Contact Form

 

Tsunami Aceh, 15 tahun kemudian: 'Saya yakin putra saya masih hidup, dan usianya sekarang 21 tahun'


26 Desember 2004 seorang wanita bernama Umi Kalsum sedang sibuk menanam bunga di Desa Alu Naga, Kabupaten Aceh Besar. Perempuan yang tengah larut menggeluti hobinya itu tiba-tiba dikagetkan oleh guncangan gempa dengan episentrum di lepas pesisir barat Sumatera, Indonesia, tepatnya di bujur 3.316° N 95.854° E, kurang lebih 160 km sebelah barat Aceh sedalam 10 kilometer.

Kala itu, sekitar pukul 07.58 WIB, gempa berkekuatan 9,1 skala Richter (SR) menghantam Aceh, Pantai Barat Semenanjung Malaysia, Thailand, Pantai Timur India, Sri Lanka, bahkan sampai Pantai Timur Afrika. Beberapa menit kemudian, gelombang tsunami menerjang.

Umi langsung bergegas lari. Sang anak sempat memintanya untuk tidak lari, tapi wanita yang saat itu berumur 48 tahun memilih berlari mengajak cucunya.

Baru beberapa meter berlari, tubuh Umi dan cucuknya terhempas ombak tsunami. "Kami sudah teraduk-aduk dalam air, sesaat sempat saya lihat cucu saya dalam air, saya coba raih tapi tidak dapat, yang ada tangan saya kesangkut di pagar, ini hampir putus," cerita Umi.

Umi Kalsum pun hilang kesadarannya karena terombang-ambing gelombang pekat tsunami. Tapi tiba-tiba ada ular yang mendekat dan melilitnya. "Saya sadar pertama sudah di jembatan ini (Jembatan Kajhu), ya subhanallah mulut ular itu di depan mata saya, tubuh saya itu dililitnya," ujar Umi Kalsum dalam bahasa Aceh.

Si ular terus membawanya mendekat ke relawan. Tiga pemuda dari PMI kemudian menjemputnya dan melepaskan lilitan ular dari tubuhnya. "Sempat saya bilang sama anak itu, pas ditarik saya, nak ada ular, tidak apa-apa katanya dia nggak ganggu kita," cerita nenek yang juga kehilangan 30 sanak saudaranya saat tsunami menghantam desanya.

Selain itu Umi juga melihat ayam jago miliknya juga selamat berenang di atas sehelai papan tidur miliknya. "Ayam meutuah (mulia) itu juga selamat di atas papan tidur saya, itulah mungkin kuasa Allah," ujar Umi.




TRIBUNNEWS.COM - Tepat hari ini, Kamis 26 Desember 2019 menjadi hari peringatan terjadinya bencana tsunami Aceh yang terjadi 2004 silam.

Setelah 15 tahun berlalu, para korban selamat pun kembali bangkit dan menata hidupnya kembali.

Salah satunya adalah Mawardah Priyanka , gadis korban tsunami Aceh yang pernah viral karena ditolong seorang wartawan BBC bernama Andrew Harding.

Mawardah Priyanka baru berusia 11 tahun ketika tsunami meluluhlantakkan bumi Serambi Mekkah dan merenggut nyawa kedua orangtuanya.

Mawardah Priyanka masih terbilang beruntung karena kakak kandungnya juga ditemukan selamat.

Ia juga perlahan bangkit setelah dipertemukan dengan Andrewa Harding yang sudah dianggapnya seperti orangtua angkat.

•   Setahun Tsunami Banten, Begini Kabar Terbaru Artis Keluarga Korban, Ifan Seventeen hingga Ade Jigo

Seorang wartawan BBC , bernama Andrew Harding, yang saat itu sedang bertugas di   Aceh, bertemu pertama kalinya dengan Mawardah.

Dikutip dari laman BBC Indonesia pada Desember 2014 silam, Andrew menceritakan kembali kisahnya saat pertama kali dengan Mawardah.

"Di tenda darurat pengungsi yang didirikan dekat masjid, saya pertama kali bertemu dengan Mawardah Priyanka . Saat itu dia berusia 11 tahun, kelelahan, sangat kotor, dan sendirian.

Kedua orangtuanya meninggal karena gelombang tsunami - yang diperkirakan setinggi 35 meter - menimpa rumah mereka di desa di pesisir Lampuuk.




Saudah dan suaminya menunjukkan foto putra mereka, Muhammad Siddiq, yang tersapu gelombang tsunami pada tanggal 26 Desember 2004.

Seorang ibu yang kehilangan dua orang anaknya dalam bencana tsunami dahsyat di Aceh pada tahun 2004 yakin bahwa salah satu di antara mereka, putra bungsunya, masih hidup dan ia pun tak henti-hentinya mencari. Hidayatullah, wartawan di Aceh yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, mencari keberadaan keluarga Saudah yang pernah menjadi narasumber BBC lima tahun silam. Waktu itu, Saudah, warga Punge Blang Cut, Banda Aceh, yakin betul anaknya masih hidup sehingga terus berharap dan terus mencarinya. Saudah menempati rumah di pinggir pantai dan di depan rumahnya, di lahan sekitar 200 meter persegi, terdapat dua unit kapal yang bersandar secara paksa setelah diseret gelombang tsunami Aceh tahun 2004, yakni Kapal Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) dan kapal Administrasi Penjaga Laut Malahayati.

Kapal Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) dan kapal Administrasi Penjaga Laut Malahayati mendarat di depan rumah Saudah ketika terjadi tsunami 2004 lalu.

Saudah yang kini telah berusia 59 tahun, mengaku ingatannya mulai memudar, matanya kini telah mulai rabun karena dimakan usia. Namun ia masih ingat betul bagaimana gemuruh gelombang pasang tsunami menghantam badannya kala itu. "Saat itu saya mendengar suara riuh, saya pikir itu hanya suara angin, tapi setelah keluar dari rumah terlihat jelas air setinggi rumah tingkat dua sedang bersiap untuk menghantam rumah dan apa yang ada di sekitarnya," kenang Saudah.

Saudah ketika ditemui di rumahnya pada tanggal 23 Desember 2014, menjelang peringatan 10 tahun tsunami Aceh.

Saudah adalah seorang ibu dengan delapan orang anak. Dari kedelapan buah hatinya itu, dua orang menjadi korban tsunami 15 tahun silam, anak ketiga Titin Agustina dan putra bungsunya Muhammad Siddiq. Saat tsunami datang putra bungsunya masih berusia enam tahun. "Begitu melihat air saya lari sambil menggendong Siddiq. Berkali-kali anak itu minta turun dari gendongan agar bisa berlari sendiri, tapi saya tidak pernah melepasnya dari pelukan, sampai hantaman air yang memisahkan kami," kisah Saudah dengan suara serak dan matanya yang mulai sembab. Hampir sepanjang wawancara ia menangis, bahkan wawancara sempat dihentikan beberapa kali sambil menunggu Saudah menyeka air mata. Dalam gempa dan tsunami yang terjadi di Provinsi Aceh pada tahun 2004 lalu, sedikitnya 280.000 jiwa menjadi korban.

Rohmatin Bonasir Wartawan BBC News Indonesia Saya bertemu Saudah secara tidak sengaja ketika mengambil gambar dua kapal yang terdampar di depan rumahnya menjelang peringatan 10 tahun tsunami Aceh. Ia duduk termenung di teras rumahnya yang bercat hijau. Dengan derai air mata, ia pun mengungkapkan derita dan kepedihan hati sejak kehilangan sang putra, Muhammad Siddiq, dari dekapan untuk selamanya. Saudah mengaku menyesal mengapa ia tidak menuruti kemauan Siddiq untuk turun dari gendongan agar bisa berlari dari kejaran ombak. Rumahnya yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari pinggir pantai juga hanyut. Tak genap satu tahun pasca tsunami di atas tanah itu pula, Saudah bersama keluarga kembali mendirikan rumah meskipun lokasi itu rawan tsunami. Langkah tersebut dilakukan semata atas keyakinan putra bungsunya masih hidup dan suatu hari mungkin akan mencari keluarganya di tempat yang sama. Apa yang ia ceritakan sekarang konsisten dengan penuturannya pada peringatan tsunami tahun 2014 lalu.

Korban-korban tsunami dimakamkan di belasan kuburan massal yang tersebar di seluruh Aceh. Pada tahun 2010, korban yang belum terindentifikasi mencapai 170.000 jiwa. Menurut Asisten II Pemerintah Provinsi Aceh, Teuku Ahmad Dadek, hingga kini masih ada 70.000 nama yang belum diketahui nasibnya. Setiap momentum peringatan tsunami yang menyapu daratan Aceh pada 26 Desember, Saudah dan keluarga selalu datang ke kuburan massal yang berada di kawasan pantai Lampuuk, Aceh Besar, untuk menziarahi anak ketiganya yang menjadi korban kala itu. Mereka sekeluarga hanya datang berziarah ke satu tempat ini, karena alasan sebuah mimpi yang meyakinkan mereka bahwa anak ketiganya berada di area kuburan massal korban tsunami tersebut. "Titin sering datang dalam mimpi adik-adiknya. Ia meminta kami untuk sering datang dan menjenguk dia di kuburan massal pantai Lampuuk, karena itu kami hanya datang ke satu tempat," kata Saudah. 'Masih ada harapan' Saudah mengatakan jika masih hidup, anak bungsunya kini sudah berusia 21 tahun. Sebuah foto pernikahan anak pertamanya di Medan, Sumatera Utara pada tahun 2003 merupakan satu-satunya dokumen yang ada Muhammad Siddiq didalamnya. "Dulu kami sudah mencarinya ke mana-mana, sampai ke sebuah yayasan panti asuhan di Sumatera Utara, tapi belum berhasil menemukannya. Namun ayahnya pernah bermimpi kalau Siddiq masih hidup dan dia diasuh oleh seseorang di Jakarta," kata Saudah.

Gambar yang diambil pada tanggal 28 Desember 2004 menunjukkan kerusakan skala besar di Banda Aceh, Provinsi Aceh.

Saudah sekeluarga mengaku masih mencari keberadaan anak bungsunya sampai saat ini dan mengaku tak patah arang. Bahkan abang dan kakak kandungnya amat sangat sering berselancar di media sosial untuk mencari nama yang sama dengan adiknya. "Dalam mimpi mama dan ayah masih sering menggendong kamu, bahkan baru-baru ini kamu datang kembali dalam mimpi sambil pulang ke rumah, keyakinan itulah yang kami pegang bahwa engkau masih hidup," harapnya. Di usia yang semakin lanjut, Saudah dan keluarga tidak pernah menginginkan apapun lagi, selain sebuah harapan untuk kepulangan seorang anak. "Jika kau masih hidup pulanglah anakku, mama dan ayah masih menunggu kedatanganmu. Kami begitu rindu dan ingin memeluk tubuhmu. Semoga Allah memperkenankan pertemuan kita sebelum mama dan ayah bertemu dengan ajal," isak tangis Saudah semakin tidak terbendung kala mengingat Siddiq.




SERAMBINEWS.COM - Muhammad Idris (36) warga Peureulak Aceh Timur dan keluarganya pada setiap 26 Desember berkunjung ke Kajhu, Baitussalam Aceh Besar melakukan doa bersama.

Namun kunjungan kali ini pada tahun 2019 tidak ditemani ibunya Ainsyah (84) karena dalam keadaan sakit.

“Kali ini saya bersama istri saja ke Kahju, abang sempat ikut tidak,” tanyanya kepada Yusmandin Idris yang juga wartawan Serambinews.com (Serambi Indonesia), Rabu (25/12/2019).

Kunjungan setiap 26 Desember selain berdoa di pertapakan rumah juga mengenang musibah 15 tahun lalu.

Musibah yang merenggut nyawa kakaknya Zawiyah Idris (guru MTsN Model Banda Aceh) , suami Zawiyah Amiruddin Idrus (karyawan Serambi) dan adik kandung Naslimah serta tiga keponakannya dan mertua dari Zawiah.

Mereka waktu itu menempati satu rumah BTN di Kompleks Kajhu, Baitussalam, Aceh Besar.

•  Anak Ini Meninggal Dalam Pelukan Ibunya, Dikeroyok dan Ditusuk di Lokasi Pesta

Muhammad Idris menuturkan, saat musibah terjadi, Zawiyah dan keluarganya tinggal di Kahju, Kecamatan Baitusallam.

Ada satu kisah yang masih diingatnya pada malam tsunami atau sebelum musibah terjadi.

Waktu itu kakaknya (Zawiyah) mengatakan kepada Muhammad, nanti usai haji adek (Muhammad) tinggal di rumah saja, kami sekeluarga akan pulang semua karena kami sudah sediakan satu ekor lembu untuk Qurban menyambut lebaran haji.




SERAMBINEWS.COM, SUKA MAKMUE - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Letjen TNI Doni Munardo mengatakan bahwa bencana alam bukalah hukuman dari Sang Khalik, tetapi adalah kejadian alam yang berulang.

"Keyakinan saya ini datang dari apa yang terekam di Gua Eek Lunttie Aceh Besar,” ujar Doni di sela kunjungan ke Aceh saat transit di Bandara SIM Aceh Besar disambut Asisten II Setda Aceh, Teuku Dadek dan Pangdam IM, Rabu (25/12/2019).

Doni ke Aceh dalam rangka menghadiri peringatan gempa dan tsunami Aceh Ke 15 tahun diselenggarakan Pemerintah Aceh yang dipusatkan di Pidie, Kamis (26/12/2019).

Dalam pers rilis kepada wartawan, Doni menjelaskan, Gua Eek Lunttie merekam paling tidak ada empat belas kali gempa dan tsunami dengan skala/kekuatan pada tahun 2004 dan sudah terjadi 7500 tahun silam.

Doni juga mengatakan bahwa peletakan batu pertama pembangunan Geoprak Gua Eek Lunttie di Aceh Besar dibuat acara khusus, sebagai upaya memberitahukan kepada dunia bahwa kejadian gempa dan tsunami Aceh adalah berulang.

Doni menambahkan bahwa Gua Eek Lunttie adalah rekaman terbaik terhadap kejadian gemp dan tsunami Aceh yang berulang dan dijadikan sebagai iktibar bahwa gempa dan tsunami adalah kejadian alam yang harus disikapi dengan rasionalitas dan budaya siaga.

• Cerita Warga Pasi Lhok Pidie Saat Tsunami, Orang Tuanya Lumpuh Dapat Keajaiban

• BMKG Nagan Raya Imbau Warga jangan Lihat Gerhana Matahari Cincin tanpa Alat Ini

• Kemenag Aceh Matangkan Persiapan Pemantauan Gerhana Matahari Cincin di Simeulue

“Ini bukan hukuman apalagi kuntukan tetapi adalah bencana alam yang perlu disikapi dengan sikap siaga untuk tidak jatuh korban. Kita harus jaga alam, dan alam akan jaga kita," katanya.

Dikatakannya, hasil kunjungannya diberbagai belahan Indonesia bahwa bencana itu banyak berulang, bahkan ada di satu tempat yang sama, yang paling penting adalah bagaimana masyarakat diberitahu dan adanya kesungguhan pemerintah dan semua untuk memberitahu kepada masyarakat supaya siaga.

Kepala BNPB mengatakan bahwa lembaganya akan memasyarakatkan keluarga tangguh bencana sampai ke desa.




Safri, Didin dan Wak Gel berada di luar gedung menatap kosong kantor mereka yang remuk. Tak lama kemudian, orang-orang berlarian sambil meneriakkan, “air laut naik, air laut naik.” Safri kaget, tak percaya, masih berusaha melihat beberapa aset di bekar reruntuhan gedung. “Saya lalu melihat air keluar dari got, memenuhi jalan, ini serius,” kisahnya kepada acehkini , Kamis (25/12/2019).




SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH – Ini merupakan satu diantara sepuluh Escape Building yang dimiliki propinsi Aceh. Bangunan penyelamatan ini berlokasi di Alue Deah Teungoh, Meuraxa, Banda Aceh.

Selain sepi aktivitas, gedung bernilai Rp 15 Miliar yang dibangun pemerintah Jepang pada 2006 silam ini pun terkesan tanpa perawatan.

Mulai dari coretan di dinding, cat yang mengelupas, plafon retak hingga kehadiran rerumputan di celah lantai.

• UAS Batal Hadiri Peringatan Tsunami di Pidie, Anak Dai Sejuta Ummat Sebagai Pengganti

• Gerhana Matahari Bersamaan Peringatan Tsunami Aceh, Ini Lokasi Pengamatan dan Shalat di Lhokseumawe

• Biaya Peringatan Tsunami di Pidie Ditanggung Pemerintah Aceh, Pemkab Menanggung Ini

Pihak desa mengaku tak memiliki dana untuk mengurus, terlebih gedung ini berada di bawah pengelolaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Banda Aceh.




Meski hari tersebut merupakan hari peringatan gempa dan tsunami Aceh yang terjadi 26 Desember 2004.

SERAMBINEWS.COM, SUKA MAKMUE - Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Aceh pada Kamis (26/12/2019) besok tetap bekerja seperti hari biasa.

Meski hari tersebut merupakan hari peringatan gempa dan tsunami Aceh.

Demikian juga PNS di Pemkab Nagan Raya tetap masuk dinas meski mereka diminta untuk hadir ke lokasi peringatan tsunami di Masjid Desa Langkak, Kecamatan Kuala Pesisir.

• Jalan di Pusat Pemerintahan Aceh Singkil Tergenang

• Nasib Pengemudi Lamborghini yang Todong Pistol ke Dua Pelajar, Mobil Disita dan Pelaku Dipenjara

• Viral! Kisah Kucing Selamatkan Tuannya dari Teror Ular, si Putih Bertarung Hebat dengan Ular Kobra

Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Nagan Raya, Bambang Surya Bakti kepada Serambinews.com, Rabu (25/12/2019) mengatakan, Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh tahun 2019 bahwa yang libur hanya pekerja/buruh atau karyawan perusahaan pada peringatan tsunami .

"Sedangkan PNS tetap bekerja seperti biasa," katanya.

Menurut Bambang, PNS di Nagan Raya sudah disampaikan untuk meramaikan peringatan tsunami di Langkak, sedangkan bidang pelayanan tetap bekerja seperti biasa.

Dikatannya, PNS sudah libur cuti bersama pada Selasa (24/12/2019.(*)







Banda Aceh - Pagi itu, lima belas tahun yang lalu di Desa Lampageu, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, sambil berlari ke rumahnya, Razali berteriak bahwa air laut naik ke darat. Orang-orang bingung, Beberapa di antara mereka tak percaya. “Saat lari, mata saya tetap ke arah ombak itu, ombaknya tidak hilang dan terus mengejar saya, saya sampai ke rumah, ombak itu semakin dekat, saya sampaikan sama keluarga dan yang dekat-dekat kami, saya suruh teriak dan suruh lari,” kata Razali pada Tagar , Minggu 22 Desember 2019. Pria berusia 66 tahun itu menjadi saksi hidup bagaimana dahsyatnya gempa dan tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 silam. Berjarak sekitar puluhan meter di belakang, air laut tampak mengejar Razali. Ia terus lari menuju rumahnya untuk menyelamatkan keluarga dan kerabat lainnya. Tiba di rumah, Razali memberi tahu keluarga dan meminta untuk lari ke daratan lebih tinggi. Dengan gandengan tangan Razali, sang istri Nadiah kemudian lari terseok-seok. Maklum, wanita yang kini berusia 55 tahun, saat itu sedang mengandung hampir usia sembilan bulan. Dengan kondisi hamil tua, Nadiah terus berjuang mencapai permukaan lebih tinggi agar air laut tak menenggelamkannya. “Saya pegang di tangan istri saya dan anak-anak yang masih kecil, kami lari ke arah gunung, saat lari, ombak itu makin dekat, kira-kira 15 meter naik gunung, baru ombak sampai di kaki istri saya,” ujar Razali. “Istri saya tarik kuat-kuat, dia bilang jangan begitu, “saya tidak mau pergi lagi, sudah capek”,” ucap Razali meniru ucapan istrinya saat kejadian. Saya cari kain, dapat kain jendela selembar, untuk dia melahirkan. Saat tiba di pegunungan, Razali dan keluarga berbaur dengan masyarakat lainnya yang selamat. Mereka kemudian menggelar musyawarah terkait bagaimana tujuan ke depan. Hasil musyawarah memutuskan semua warga bergerak ke permukaan lebih tinggi lagi. “Kami istirahat dan kumpul di sana yang masih selamat, bertanya-tanya kemana tujuan kita? ini sudah di rimba, ada sisa-sisa orang tua sepakat bahwa kita harus naik lebih tinggi lagi,” ujar Razali. Selanjutnya, Razali dan keluarga serta masyarakat lainnya bergerak ke arah lebih tinggi. Sekira pukul 16.00 WIB, mereka tiba di tujuan dan memutuskan istirahat di sana. Tak berselang lama, Nadiah mengaku nyeri di perutnya, menandakan bahwa akan melahirkan. Tidak ada stok makanan. Singkat cerita , sekira pukul 18.00 WIB, di tengah-tengah hutan berantara, Nadiah berjuang melahirkan anaknya tanpa bantuan medis. Perasaan khawatir mulai timbul dari benak Razali. Ia tak tahu kemana harus mengadu terkait nasib sang istri. Dia lalu turun gunung dan menyisari puing-puing bekas terjangan ombak tsunami . Dari jarak jauh, Razali melihat ada sehelai gorden, lalu ia mengambilnya dan membawa ke pegunungan. Tiba di sana, gorden itu digelar di atas rumput. “Saya turun ke pinggir-pinggir itu, saya cari kain, dapat kain jendela selembar, maka saya bawa ke sana untuk dia melahirkan, kain itu saya gelar di atas rumput, saya cari plastik dan dapat lagi yang dibawa tsunami, kemudian saya gelar di sana, lalu istri tidur di sana,” kenangnya.  Razali menceritakan kisah pilu sang istri melahirkan saat tsunami 2004 silam kepada wartawan di rumahnya di Desa Lampageu, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Minggu 22 Desember 2019. (Foto: Tagar/Muhammad Fadhil) Mata Razali memerah dan berbinar-binar saat menyisahkan pilu peristiwa yang ia alami 15 tahun silam. “Sedih memang kalau kita pikir-pikir,” lanjut Razali. Kesedihan Razali semakin terlihat saat menceritakan setelah sang buah hati lahir ke dunia. Ia tak tahu bagaimana caranya memotong tali pusar. Tak ada barang tajam, apalagi gunting layaknya di rumah-rumah sakit. “Waktu potong tali pusar di situ tidak ada cerita lagi, siapa yang potong, dengan apa dipotong, pakai apa untuk dipotong, waktunya udah azan magrib, saya lari lagi ke pinggir air di remang-remang itu dapat lagi parang bekas itu. Bawa ke sana sama-sama, potong tali pusar, lalu diikat dengan buli guni, dibalut dengan kain,” kata Razali. Di benak Razali saat itu hanya satu harapan, yakni istri dan sang buah hati harus selamat. Anaknya yang baru lahir kemudian diberi nama Muhammad Rizal. Setelah melahirkan, mereka bertahan di pegunungan selama tiga hari. Tak ada minuman, apalagi makanan . Mereka menyesuaikan diri dengan alam dan memanfaatkan hasil tanaman yang ada, salah satunya kelapa. “Tidak ada stok makanan, sebenarnya kami tidak memikirkan soal makanan karena sudah panik, kemudian saya turun gunung lagi, dapat satu karung beras yang sudah berantakan, saya bawa ke sungai, dicuci hilangkan lumpur, lalu saya suruh masak sama warga di gunung,” ujar Razali. Razali dan keluarga baru turun ke perdesaan pada Rabu, 29 Desember 2004 atau tiga hari setelah gempa dan tsunami. Mereka kemudian berjalan hingga ke pusat kecamatan. Di sana, bantuan makanan sudah mulai terlihat. Bayi ditidurkan di puing-puing bekas tsunami. “Kami duduk di simpang kantor camat, saat itu ceritanya sudah nampak hangat sedikit, bantuan sudah mulai berdatangan,” katanya. Berselang dua hari, Muhammad Rizal dijenguk oleh Camat Kecamatan Peukan Bada. Razali tak tahu lagi siapa nama sosok tersebut. “Rizal kemudian dibawa pulang ke rumah orang, saya juga tidak tahu ke rumah siapa,” kata Razali. Muhammad Rizal didampingi ayah Razali dan ibu Nadiah memperlihatkan fotonya saat masa kecil di Desa Lampageu, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Minggu 22 Desember 2019. (Foto: Tagar/Muhammad Fadhil) Detik-detik Melahirkan di Hari Tsunami Nadiah baru saja menjemur kain di depan rumahnya, di atas tali sepanjang enam meter yang telah diikatkan ke pohon . Setelah itu, ia duduk di lesehan depan rumah, mendampingi sang suami yang sedang merajut jala. Di depan, beberapa wartawan dilengkapi kamera menghadap ke arah Nadiah. Di sana, Nadiah mulai menceritakan bagaimana kisahnya pilunya berjuang melahirkan Muhammad Rizal, tepat 15 tahun silam. “Saat itu saya tidur di atas kain bekas tsunami, demikian juga bayi yang ditidurkan di atas kain yang dicari di puing-puing bekas tsunami,” kata Nadiah. Saat detik-detik melahirkan, Nadiah sudah pasrah. Perasaannya harap-harap cemas menanti kelahiran sang buah hati. Harapannya cuma satu yakni Muhammad Rizal bisa selamat. “ Alhamdulillah,  si Rizal sehat wate lahe, hana sapeu-sapeu dan hana mo, lon bi ASI dan jih han ek susu , (Alhamdulillah, si Rizal sehat waktu lahir, tidak apa-apa dan tidak menangis, saya beri ASI karena dia tidak mau susu,” kata Nadiah. Muhammad Rizal, putra dari pasangan Razali dan Nadiah saat sarapan pagi di rumahnya di Desa Lampageu, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Minggu 22 Desember 2019. Muhammad Rizal lahir ke dunia beberapa jam setelah gempa dan tsunami Aceh 2004 silam. (Foto: Tagar/Muhammad Fadhil) Rizal dan Kenangan 15 Tahun Tsunami Seiring berjalannya waktu, kini Muhammad Rizal telah tumbuh menjadi sosok remaja. Usianya saat ini menginjak 15 tahun dan duduk di kelas satu salah satu Sekolah Mengenah Atas (SMA) di Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar , Aceh. Sementara Razali dan keluarga, mereka juga sudah melupakan trauma dan mulai kembali menatap masa depan. Hari-hari Razali tetap sebagai nelayan , ia merajut jala dan kemudian dijual kepada nelayan lainnya. Waktu potong tali pusar di situ tidak ada cerita lagi. “Alhamdulillah saya lahir selamat meskipun di gunung , kan kita mana tahu urusan selamat bukan di kita, itu kan urusan Allah,” kata Muhammad Rizal. Di sekolah, Muhammad Rizal aktif di berbagai kegiatan. Seperti pada peringatan 17 Agustus 2019 lalu, ia menjadi salah satu Pasukan Pengibar Bendera Pusaka ( Paskibraka ) di Kecamatan Peukan Bada. Selain di sekolah, Muhammad Rizal juga mengenyam pendidikan Islam di pesantran atau dayah. Di sana, ia aktif sebagai salah satu anggota zikir. Pada saat maulid Nabi Muhammad SAW, ia selalu disertakan dalam perayaan itu. “Perbedaan sekolah dan dayah jauh, di sekolah kita diajari dengan pengetahuan alam dan umum, kalau di dayah kita ditekankan lebih untuk menghafal,” kata Muhammad Rizal. [] Baca cerita lain:



Total comment

Author

fw

0   comments

Cancel Reply