TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Program Belajar dari Rumah pekan kedua kembali hadir Rabu (22/4/2020).
Khusus untuk siswa SD Kelas 1-3 menyuguhkan Sahabat Pelangi dengan tajuk Puisi Nisa Juara .
Tak hanya pembahasan materi, pemirsa anak-anak di rumah juga diminta untuk didampingi guru atau orangtua menyimak materi.
Setelah menyimak pembahasan materi kamu bisa mencatat rangkuman dan soal yang diberikan sebagai tugas.
• Jawaban Soal di TVRI Belajar dari Rumah Kelas 1-3 dan 4-6 SD Rabu 22 April 2020, Ada Sahabat Pelangi
Dari materi ini bagaimana anak-anak mengekspresikan gagasannya, menuliskan beberapa kalimat dan menyuntingnya.
Jawaban: Teman yang baik adalah teman yang selalu mendukung dan mendampingi temannya dalam suka dan duka dalam kebaikan
Pada hari rabu tangga 22 April 2020 ini, materi untuk tingkat SD kelas 1, 2 dan 3 adalah tentang “Puisi Nisa Juara” yang mana didalam cerita itu anak yang bernama Nisa mengikuti lomba puisi. Puisi Nisa Juara Sahabat Pelangi ini akan tayang pada jam 08.30 sampai 09.00 WIB setelah acara “Jalan Sesama” untuk tingkat Paud/TK.
Nisa merupakan anak yang berhasil menjadi juara di lomba puisi tentang Pemandangan Desa, dan dia memiliki sahabat yang bernama Marta. Temannya inipun heran dan menanyakan kepada Nisa, Kok bisa membuat Puisi dengan sangat bagus? Mau tau jawabannya?
Baca Juga : Kunci Jawaban Soal Puisi Nisa Juara SD Kelas 1, 2 dan 3 22 April 2020
Jadi Nisa menjawab bahwa dia berhasil membuat puisi dengan menuangkan apa yang kita lihat dan rasakan melalui tulisan. Nah kemudian Marta pun akhirnya belajar membuat puise kepada Nisa. Nah apakah adik-adik sudah bisa membuat puisi juga? Nah sebelum memulai belajar membuat puisi, kita pelajari dahulu apa itu puisi.
Puisi adalah sebuah karya sastra yang terikat oleh irama dan rima, penyusunan bait dan baris menggunakan bahasa yang terlihat indah dan juga penuh makna. Tapi pengertian puisi bukan hanya itu saja, karena dalam sebuah karya sastra ini memiliki makna yang berbeda-beda, Seperti pengertian puisi menurut para ahli berikut ini :
Herman Waluyo : Puisi itu karya sastra tertulis yang paling awal ditulis oleh manusia.
Sumardi : Menurutnya puisi merupakan karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif)
Thomas Carley : Puisi menurut thomas carley adalah ungkapan pikiran yang berfisat musikal.
James Reevas : Menurut dia arti puisi itu adalah ekspresi baha yang kaya dan penuh daya pikat.
Pradopo : pengertian puisi adalah rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting dan diubah dalam wujud yang paling berkesan.
Herber Spencer : Puisi itu bengtuk pengucapan gagasan yang bersifat emosional dengan mempertimbangkan keindahan
Puisi terbagi menjadi 2 kategori yaitu puisi lama dan puisi modern, Jika Puisi lama itu adalah pantun dan syair karena masih terikat dengan jumlah baris, bait, ataupun rima ( sajak ), sedangkan puisi modern itu tidak terikat pada bait, jumlah baris ataupun sajak dalam penulisannya, sehingga disebut juga puises bebas. Ada juga struktur puisi yang dibagi menjadi 4 kategori yaitu Tema, Rasa, Nada dan Tujuan.
Dalam sebuah karya puisi,pasti menggunakan 2 struktur dari secara fisik maupun secara batin. Adapun unsur-unsur didalam puisi itu antara lain adalah :
Diksi adalah pilihan kata-kata yang digunakan oleh seorang pembuat puisi/penyair untuk dimasukkan kedalam puisinya. Ini karena dalam sebuah karya sastra (puisi) bisa mengungkapkan banyak namung menggunakan sedikit kata.
Oleh karena itu pemilihan kata yang digunakan dalam karya puisi itu sangatlah penting dan harus cermat dalam menyusun kata-katanya. Sebab kata-kata yang dipilih dan dimasukkan kedalam sebuah puisi haruslah mengandung makna yang kemudian diserasikan dengan nada, irama dan urutan kata.
Imaji adalah susunan suatu kata yang mengungkapakan suatu pengalaman dari penyair yang sesuai pengalaman indrawinya. Pengalaman indrawinya tersebut bisa berupa pendengara, penglihatan maupun perasaan.
Dalam sebuah imaji sendiri juga terbagi menjadi 3 bagian, 3 bagian tersebut yaitu suara, penglihatan, dan sentuhan. Dengan menggunakan imaji bisa membuat si pembaca seolah-olah mendengar, melihat serta merasakan apa yang telah dialami si penyair.
Perwajahan puisi adalah suatu bentuk kata dan pengaturan baris kata yang ada pada puisi.
Kata konkret adalah sebuah kata yang bisa memungkinkan untuk mendatangkan sebuah imajinasi pada pikiran atau perasaan penyair. baik itu pada indra penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan maupun sentuhan. Yang bisa menunjukkan suatu keadaan, benda maupun rupa dn lainnya.
Gaya bahasa adalah penggunaan suatu bahasa yang kemudian bisa menimbulkan banyak makna. Di dalam puisi gaya bahasa biasa disebut dengan majas.
Rima atau Irama adalah suatu persamaan yang ada pada bunyi sebuah puisi yang berada pada awalan, tengah maupun akhir puisi. Sehingga bisa menimbulkan efek irama yang menonjol pada puisi. Sehingga pendengar puisi bisa terbawa akan makna yang disampaikan pada puisi tersebut.
Bagaiamana? apakah kalian sudah bisa membuat puisi seperti Puisi Nisa Juara Sahabat Pelangi materi Belajar di TVRI Rabu 21 April 2020. Coba deh kalian belajar membuat puisi tentang Indonesia ataupun tentang pandemi virus corona.
Pencarian Berdasarkan Kata Kunci Ringkasan cerita puisi nisa juara sahabay pelangi apa yang martha lakukan pada nisa agar bisa membuat puisi yg bagus puisi nisa juara apa pertantayan tentang cerita puisi nisa juara dalam tvri apa yg dilakukan martha agar bisa membuat puisi yg bgus apa yng marta lakukan pda nissa agar bisa membuat puisi yng baik Cara membuat puisi cara membuat puisi di cerita sahabat pelangi cerita dan soal untuk kelas 1-3di tvri tgl 22-4-2020 cerita pendek tentang puisi nisa juara
Pekanbaru (ANTARA) - Adanya kegiatan belajar dari rumah selama pandemi COVID-19, ternyata banyak guru tidak siap dengan metode mengajar jarak jauh. Dampaknya, ada guru yang hanya memberi tugas meringkas atau mengerjakan soal di buku paket. Begitu juga dengan orangtua, banyak yang tidak terbiasa memberikan pendampingan belajar untuk anaknya di rumah. Bahkan, ada yang menyampaikan protes kepada guru karena merasa terbebani dengan tugas-tugas anaknya. Masalah itulah yang diantisipasi Erza Intan Anggraini, guru kelas VI Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah 1 Kota Pekanbaru, Riau. Ia menyadari sejak awal berbagai masalah akan timbul dalam memfasilitasi belajar dari rumah. Sejak dimulainya belajar dari rumah, Erza telah melibatkan orangtua siswa dalam merancang pembelajaran jarak jauh ini. Ia juga komit menerapkan pembelajaran bermakna untuk siswanya. Ia menerapkan "MIKiR" atau mengalami, interaksi, komunikasi, dan refleksi yang membuat siswa tetap aktif. Orangtua dilibatkan Saat diumumkan siswa harus belajar dari rumah, Erza langsung mengajak para orangtua berdiskusi pembelajaran jarak jauh via WA group paguyuban kelas. Ia ingin memastikan orangtua sejak awal memahami cara mendampingi anaknya belajar dari rumah. Setiap ada masukan dari orangtua terkait belajar dari rumah ini, Erza sangat memperhatikannya. Apalagi ada siswa yang kedua orangtuanya bekerja. Yang terpenting menurutnya, ada kesepakatan antara guru, orangtua, dan siswa dalam kegiatan pendampingan belajar dari rumah. Hal itulah yang membuat orangtua mendukung dan meminimalkan adanya protes. "Meski waktu kami terbatas karena harus bekerja, tapi demi tumbuh kembang anak, kami mendukung penuh program belajar dari rumah ini. Apalagi di awal kami juga sudah membuat kesepakatan dengan Bu Erza," kata Nurhasanah Harahap, salah satu orangtua siswa yang bekerja sebagai PNS di Kanwil Kemenkumham Provinsi Riau.
Ezra saat mengajar melalui aplikasi daring. (ANTARA/HO-TF)
MIKiR dalam pembelajaran Agar siswanya juga mendapat kesempatan belajar dari rumah yang bermakna, Erza menerapkan MIKiR. Awalnya, ia hanya memanfaatkan WA group orangtua. Melalui interaksi via WA tersebut, ia mendampingi siswa belajar lebih bermakna dari rumah. Penugasan yang dibuatnya, selalu memberi kesempatan siswa untuk "mengalami" seperti melakukan pengamatan atau praktik langsung di rumah. Misalnya siswa diberikan tugas proyek membuat replika alat teknologi menggunakan alat dan bahan yang tersedia di rumah. Hasilnya sangat menarik. Ada siswa yang membuat replika CCTV, membuat helikopter dari stik es krim, sampai membuat telepon genggam dari kardus. Penugasan-penugasan yang diberikan Erza, mendorong siswa membuat karya-karya produktif, imajinatif, dan terbuka. Misalnya, siswa membuat poster cara mencegah penularan COVID-19, membuat puisi yang mencurahkan perasaan mereka, membuat komik, cerpen, sampai membuat laporan dalam bentuk tertulis atau video. "Menurut saya, kalau kita memberi kesempatan dan kepercayaan pada siswa, mereka pasti mampu menghasilkan karya kreatif. Yang penting guru dan orangtua juga memberi pendampingan di rumah," kata Erza yang juga fasilitator pembelajaran Tanoto Foundation. Selain dengan WA, Erza sekarang mulai memanfaatkan aplikasi pembelajaran dan pertemuan daring seperti zoom, jitsi, google classroom, dan quizizz . Orangtua ikut mendukung dengan memberikan fasilitas kuota internet dan meminjamkan HP atau laptop untuk anaknya. Pendidikan karakter di rumah Erza juga mengintegrasikan kegiatan belajar dari rumah ini dengan pendidikan karakter. Misalnya, membuat kegiatan pembiasaan baik, seperti membersihkan kamar sendiri, beribadah bersama orangtua di rumah, sampai membantu pekerjaan di rumah seperti mengepel, menyapu lantai, atau menyiram tanaman. Selain itu, Erza bersama orangtua juga membuat kegiatan wajib membaca selama 30 menit. Waktunya bisa disesuaikan dengan jadwal yang disepakati anak dan orangtua. Kegiatan membaca setiap hari ini wajib dipantau langsung oleh orangtua. "Pada kegiatan membaca setiap hari, bukan hanya siswa yang membaca, kami guru kelas dan orangtua juga didorong untuk menjadi teladan dalam membaca. Tujuannya untuk semakin meningkatkan minat membaca anak yang sebelumnya juga sudah dibiasakan di sekolah," kata Erza. Dari kegiatan ini, dalam satu minggu para siswa setidaknya sudah terbiasa membaca minimal satu buku bacaan.
Gheriya Zahira Ananta, siswa kelas VI MI Muhammadiyah Pekanbaru sedang mempresentasikan replika blender buatannya melalui video. (ANTARA/HO-TF)
Pajangkan karya siswa di rumah Hal yang juga menarik, hasil karya siswa dari kegiatan belajar dan membaca setiap hari di rumah, wajib dipajang di mading yang dibuat sendiri oleh siswa. Siswa bisa membuatnya dari stereofoam atau bahan lain yang tersedia di rumah. Hasil karya seperti puisi, cerpen, komik, poster, atau laporan tertulis, ditempelkan di mading dan dipajang di rumah. Siswa juga mempresentasikan hasil karyanya tersebut kepada orangtua di rumah. Setiap akhir minggu, wali murid harus melaporkan hasil karya yang dibuat anaknya yang dipajang di mading. Dikirim melalui WA grup paguyuban kelas. "Penugasan yang diberikan Bu Erza tidak membuat anak saya jenuh atau bosan. Tugas berpraktik di rumah, membuat laporan, membaca buku, justru membuat anak saya senang. Mereka bisa menyalurkan hobinya dalam membaca dan menulis. Apalagi pada situasi seperti sekarang yang anak harus selalu berada di rumah," kata Juwita orangtua dari Gheriya Zahira Ananta. Inisiatif yang dilakukan Erza, merupakan salah satu cara penerus perjuangan RA Kartini dalam mewujudkan pendidikan berkualitas untuk anak-anak Indonesia.
Editor: Murhan BANJARMASINPOST.CO.ID - Simak 49 Ucapan Selamat Hari Kartini 2020 yang berupa Kata-kata Mutiara , Puisi hingga Qoutes RA Kartini yang dapat dikirim via Facebook , Whatsapp dan Instagram .
Hari Kartini 2020 jatuh pada tanggal 21 April 2020. Ucapan Selamat Hari Kartini 2020 ini cocok dibagikan atau untuk update status di sosial media di antaranya WhatsApp, Instagram dan Facebook .
Apalagi saat ini, sedang ada wabah Virus Corona atau Covid-19 yang membuat perayaan Hari Kartini 2020 tak bisa dilakukan kecuali lewat Ucapan Selamat .
Adanya Hari Kartini diperingati sebagai bentuk penghormatan pada tokoh RA Kartini yang telah berjuang untuk mendapatkan kesetaraan hak perempuan dan laki-laki di masa lalu.
• Lirik Asli Lagu Ibu Kita Kartini Berbeda, Sejarah Dibalik Terciptanya Tembang RA Kartini Itu
• Kumpulan Puisi Jelang Hari Kartini 2020, Bisa Untuk Pasang Status di Media sosial
• Akad Nikah Atta Halilintar & Aurel Diminta Umi Gen Halilintar, Akui Taaruf dengan Putri Krisdayanti
Oleh karenanya, RA Kartini disebut juga sebagai tokoh emansipasi wanita..
Banyak cara yang bisa dilakukan untuk dapat memperingati Hari Kartini, salah satunya dengan berbagi ucapan inspiratif.
Dengan kecanggihan teknologi masa kini, kita bisa dengan mudah membagikan ucapan tentang Hari Kartini di media sosial seperti Twitter, Instagram , WhatsApp dan Facebook .
Berikut kumpulan ucapan dan kata-kata mutiara pada Hari Kartini 2020 yang telah dirangkum Banjarmasinpost.co.id dari berbagai sumber :
1. Terkadang kesulitan harus kamu rasakan terlebih dahulu sebelum kebahagiaan yang sempurna datang kepadamu. ~ R.A Kartini
2. Mati satu tumbuh seribu. Kartini memang sudah tiada, namun semgat juangnya tidak boleh padam begitu saja. Maju terus para kartini muda. Selamat hari kartini.
MENJADI kebiasaan bangsa Indonesia, setiap 21 April dirayakan sebagai Hari Kartini. Momen bangsa ini menghargai jasa sosok perempuan yang membawa perubahan luar biasa untuk bangkit dari kegelapan.
Di Hari Kartini, biasanya institusi sekolah akan mengajak murid dan guru untuk mengenakan pakaian tradisional dan membacakan puisi kenegaraan. Namun, karena COVID-19, budaya itu sementara waktu hilang.
Muncul di media sosial cara baru dalam mengungkapkan Hari Kartini ini. Caranya dengan membagikan kalimat motivasi dengan disertai meme Kartini bermasker. Ya, ini mungkin sejalan dengan perintah pemerintah untuk mengenakan masker di tengah pandemi mematikan.
Berikut beberapa meme Hari Kartini pakai masker yang coba dirangkum Okezone khusus untuk Anda:
Bangga menjadi perempuan hebat
Selamat hari kartini
I'm so proud to myself to be a strong woman, multitalent and have high dream💖 #kartiniday pic.twitter.com/fbeMwY0Bos— Роза (@Mudraglava80) April 21, 2020
Seorang netizen dengan nama akun Twitter @Mudraglava80 coba membagikan keterangan yang pastinya bisa membuat perempuan lain termotivasi. Dalam unggahannya, dia mengatakan, "I'm so proud to myself to be a strong woman, multitalent, and have high dream." Artinya, "Saya bangga menjadi diri saya sendiri yang kuat, multitalenta, dan memiliki mimpi yang tinggi."
Di unggahan ini, ia menyelipkan meme Hari Kartini dengan sosok perempuan mengenakan pakaian Jawa lengkap dengan masker hitam menutupi mulut dan hidungnya. Meme tersebut pun menjadi salah satu yang heboh di media sosial hari ini.
Jadilah perempuan tangguh! Selamat Hari Kartini untuk semua wanita Indonesia, jadilah wanita tangguh yang tak akan pernah menyerah 🏋🏻♀
R.A Kartini #KartiniDay pic.twitter.com/g9NR0s8HMp — Choi Siwon (@risma_choi) April 21, 2020
Motivasi lain pun diberikan akun Twitter @risma_choi. Dalam unggahan Twitter yang baru saja dibuat saat berita ini dimuat, ia mengajak semua perempuan untuk bisa menjadi sosok yang tangguh dan kuat. "Selamat Hari Kartini untuk semua wanita Indonesia. Jadilah wanita tangguh yang tak akan pernah menyerah," tulisnya. Unggahan ini disertai dengan meme Kartini mengenakan masker dan sarung tangan dan sedang ingin menutupi tubuhnya dengan APD. Ajakan untuk melawan COVID-19 Selamat hari kartini pic.twitter.com/U3auzFyr0T — mbah peng (@MbahPeng) April 19, 2020
Meme Kartini menggunakan masker pun dijadikan netizen Twitter sebagai ajakan melawan COVID-19. Seperti dalam unggahan @MbahPeng ini. Meski keterangan fotonya hanya 'Selamat Hari Kartini', namun dalam foto desainnya, dapat diketahui itu ajakan untuk memutus rantai penyebaran COVID-19. Selalu ingat: 1. Jaga jarak 2. Cuci tangan pakai sabun 3. Pakai masker 4. Tetap di rumah "Semoga badai gelap Corona segera berakhir dan terbitlah terang.
Menarik! Penjelasan (panjang) Ulil Abshar-Abdalla tentang ‘Puisi Paskah’ yang populer dengan tajuknya ‘Jumat Agung’, menarik disimak. Meski tidak tahu — siapa yang membuat video – santri putera dengan peci NU membaca puisi tersebut, tetapi Ulil menyebutnya sebagai keberanian. Berikut penjelasan Ulil Abshar-Abdalla di suaraislam.co:
Tentang “Puisi Paskah” itu: Sebuah Penjelasan*
Oleh: Ulil Abshar-Abdalla
SETELAH video yang menampilkan dua santri yang membacakan Puisi Paskah yang saya tulis beredar-luas di sejumlah WAG, muncullah percakapan, perbincangan, pro-kontra yang lumayan seru, terutama di kalangan teman-teman NU. Dalam beberapa hari terakhir ini, saya menerima banyak sekali pesan melalui WA, menanyakan: Apakah benar saya menulis puisi yang dibacakan dalam video itu. Bahkan ada seorang teman NU dari Jawa Timur yang meminta saya agar secara khusus membuat pernyataan, entah melalui video atau tertulis, bahwa sayalah penulis puisi itu.
Tak lama berselang, portal berita Duta dari Jawa Timur menulis laporan mengenai video ini, dan memuat komentar Prof. Dr. H. Rochmat Wahab, seorang mantan pengurus PWNU Yogyakarta. Dan kemudian percakapan menjadi lebih “seru” lagi. Komentar Prof. Wahab sangat keras menentang puisi itu, dan video pembacaan yang menampilkan dua santri yang masih berusia sangat beli — santri perempuan memakai jilbab, sementara santri laki-laki memakai baju koko dan peci yang memuat logo NU. Ini adalah gejala “liberalisasi” yang amat berbahaya dalam NU, kata Prof. Wahab.
Saya kira, salah satu sumber kontroversi dalam video ini adalah logo NU dalam peci yang dipakai oleh santri laki-laki itu. Seorang tokoh NU di tingkat pusat menyayangkan, kenapa harus membawa-bawa nama dan logo NU. Saya berandai-andai, jika tak ada logo NU di dalam video itu, mungkin tak akan ada percakapan seru seperti sekarang ini. Mungkin.
Semula saya malas memberikan komentar apapun mengenai soal video ini, meskipun banyak pesan yang masuk ke telepon genggam saya nyaris setiap hari sejak Jumat, 10/4, yang lalu – hari yang dikenal di kalangan umat Kristen sebagai Jumat Agung atau “Good Friday” itu, hari ketika Yesus atau Nabi Isa disalibkan. Beberapa hari ini saya diam saja, dan sama sekali tak tertarik memberikan komentar apapun, selain klarifikasi singkat yang berisi konfirmasi bahwa: Ya, saya menulis puisi itu, sekitar tujuh tahun lalu.
Tetapi, setelah berlalu beberapa hari, saya berubah pikiran: rasanya tidak baik jika saya diam saja tanpa memberikan penjelasan apapun. Akhirnya, saya putuskan untuk menulis penjelasan ini.
Mungkin saja penjelasan ini tak memuaskan semua pihak, terutama pihak-pihak yang memang memiliki “posisi intelektual-teologis” yang berbeda dengan saya, dan cenderung tak menyepakati hal-hal semacam ini. Tetapi bagi saya, itu hal yang tak perlu dirisaukan. Perbedaan pandangan adalah yang lumrah di kalangan umat Islam, termasuk di kalangan nahdliyyin. Difference is a good food for a healthy society, perbedaan adalah makanan yang sehat untuk sebuah masyarakat.
Bagaimana sejarah munculnya puisi ini? Puisi ini saya tulis sekitar tujuh tahun yang lalu, dan tidak saya niatkan sebagai sebuah puisi. Sebab, semula apa yang belakangan dikenal sebagai “puisi” itu berasal dari twit yang saya tulis persis pada saat momen Jumat Agung. Saya masih ingat, rangkaian twit yang belakangan dikumpulkan oleh seseorang (saya tidak tahu siapa) menjadi puisi itu saya tulis pada suatu pagi, menggunakan Blackberry (sekarang alat ini sudah nyaris “punah”), dan memakai aplikasi yang populer saat itu: Uber Twitter. Saya menuliskan “puisi” itu dengan “penghayatan” yang mendalam. Saya merasa, pagi itu saya seperti mengalami semacam pengalaman “teofani” (tajalliyat) yang mendadak. Setelah twit itu saya siarkan, saya sudah lupa sama sekali. Saya tak menduga bahwa twit-twit itu akan menjadi “Puisi Paskah” yang digemari banyak kalangan, terutama teman-teman Kristiani.
Kira-kira setahun atau dua tahun kemudian (saya lupa persisnya), rangkaian twit-twit saya itu kemudian menyebar (bahasa sekarang: viral) pada saat perayaan Paskah sebagai sebuah puisi yang utuh. Saya tak tahu siapa yang mengumpulkan dan merangkai twit-twit itu, dan siapa yang pertama kali menyebarkannya. Sejak itu, puisi itu secara rutin beredar setiap tahun pada saat perayaan Paskah, terutama pada momen Jumat Agung. Saya senang sekali bahwa kawan-kawan Katolik/Kristen menggemari puisi ini. Bahkan ada sebagian kawan Katolik yang berseloroh bahwa ada tiga puisi Paskah: puisi Rendra, Joko Pinurbo, dan puisi saya. Puisi Paskah yang saya tulis tentu menempati posisi yang spesial karena digubah oleh seorang Muslim.
Kenapa saya menulis puisi ini? Saya, sejak usia muda, saat menjadi aktivis di era 90an dahulu, era ketika Gus Dur masih sangat aktif sebagai intelektual Muslim paling top di Indonesia yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan dialog antar-iman, memang sudah berminat untuk mempelajari dan mengapresiasi tradisi keagamaan dari agama-agama dan kepercayaan di luar Islam. Agama Kristen dan Yahudi termasuk di antara dua agama yang paling menarik perhatian saya. Saya bahkan sengaja belajar bahasa Ibrani secara khusus agar bisa membaca kitab Torah dalam bahasa aslinya – meskipun masih “grothal-grathul”, belum lancar.
Saya memiliki banyak sekali teman-teman Katolik/Kristen, dan saya juga mengagumi sejumlah intelektual yang berasal dari dua tradisi keagamaan itu, seperti YB Mangunwijaya, Franz Magnis Suseno, Ignas Kleden, Daniel Dhakidae, Eka Dharmaputera, Th. Sumartana, A. Yewangoe, dll. Karena itu saya tertarik untuk mempelajari keyakian dan tradisi keagamaan yang mereka anut. Saya berpikiran: jika saya berteman dengan seseorang dengan akrab, dan saya tidak mencoba memahami “lebih dalam” tradisi keagamaan dan spirtualitas dia, agaknya kok kurang lengkap.
Puisi Paskah yang saya tulis itu adalah bagian dari cara saya mengapresiasi tradisi keagamaan teman-teman saya yang beragama Katolik/Kristen. Beberapa hari yang lalu, Dr. Ignas Kleden mengirim pesan yang mengharukan via WA kepada sbb: “Mas Ulil yang Budiman, terima kasih buat sajakmu tentang Jumat Agung yang kami rayakan hari ini. Ucapan terima kasih ini bukan lantaran simpatimu yang tulus kepada sebuah peristiwa iman Kristen yang terpenting, tetapi untuk kerendahan hatimu yang bersedia belajar dari mana saja, dari siapa saja, tentang pengorbanan sebagai tanda kasih Allah bagi semua kita. Sudah saya teruskan ke STF Ledalero-Maumere melalui adik saya Romo Leo Kleden. Penghuninya menyambut hangat puisimu ini. Salam.”
Sedikit selingan soal Dr. Kleden: Dia adalah salah satu intelektual Katolik yang saya kagumi sejak lama. Saya membaca dan menikmati tulisan-tulisan dia sejak masih usia belia, sejak masih menjadi santri di sebuah dusun di Pati: Cebolek. Salah satu tulisan panjang dia yang saya sukai, dan baca berulang-ulang (karena tidak paham!) adalah kata pengantar dia untuk bunga rampai yang memuat tulisan-tulisan Soedjatmoko berjudul “Etika Pembebasan”.
Tulisan-tulisannya yang disiarkan melalui jurnal Prisma pada tahun 80an juga saya baca dengan penuh antusiasme. Adalah kebahagiaan yang luar biasa besar bagi saya, menerima “compliment” dan apresiasi dari intelektual yang saya hormati ini. Saya amat terharu.
Apakah puisi ini tidak melanggar akidah Islam? Jawaban saya: Tidak. Batas paling penting dalam dialog antar-agama adalah akidah: selama seorang Muslim masih berpegang pada akidah Islam, dia tetaplah seorang Muslim. Mengapresiasi tradisi keagamaan dan kepercayaan yang dianut oleh umat agama lain, termasuk tradisi perayaan Natal dan Paskah, misalnya, tidak menjadikan seseorang keluar dari Islam, dan masuk Kristen; sebagaimana seorang Kristen yang mengapresiasi tradisi dan keyakinan Islam, tidak serta-merta menjadi seorang Muslim. Dalam masalah akidah, pembeda paling penting dalam hubungan Islam-Kristen adalah pandangan tentang sosok Yesus atau Nabi Isa. Seorang Muslim mempercayai Yesus sebagai nabi sebagaimana nabi-nabi yang lain, meskipun nabi dengan kedudukan yang amat spesial; sementara umat Kristen meyakini ketuhanan Yesus.
Saya sangat mengapresiasi iman dan tradisi teologi Kristen, dan saya banyak belajar hal baru dari tradisi agama ini. Tetapi saya tetap berpijak pada akidah pokok dalam Islam tentang sosok Yesus ini: Yesus adalah nabi, bukan Tuhan. Dalam puisi Paskah yang saya tulis, tak ada satupun kalimat yang menegaskan bahwa saya menyetujui pandangan Kristen mengenai ketuhanan Yesus. Saya hanya mengapresiasi momen penyaliban Yesus yang bagi saya, sebagai seorang Muslim, bisa dimaknai secara simbolis sebagai simbol “pengorbanan” yang besar.
Agama apapun, bagi saya, memuat simbolisme yang menarik, terutama melalui hari-hari besar yang menandai peristiwa penting dalam agama itu. Peristiwa haji dan Hari Raya Kurban yang sangat penting bagi umat Islam, misalnya, bisa memiliki “makna spiritual” yang mendalam bagi seorang Kristen jika ia berniat untuk, dan mau melakukan refleksi terhadapnya.
Bukankah dalam pandangan Islam, yang disalib di kayu palang itu bukanlah Yesus, melainkan orang lain seperti ditegaskan dalam Qur’an ayat 4:157? Masalah ini sebetulnya tidaklah sederhana, dan jawabannya tidak se-“konklusif” yang kita bayangkan. Yang berminat saya persilahkan membaca artikel lama yang ditulis oleh Prof. Mahmoud Ayoub yang dimuat dalam jurnal The Muslim World (April, 1980) berjudul: “The Death of Jesus: Reality or Delusion – The study of the death of Jesus in tafsir literature.” Saya akan sertakan secara terpisah artikel ini supaya bisa dibaca oleh teman-teman yang tertarik untuk mengkaji lebih jauh.
Seperti saya katakan dalam puisi Paskah itu, saya sebetulnya tidak terlalu tertarik pada (bukan: dengan) “debat teologi”. Selain melelahkan, debat seperti ini hanya menimbulkan kesalah-pahaman yang kurang perlu, serta kurang kondusif bagi upaya membangun hubungan antar-agama yang harmonis. Saya justru lebih tertarik pada “pemaknaan spiritual” atas momen penyaliban itu: “Mereka bertengkar tentang siapa yang mati di palang kayu./ Aku tak tertarik pada debat ahli teologi./ Darah yang mengucur itu lebih menyentuhku.”
Masing-masing umat bisa memberikan apresiasi pada momen-momen keagamaan yang dirayakan oleh agama lain. Hal semacam ini akan sangat positif untuk membangun suasana keagamaan yang dialogis dan saling menghargai. Tentu saja kita tak boleh beranggapan bahwa yang tidak melakukan hal-hal seperti ini, berarti tidak toleran. Sama sekali lagi, tidak. Saya hanya mengatakan: jika ada yang mau dan mampu melangkah “lebih jauh” untuk mengapresiasi tradisi agama lain, itu tindakan yang bagus.
Sekali lagi, saya tegaskan bahwa batas pokok dalam masalah dialog antar-agama adalah akidah. Masing-masing umat beragama berhak memiliki akidah yang berbeda, dan menghargai perbedaan itu. Tetapi perbedaan ini tidak harus menghalangi seseorang untuk mengapresiasi tradisi keagamaan pada agama lain. Bahkan apresiasi semacam ini diperlukan untuk membangun dasar-dasar dialog antar-iman yang lebih kokoh.
Kebablasankah? : Tentang dakwah rahmatan lil ‘alamin
Sebagian komentar menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh dua santri dalam video-clip puisi Paskah itu adalah bentuk “toleransi yang kebablasan”. Saya menghargai komentar semacam ini. Tetapi, dalam pandangan saya, ini bukanlah toleransi yang kebablasan karena masih dalam koridor akidah yang saya kemukakan di atas. Selama seorang Muslim tidak meyakini ketuhanan Yesus, dia tidak melanggar batas. Ini prinsip yang saya pegang. Kalau ada yang berbeda pandangan mengenai hal ini, monggo saja.
Komentar semacam ini tak saya pandang sebagai sikap “tertutup”, melainkan sebagai tanda kecintaan pada Islam. Seseorang yang jatuh cinta secara mendalam pada suatu hal, sangat wajar jika ia bersikap protektif terhadap yang dicintainya. Ini tindakan yang lumrah dan alamiah. Tetapi kiblat saya dalam “cinta” adalah Kiai Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, sosok yang (sama dengan Ignas Kleden) pikiran-pikirannya sudah mulai saya baca dengan penuh minat sejak masih menjadi santri di kampung.
Gus Dur adalah sosok yang menjadi kiblat saya dalam banyak hal, terutama dalam pemikiran dan tindakan, selain Cak Nur. Di antara sosok-sosok yang lain, Gus Dur menempati posisi yang teramat spesial dalam formasi pemikiran saya secara pribadi. Dia benar-benar “membentuk” saya secara intelektual sejak awal.
Saya dan ratusan, mungkin bahkan ribuan anak-anak muda NU lain yang tumbuh pada tahun-tahun yang sama (dekade 80an dan 90an), banyak belajar dari Gus Dur tentang hal penting: bersikap terbuka dan tidak cemas untuk melakukan “encounter”, perjumpaan, berdialog dengan teman-teman di luar Islam – terutama Kristen/Katolik. Persahabatan Gus Dur yang sangat lekat dengan tokoh-tokoh dari berbagai agama, terutama tokoh Hindu Bali, Ibu Gedong Oka, sangat mengesankan saya dan kawan-kawan lain saat itu. Saya belajar dari Gus Dur tentang mencintai Islam, termasuk mencintai tradisi NU, secara terbuka, bukan “cinta yang protektif” berlebihan.
Tentu saja mereka yang menempuh jalan “cinta protektif” ini tidak salah. Bahkan, seperti akan saya jelaskan lebih detil di bagian penutup tulisan ini, dalam setiap agama harus ada orang-orang yang menjalani “cinta protektif” itu sebagai bagian dari “keseimbangan alam”.
Itulah hukum Tuhan di alam raya ini: hukum yang tak akan berubah kapan pun (wa-lan tajida lisunnati-l-Lahi tahwilan, demikian ditegaskan dalam Qur’an). NU sudah menetapkan jalan dakwah yang sangat penting: yaitu dakwah untuk Islam rahmatan lil ‘alamin. Yaitu jalan dakwah yang menebarkan kasih sayang, rahmat bagi semua pihak. Tentu saja ajaran ini sudah tertuang sejak awal dalam Qur’an, dan dipraktekkan sejak dahulu oleh para wali dan kiai yang mendakwahkan Islam di bumi Nusantara. Tetapi istilah ini menjadi populer kira-kira sejak Muktamar NU di Jombang pada 2015. Saya yakin benar bahwa gagasan ini tidak mungkin lahir jika tidak ada sosok Gus Dur sebagai “game changer”, sosok yang benar-benar mengubah arah orientasi kultural, intelektual, dan politik dalam komunitas nahdliyyin sejak memimpin NU pada 1984.
Tentu saja tidak semua pihak dan kiai di NU ittifaq, menyepakati jalan yang ditempuh oleh Gus Dur. Kritik dan tentangan, “al-naqd wa al-radd”, selalu ada, dan ini adalah hal yang lumrah dalam tradisi NU. Nda usah Gus Dur. Lha wong pendapat-pendapat pendiri NU pun, Hadlratus Syaikh Hasyim Asy’ari, tidak semuanya disepakati oleh para kiai lain. Kita masih ingat polemik antara Mbah Hasyim dan Kiai Faqih Maskumambang mengenai status boleh tidaknya (dalam kaca mata hukum fikih) menggunakan “al-naqus” atau kentongan sebagai penanda waktu salat. Ikhtilaf dan perbedaan dalam NU adalah hal yang biasa.
Berkat terobosan-terobosan pemikiran oleh Gus Dur, dan berkat jalan dakwah rahmatan lil ‘alamin inilah kemudian kita menyaksikan, saat ini, banyak kiai dan aktivis NU di sejumlah kota dan daerah yang dengan kesabaran dan keberanian luar biasa membangun “jembatan dialog” dengan kalangan di luar Islam. Saya tak mau menyebut nama, tetapi saya tahu ada banyak kiai di berbagai daerah yang menjadi “gus dur-gus dur kecil” yang melanjutkan perjuangan Gus Dur untuk membangun hubungan dengan kelompok di luar Islam. Di Salatiga, Magelang, Yogyakarta, Solo, Semarang, Surabaya, dan kota-kota lain – saya melihat kiai-kiai seperti ini.
Langkah-langkah Gus Dur juga diteruskan, misalnya, oleh Ibu Sinta Nuriyah Wahid yang setiap bulan puasa mengadakan sahur bersama yang melibatkan aktivis-aktivis lintas agama. Sebagian dari kegiatan sahur Ibu Sinta itu bahkan diadakan juga di gereja. Sejumlah tokoh NU bahkan berkunjung ke Vatikan, pusat agama Katolik, dan bertemu langsung dengan Sri Paus. Pertemuan semacam ini disambut dengan hati yang lega oleh teman-teman Kristen karena menandakan adanya ‘alaqat al-tafahum wa al-ikha’, hubungan saling memahami dan persaudaraan yang otentik.
Puncak yang mengharukan dari semuanya, “the crowning moment”, adalah langkah Banser NU yang menjaga gereja pada setiap acara Natal. Seorang anggota Banser bernama Riyanto bahkan meninggal pada Desember 2010 karena menjaga Gereja Eben Haezer di Mojokerto. Saya sempat berziarah ke makamnya. Bagi saya, dia adalah pahlawan toleransi yang patut terus dikenang.
Karena reputasi semacam inilah NU kemudian dianggap sebagai pilar toleransi yang amat penting di Indonesia, selain Muhammadiyah. Nama NU menjadi harum karena sikapnya yang terbuka dan mengulurkan “tangan persahabatan” kepada tokoh-tokoh dari agama lain. Ini semua tidak mungkin terjadi jika tidak ada sosok bernama Gus Dur yang mengubah paradigma pemikiran dalam NU sejak tahun 80an.
Terobosan-terobosan Gus Dur ini tidak membuatnya lepas kendali dari tradisi NU. Gerakan Gus Dur tetap dalam koridor tradisi NU yang menjulur panjang ke belakang, ke sejarah Wali Songo yang sudah menanamkan benih-benih penghargaan kepada keragaman dan tradisi lokal. Gus Dur meneruskan kebijaksanaan yang luar biasa dari Sunan Kudus yang membangun menara masjid dengan arsitektur Hindu. Apa yang dilakukan teman-teman Banser saat ini adalah meneruskan saja apa yang sudah dimulai oleh Wali Songo dulu: dakwah rahmatan lil ‘alamin.
Salah satu santri yang tampil dalam video itu adalah anak seorang kawan saya, seorang kiai muda di Jakarta. Saya sendiri tak tahu siapa yang memproduksi video ini, tetapi saya menghargai upaya itu. Saya senang ketika santri putera dalam video itu membacakan Puisi Paskah dengan mengenakan peci (simbol kultural warga nadhdliyyin) dengan logo NU. Apa yang dilakukan santri cilik ini setara nilainya dengan keberanian Banser NU menjaga gereja saat Natal yang sudah berlangsung beberapa tahun – dan direstui oleh Gus Dur.
Bagaimana jika ada sikap yang berbeda?
Inilah bagian akhir dari tulisan saya. Bagian ini secara khusus saya akan gunakan untuk menjelaskan pandangan pribadi saya tentang bagaimana menyikapi pendapat yang berbeda dalam umat Islam, terutama dalam komunitas nahdliyyin. Gara-gara video Puisi Paskah ini, saya dibanjiri pertanyaan oleh teman-teman NU tentang bagaimana menjelaskan hal ini kepada masyarakat di bawah. Sebagian penjelasan sudah saya kemukakan di atas. Di bagian ini, saya hanya akan menjawab masalah yang satu ini: Bagaimana jika ada pandangan yang beda?
Video Puisi Paskah ini, seperti sudah saya kemukakan di awal tulisan ini, dikritik oleh Prof. Wahab dari Yogyakarta. Banyak kawan-kawan di NU yang keberatan, meskipun yang setuju juga tak kalah banyak. Saya senang ada kritik atas video dan Puisi Paskah saya ini.
Diskusi pemikiran menjadi hidup, dan percakapan di kalangan warga nahdliyyin berkembang lebih luas. Ini adalah al-hikmah al-makhfiyyah, hikmah yang tersembunyi di balik perbedaan; menghidupkan diskusi pemikiran. Yang tidak tepat adalah jika masalah ini “digoreng” untuk tujuan sensasi.
Saya menganjurkan, setiap perbedaan pemikiran di NU janganlah disikapi dengan cara seperti “kelompok di luar sana” menyikapi perbedaan, yaitu digoreng, diplintir di luar konteks, dibumbui dengan hal-hal lain yang non-pemikiran. Setiap perbedaan pemikiran haruslah dijadikan bahan diskusi dan sarana untuk mengeksplorasi pendapat dan argumen. Menggoreng udang bagus, tetapi “menggoreng” perbedaan untuk tujuan-tujuan yang kurang pas, sama sekali tidak bagus.
Di dalam NU, menurut saya, haruslah selalu ada perimbangan antara dua pihak: pihak yang “galak” dan pihak yang “lunak”. Saya menggunakan paradigma yang dipakai oleh Imam Abdul Wahhab al-Sya’rani (w. 1565), seorang ahli fikih asal Mesir, sufi pengikut tarekat Syadhiliyyah dan pengagum pikiran-pikiran Ibn ‘Arabi (w. 1240).
Dalam kitabnya yang banyak di-“balah” atau diajarkan di pesantren-pesatren NU berjudul “al-Mizan al-Kubra”, Imam al-Sya’rani meletakkan paradigma yang penting untuk menyikapi perbedaan mazhab fikih dalam Islam. Gagasan itu saya sebut sebagai Paradigma Sya’ranian yang intinya bisa diikhtisarkan sebagai berikut: Seluruh perbedaan dalam mazhab fikih bisa diperas dalam dua “timbangan” (mizan) besar, yaitu timbangan takhfif (lunak) dan timbangan tasydid (galak). Mari saya kutipkan kalimat Imam al-Sya’rani yang menarik berikut ini:
Secara garis besar, kutipan ini bisa diikhitsarkan sebagai berikut: seseorang yang memahami “mizan” atau timbangan paradigmatik yang dipakai oleh Imam Sya’rani akan “santai” memandang perbedaan di antara para ulama mazhab – perbedaan yang begitu sengitnya sehingga digambarkan oleh beliau sebagai cekcok yang membuat salah satu pihak memandang pihak lain telah keluar dari agama. Dengan timbangan ini, seseorang akan merasa tenang menghadapi perbedaan-perbedaan “keras” seperti itu karena dia mampu melihat hakekat di balik perbedaan tersebut.
Yang dimaksud dengan hakekat di sini adalah bahwa semua perbedaan di antara para ulama bisa dikembalikan kepada dua “timbangan” pokok: timbangan galak dan timbangan lunak. Keduanya, dalam pandangan Imam al-Sya’rani, bersumber dari ajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Imam Sya’rani menyebut timbangan “spiritual” semacam ini sebagal “al-Mizan al-Sya’raniyyah,” timbangan Sya’rani (Sha’ranian scale).
Meskipun timbangan ini dikemukakan oleh Imam al-Sya’rani dalam kerangkaperbedaan mazhab fikih, tetapi tak ada salahnya jika kita memakai timbangan atau paradigma Sya’ranian ini dalam masalah-masalah sosial yang lebih luas, terutama dalam menghadapi perbedaan-perbedaan di lingkungan NU, juga di kalangan umat Islam secara umum. Dengan menggunakan “al-Mizan al-Sya’raniyyah” ini, saya ingin melihat bahwa tradisi intelektual dalam kalangan NU selalu diwarnai oleh dua model pendekatan dan pendapat: ada pendapat yang galak, ada pendapat yang lunak. Ada mode kiai yang “adaptative” dan lunak seperti Kiai Abdul Wahab Chasbullah; ada kiai yang “rigid” dan keras seperti Kiai Bisri Syansuri. Dalam setiap tahapan sejarah NU, dua model kekiaian ini selalu hadir, dan itu adalah pertanda yang amat baik.
Meskipun saya, secara pribadi, kebutuhan dalam NU untuk pendekatan yang memakai “timbangan takhfif”, lunak, adaptatif, dan kontekstul dalam situasi saat ini jauh lebih besar. Karena itu, saya lebih menyukai jenis pemikiran keagamaan yang mengarah kepada timbangan semacam ini, ketimbang “timbangan yang galak”. Meskipun, demi keseimbangan sosial, timbangan yang terakhir itu haruslah tetap ada. Seperti komentar seorang kiai ketika melihat kontroversi Gus Dur pada tahun-tahun 80an: NU itu seperti bus dengan penumpang besar; sang supir harus tahu kapan menginjak pedal gas, kapan menginjak pedal rem.
Bagaimana seseorang menafsirkan kesimbangan dua pedal ini dalam kehidupan nyata, bisa berbeda pendapat. Sesuatu yang dianggapa “kebablasan” orang tokoh A, belum tentu dipandang demikian oleh tokoh B, dan begitu juga sebaliknya. Sebab, terjemahan keseimbangan ini tidak mengena maksim atau kiadah yang “pasti”; masing-masing orang bisa mengajukan interpretasi yang berbeda.
Di sini, terbuka perbedaan pandangan yang luas. Asal berlangsung secara sehat, perbedaan semacam ini sangatlah sehat dan baik-baik saja. Setiap kelompok sosial dan kebudayaan, agar tetap eksis, membutuhkan dua jenis pendekatan seperti ini. Jika pendekatan yang “galak” dan kaku terlalu menonjol, kelompok itu akan mengalami kebuntuan, karena susah mengadapatasikan diri dengan perubahan.
Tetapi jika yang menonjol hanyalah pendekatan yang “takhfif”, lunak saja, kelompok sosial itu akan kehilangan jati diri, karena terlalu diserap oleh perubahan-perubahan zaman yang cepat. Keseimbangan antara dua “timbangan” inilah yang akan menjamin setiap komunitas tetap eksis, ada, tegak – dia dia beradaptasi, tetapi dengan tetap berpegang ada “core doctrines and values”, akidah dan nilai-nilai pokok.
Falsafah ini sudah tertuang dalam jargon yang sangat populer dalam NU: al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah – merawat tradisi lama yang baik, dan mengadopsi inovasi baru yang lebih baik. Sekian.***
Wal-l-Lahu a’lam bissawab.
Jatibening, Rabu, 15/4/2020
(sumber : https://www.suaraislam.co/penjelasan-gus-ulil-tentang-puisi-paskah-yang-viral-di-media-sosial/)
Mencintai Liverpool memang rasanya seperti menghirup petrikor, ada namun datang saat tertentu saja. Berbalut hal-hal puitis tanpa menyentuh senja dan kopi, Liverpool menghantarkan para pengagumnya kepada sebuah babak tentang ikhlas dalam mencintai.
Apa, sih, tahap cinta yang lebih tinggi dari ikhlas tanpa menggurui? Atau lebih menyeluruh seperti paradoks senjanya Fiersa Besari? Ah, terlampau indah bukan mencintai Liverpool, juga tetek-bengek di belakangnya yang selalu datang menghampiri.
Dari awal tahun, laju Liverpool yang tidak terbendung itu akhirnya digoncang oleh isu perang dunia ketiga. Kemudian datang lagi isu meteor yang akan menyerang bumi April. Dan akhirnya harus bertekuk lutut kepada pandemi virus corona. Sebagian fans mengatakan hal indah di sosial medianya. Entah karena legowo atau males berdebat sama fans sebelah, mereka kompak berkata, “kemanusiaan lebih penting, ambil saja trofi kami!”
Sudah indah dan romantis, bagaimana jadinya jika para pujangga (((misalnya))) mencintai Liverpool? Mungkin tim ini akan menjadi narasi besar pemikiran dan inspirasinya dalam menulis. Dari Sapardi hingga Dilan, beginilah sekiranya kala para pujangga mencintai Liverpool sepenuh hati dan tak lekang menjadi abadi.
Sapardi Djoko Damono
Saya adalah penggemar puisi-puisi Eyang Sapardi yang menusuk dan sampai kapan pun juga bakalan related sama keadaan cinta di berbagai jaman. Lalu, bagaimana ya jadinya jika Eyang membuat puisi atas dasar keadaan Liverpool yang kini sedang galau? Mungkin begini jadinya.
“Aku ingin mencintai Liverpool dengan sederhana
dengan Premier League yang tak sempat diucapkan selebrasi kepada jemari yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintai Liverpool dengan sederhana
Dengan dua kemenangan yang tak sempat disampaikan kemanusiaan kepada tragedi yang menjadikannya tiada.”
Atau menjadi seperti ini:
“Tak ada yang lebih tabah
dari hujan di Anfield
Dirahasiakannya trofi rindunya
kepada trofi-trofi itu”
Dikutip dan dirombak sedikit puisinya Eyang Sapardi dengan judul Hujan Bulan Juni.
Aan Mansyur
Siapa yang tidak tersihir kala membaca bukunya Aan Mansyur yang berjudul Melihat Api Bekerja atau Tidak Ada New York Hari Ini? Melalui bingkai-bingkai kata-kata nan indah juga realitas akan kehidupan. Juga, ia adalah penulis puisi Rangga untuk film Ada Apa dengan Cinta 2. Bagaimana, ya, jadinya jika ia adalah seorang Kopites?
“3.
atau, seperti trofi,
adalah dan yang telah tercuri.”
Dikutip dan dirombak sedikit dengan judul asli puisi M. Aan Mansyur dengan judul Dan.
Joko Pinurbo
Puisi-puisi yang indah dan cerdik dari Joko Pinurbo pasti cocok ketika membuat puisi tentang Liverpool. Dengan indah dan kata-kata menawan, mungkin jadinya seperti ini:
“Tuhan yang cantik,
temani aku
yang sedang menyepi
dari Premier League yang berhenti.”
Dikutip dan dirombak sedikit dengan judul asli puisi Joko Pinurbo dengan judul Doa Seorang Pesolek.
Fiersa Besari
Bukan hanya lagu yang menawan, Bung Fiersa tentunya menghidupkan lagunya melalui lirik yang puitis. Tidak hanya itu, buku-bukunya juga best seller seantero toko buku di Indonesia. Nah, seumpamanya nih, Bung Fiersa adalah Kopites, mungkin seperti ini ya jadinya:
“Lambat laun kusadari, beberapa trofi memang harus sembunyi-sembunyi. Bukan untuk disampaikan, hanya untuk dikirimkan lewat sepakbola. Beberapa rasa memang harus dibiarkan menjadi rahasia. Bukan untuk diutarakan, hanya untuk disyukuri kemenangannya.”
Dikutip dan dirombak sedikit dalam kutipan Fiersa Besari dengan bukunya yang berjudul Garis Waktu.
Atau bisa juga mengambil dari lagunya Fiersa Besari yang banyak digandrungi muda-mudi masa kini, yakni Celengan Rindu. Barangkali jika ia menulis maksud untuk Liverpool, maka jadinya seperti ini:
Aku kesal dengan FA
Yang tak lekas memutuskan
Barang sejenak
Agar aku bisa menangkat trofi Premier League~
Beni Satryo
Bagaimana jadinya jika Beni Satryo yang terkenal dengan pwissie-pwissie-nya yang mbeling ini adalah fans Liverpool dan melihat kondisi timnya yang sedang gundah gulana menanti keputusan liga? Mungkin jadinya seperti ini.
“Kepalaku terbuat dari sebuah kulkas.
Setiap laga pertandingan bernyanyi.
Sekali dibuka, cuma ada sebutir piala.
Itu pun tak pernah bertambah.”
Udah mau pecah telor, eh malah jadi gonjang-ganjing dunia persepakbolaan Inggris. Yaudah, kemanusiaan memang harus diutamakan, bukan? Dikutip dan dirombak sedikit puisinya Beni Satryo dengan judul Kulkas.
Pidi Baiq
Ayah memang nyeleneh tiap bikin puisi. Apa lagi tentang dunia kehidupan yang melingkupinya terkadang malah menemukan barisan kata sederhana padahal maknanya dalam. Bagaimana jadinya jika ayah adalah fans Liverpool? Mungkin puisi ini tercipta di tengah perasaanya yang sedang limbung:
“Meskipun membosankan di rumah tanpa bola,
jangan ingin cepat pulang kepada Tuhanmu!
Liverpool!
Kamu masih ada tugas untuk sembuh!
Masih ada tugas premier league!”
Bagaimana? Lebih ke arah pusi ala Dilan atau ayah? Ah, bukannya Dilan itu ayah, ya? Hehe. Dikutip dan dirombak sedikit dari puisinya Pidi Baiq dengan judul Joy Sakit.
Putri Marino
Saya pribadi, sih, suka dengan kata-kata Mbak Marino tiap membuat sajak dalam akun Istagramnya. Salah satunya, yang paling cocok untuk Liverpool saat ini sesuai dengan jargonnya you will never walk alone…
“…Liverpool tidak sendirian
Kau punya dirimu, dan
Kau punya aku. #poempm”
Dapat mewujudkan konsep manunggal antara Liverpool dan penggemarnya, bukan? Dikutip dan dirombak sedikit dari kutipan puisi Putri Marino di instagram.
Dilan
Pujangga fiktif yang jago gombal ini juga ahli masalah bikin puisi. Jika dia adalah fans Liverpool, Dilan akan menulis seperti ini:
“Bolehkah aku punya pendapat?
Ini tentang Liverpool yang ada di bumi
Ketika Tuhan menciptakan dirinya
Kukira Dia ada maksud mau menyuruhku untuk sabar.”
Dikutip dan dirombak sedikit dari puisinya Pidi Baiq dengan judul Milea 1. Atau ada opsi lain, yakni seperti ini:
“Aku di mana waktu kamu juara?
Aku ingin melihatnya.
Tapi, tapi, pada saat itu aku masih bayi”
Sumber Gambar: Twitter Liverpool FC
BACA JUGA Tiga Kebahagiaan Seorang Fans Liverpool atau tulisan Gusti Aditya lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
18
---
fans liverpool juara premier league Liverpool premier league pujangga
Hit enter to search or ESC to close
Drama Korea Page Turner/ Foto: KBS 2TV. Drama Korea Page Turner/ Foto: KBS 2TV.
- Drama Korea dapat menjadi pilihan Bunda mengisi waktu selama #DiRumahAja. Selain ceritanya beragam, drama Negeri Ginseng ini khas dengan plot yang sulit ditebak.Bagi Bunda pencinta drama Korea, ada beberapa pilihan drama dengan episode pendek yang cocok isi waktu. Dikutip dari berbagai sumber, berikut 7 drama tersebut:Drama How To Buy a Friend tayang 8 episode dari tanggal 6 sampai 14 April 2020 di stasiun TV KBS2. Drama ini diperankan Lee Shin Young yang populer lewat aktingnya di Crash Landing on You , Bun.How To Buy a Friend bercerita tentang Park Chan Hong (Lee Shin Young) dan Heo Don Hyuk (Shin Deung Ho). Keduanya adalah siswa SMA yang memiliki kehidupan sangat berbeda.Chan Hong yang suka menulis puisi ini membuat kontrak persahabatan dengan Dong Hyuk, seorang siswa petarung di sekolah. Kisah keduanya bermula saat Dong Hyuk menolong Chan Hong yang di-bully.Bagi Bunda penggemar artis IU, drama Persona cocok untuk ditonton nih. Drama yang diperankan IU ini tayang di Netflix dengan total 4 episode.Setiap episode menceritakan kisah yang tak sama karena diarahkan oleh sutradara yang berbeda. Drama Korea ini dibagi menjadi empat judul, yaitu Love Set, Collector, Kiss Burn and Walking at Night.Rencananya Persona bakal dibuat lagi untuk musim kedua. Selain IU, drama ini juga diperankan aktor kenamaan seperti Bae Doona, Park Hae Soo, dan Jung Joon Won.Page Turner adalah drama Korea yang tayang tahun 2016. Drama yang memiliki total 3 episode ini dibintangi Kim So Hyun dan Ji Soo.Page Turner bercerita tentang pianis Yoon Yoo Seul yang menjadi buta setelah kecelakaan mobil. Ia lalu berjuang untuk bangkit dengan bantuan Jung Cha Sik, dan Seo Jin Mok.Drama yang tayang di stasiun TV KBS2 ini berhasil menuai banyak pujian. Sebab, cerita dan kisahnya begitu menggambarkan emosi remaja.Drama Korea Splash Splash Love berkisah tentang Jang Dan Bi, seorang siswa SMA yang punya ketakutan dengan matematika. Suatu hari dalam perjalanan ujian sekolah, Dan Bi terjatuh genangan air di taman. Ternyata itu adalah portal menuju era kerajaan Joseon, Bun.Dan Bi yang terdampar di era kerajaan Joseon lalu bertemu dengan Raja Lee Do dan menjadi orang kepercayaannya. Di kerajaan itu, Dan Bi belajar tentang sains dan jatuh cinta dengan sang raja.Splash Splash Love tayang di stasiun TV MBC tahun 2015 dengan total 2 episode. Drama ini diperankan oleh Kim Seul Gi dan Yoon Doo Joon.adalah drama Korea tayang sebanyak 10 episode di tahun 2017. Setiap episodenya hanya tayang 15 menit, Bun.Drama bergenre romantis ini bercerita tentang seorang gadis bernama Sun Eun Woo (Jin Ki Joo) yang dicampakkan oleh pacarnya. Ia berusaha memenangkan hati sang mantan kembali dengan cara membuatnya cemburu.Eun Wo lalu meminta bantuan sahabatnya sejak kecil Yoon Jae Won (Lee Hong Bin). Setiap hari Rabu jam 3.30 sore, dia akan memposting kencannya di Instagram.Bunda pencinta drakor romantis yang sederhana, enggak boleh terlewat drama ini ya. Drama To. Jenny mengisahkan Park Jung Min (Kim Sung Cheol), seorang pria yang menyerah untuk mengejar mimpinya sebagai musisi dan cinta pertamanya Kwon Na Ra (Jung Chae Yeon).Keduanya secara tak sengaja kembali bertemu saat Na Ra sudah menjadi idol yang tidak terkenal. Jung Min berusaha menolong Na Ra sekaligus menyatakan perasaan cintanya.To. Jenny merupakan drama Korea yang tayang 2 episode di tahun 2018. Drama ini adalah cerita romantis sederhana tanpa konflik yang rumit.Failing in Love bercerita tentang teman sekelas Kang Pa Rang dan Lee Si Won yang tinggal di satu rumah, namun berbeda lantai. Selama di sekolah, Pa Rang mendengar rumor bahwa Si Won menyukainya. Namun, Pa Rang tak pernah mau ambil pusing.Keadaan berubah saat Pa Rang menyatakan cinta pada beberapa perempuan, dia selalu ditolak karena alasan yang sama. Mereka tak enak dengan Si Won yang menyukainya. Hubungan persahabatan menjadi rumit karena Si Won tak mau mengakui perasaannya. Drama Korea Failing in Love tayang pada akhir 2019 lalu di stasiun TV MBC dengan total 5 episode.Sudah tertarik menonton salah satunya?Simak juga cerita Yannie Kim yang bermain di drama Korea, di video berikut:
[Gambas:Video Haibunda]