption Watch (ICW) enggan menanggapi soal nama-nama yang beredar luas tersebut. Bahkan, ICW menolak keseluruhan konsep dari Dewas KPK. "Jadi siapapun yang ditunjuk oleh Presiden untuk menjadi Dewan Pengawas tetap menggambarkan bahwa negara gagal memahami konsep penguatan terhadap lembaga anti korupsi seperti KPK," kata aktivis ICW Kurnia Ramadhana. Menurut Kurnia, lembaga independen seperti KPK sebetulnya tidak mengenal konsep seperti Dewas KPK. Dia juga khawatir kewenangan Dewas KPK berlebihan. "Bagaimana mungkin tindakan pro justicia yang dilakukan oleh KPK harus meminta izin dari Dewan Pengawas?," tuturnya. Sementara disaat yang sama, kata dia, kewenangan pimpinan KPK sebagai penyidik dan penuntut malah dicabut dengan adanya UU baru. LSM antikorupsi itu juga khawatir kehadiran Dewas KPK justru bentuk intervensi pemerintah terhadap proses hukum yang berjalan di KPK. Alasannya, susunan Dewas KPK untuk pertama kalinya ditunjuk langsung oleg presiden, sedangkan periode selanjutnya melalui panitia seleksi. "Jadi, siapapun yang dipilih oleh Presiden untuk menjadi Dewan Pengawas tidak akan mengubah keadaan," katanya. Sementara itu, anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Arsul Sani mengatakan bahwa urusan pemilihan Dewas KPK sepenuhnya menjadi kewenangan Presiden Jokowi. “Saya kira tak tahu pun [DPR] tak masalah. Kenapa? Karena yang harus tahu kan nanti kalau sudah diangkat kerja dengan benar atau tidak baru kita harus tahu,” katanya di Kompleks Parlemen. Arsul yang juga Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menjelaskan bahwa pihaknya menyarankan agar Dewas KPK bukan merupakan orang yang masih aktif di partai politik. “Sehingga tidak terkesan nanti ada konflik of interest atau sekedar kesan ada politisasi di KPK. kecuali kalau orang itu jadi politisi tapi sudah jadu pejabat publik yang lain,” jelasnya. Arsul mencontohkan Gayus Lambuun yang pernah menjadi anggota DPR lalu namanya kini disebut bakal mengisi posisi dewas. Bagi Arsul, Gayus tidak masalah karena sudah terpisah dari dunia politik dan jadi hakim agung. “Jadi kalau misalnya orang itu katakanlah baru pensiun dari DPR lalu ditunjuk jadi pengawas, kalau hemat PPP kurang pas untuk itu. Kecuali nanti kalau dewas itu melalui proses seleksi oleh pansel yang independen maka tentu semua warga negara siapa saja termasuk politisi boleh untuk mendaftar dan ikut dalam proses seleksi,” ucapnya.
Inilah Lima Sosok Tokoh yang Jabat Dewan Pengawas KPK , Ada Sosok yang Paling Ditakuti Koruptor
TRIBUN-MEDAN.com - Presiden Joko Widodo melantik lima anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) periode 2019-2023.
Pelantikan berlangsung di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/12/2019) pukul 14.30 WIB.
Kelima anggota dewan pengawas yang dilantik adalah:
Tumpak Hatarongan Panggabean - Mantan Wakil Ketua KPK (Ketua);
Albertina Ho - Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Kupang;
Syamsuddin Haris - Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia;
Pelantikan diawali dengan pembacaan surat keputusan presiden nomor 140/p Tahun 2019 tentang pengangkatan keanggotaan Dewan Pengawas KPK Masa Jabatan 2019-2023.
Welcome Back Sign in to your account to continue using Metrotvnews
Sign In Remember me Forgot your password? or Sign in with your social account Google
Join Today!