Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Bahtiar Effendy telah meninggal dunia pada dini hari tadi. Bahtiar merupakan sosok intelektual muslim yang berwawasan luas. Dilansir dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, kiprah Bahtiar di bidang akademik memang lintas negara. Dia adalah salah satu pendiri PPIM dan salah satu Dewan Penasihat PPIM. Bahtiar Effendy lahir di Ambarawa, Jawa Tengah, 10 Desember 1958, atau 60 tahun lalu. Dia kemudian menjadi santri di Pondok Pesantren Pabelan, Muntilan, Jawa Tengah.
Dia menempuh pendidikan perguruan tinggi di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Dia mengambil studi Ilmu Perbandingan Agama. Gelar sarjana sukses diraihnya pada 1986. Pendidikannya berlanjut ke Negeri Paman Sam. Dia meraih dua gelar master di Amerika Serikat. Pertama, master untuk Kajian Asia Tenggara dari Ohio University di Athens pada 1988 dan master Ilmu Politik dari Ohio State University di Columbia, pada 1991. Gelar Ph.D dalam bidang ilmu politik juga dia raih dari Ohio University. Sebagaimana diberitakan detikcom , Bahtiar ditunjuk Rektor UIN Syarif Hidayatullah saat itu, Komaruddin Hidayat, untuk menjadi dekan Fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan (FISIP) UIN yang pertama. Fakultas itu berdiri sejak 27 Juni 2009.
Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjir Effendy, merasa kehilangan atas meninggalnya Ketua PP Muhammadiyah yang juga guru besar ilmu politik UIN Jakarta, Bahtiar Effendy. "Tentu saja saya merasa kehilangan karena dia (Bahtiar Effendy) teman deket saya," kata Muhadjir kepada wartawan usai menghadiri upacara Puncak Ekspedisi Bakti Pemuda PMK untuk NKRI di Lapangan Rindam, Kota Magelang, Kamis (21/11/2019). Muhadjir mengaku sempat menengok sahabatnya itu kemarin. "Kemarin, sebelum (Bahtiar Effendy) meninggal, saya sempat menjenguk pada pagi hari. Saya memang mendoakan beliau mudah-mudahan kalau memang diberi kesehatan oleh Allah supaya segera mendapatkan kesehatan," kata dia.
Namun saat itu, kondisi Bahtiar memang sudah sangat kritis. Karenanya, lanjut Muhadjir, selain mendoakan kesembuhan dia juga mendoaka hal yang terbaik untuk sahabatnya itu. "Dan saya mohon supaya ada pilihan terbaik untuk yang bersangkutan karena memang saya lihat kondisinya sudah sangat berat," tutur Muhadjir. Sebagaimana diketahui informasi wafatnya Bahtiar Effendy diumumkan PP Muhammadiyah lewat akun twitter @muhammadiyah seperti detikcom. "Innalillahi wainnailahi rajiun. Turut berduka cita atas berpulangnya Ketua Pimpinan Pusat #Muhammadiyah, Prof. Dr. Bahtiar Effendy, 21 November 2019 di RSIJ Cempaka Putih pukul 00.00 WIB," tulis akun resmi Muhammadiyah itu. HNW Hingga Lukman Hakim Melayat ke Rumah Duka Bahtiar Effendy: [Gambas:Video 20detik]
Prof Dr Bahtiar Effendy meninggal setelah menjalani perawatan beberapa hari
Dunia bagiku tentu akan terasa sunyi Karena tidak akan ada lagi terdengar kritik-kritik berkualitas tinggi Dari dirinya langsung secara pribadi
Ia kini telah tiada Buku-buku dan tulisannya masih ada Siapapun akan tertarik untuk membacanya Karena tajam dan indah bahasanya
Bahtiar Effendy adalah teman kita Hangat dan sering membuat kita senang dan tertawa Dia adalah seorang akademisi yang hebat dan berwibawa Bisa menyampaikan pandangannya dengan bahasa yang singkat tapi sederhana Sehingga siapapun akan dengan mudah bisa memahaminya
Bahtiar Effendy Kini ia telah pergi menghadap ilahi robbi Dia pergi dan sudah pasti tidak akan kembali lagi
Rasa hangat duduk dekat dan bersamanya Akan tetap terkenang sepanjang masa Satu hal yang aku sebelumnya tidak mengira Ternyata cintanya kepada organisasi dan agama serta bangsa dan negara ini benar-benar tidak terkira
Semoga Allah SWT Menerima semua amal ibadahnya Di tempatkan di tempat yang mulia Dan nanti di akhirat dimasukkan oleh Allah swt ke dalam syurga Yaitu tempat yang telah menjadi idaman kita semua. Aamiin.
Selamat jalan temanku dan teman kita semua Doa kami untuk anda.
Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan suaramuhammadiyah.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab suaramuhammadiyah.id.
Jenazah almarhum Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hubungan Luar Negeri Bahtiar Effendy , telah selesai dikebumikan siang ini sekira pukul 12.45 WIB. Almarhum disemayamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Lemperes Jalan Raya KSU, Sukmajaya, Kota Depok.
Sebelumnya, almarhum disalatkan di Masjid Al-Fauzien Perumahan Gema Pesona, yang merupakan kediaman almarhum tinggal.
Dibalik prosesi pemakaman almarhum, terselip cerita dari Ardin dan Sumarno. Keduanya, merupakan penggali makam untuk tempat peristirahatan terakhir Bahtiar Effendy .
"Gali kuburnya dari pukul 07.00 WIB, alhamdulillah lancar dari cuma sejam kurang lebihnya. Biasanya kan sampai dua jam," kata Sumarno di lokasi pemakaman pada TribunJakarta.com, Kamis (21/11/2019).
Sumarni juga menjelaskan, tanah kubur yang digali olehnya dengan Ardin pun terasa beda seperti biasanya.
"Tanahnya empuk banget, biasanya kan ada yang keras. Ini benar-benar empuk nyangkulnya juga enak kan kalau tanahnya empuk gak keras," beber Sumarno.
Hal tersebut, juga dibenarkan oleh Ardin. Menurutnya tanah tersebut sangat empuk hingga proses penggalian pun terasa cepat.
"Empuk iya empuk banget. Biasanya kan keras terus pasti saja ada batu kan, tapi ini mah mulus sama sekali gak nemu batu pas gali," tambah Ardin.
TRIBUNNEWS.COM - Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah , Bahtiar Effendy meninggal dunia.
Bahtiar Effendy meninggal pada pukul 00.00 WIB, Kamis (21/11/2019).
Hal tersebut diungkapkan akun Twitter resmi Pimpinan Pusat Muhammadiyah , @muhammadiyah.
Turut berduka cita atas berpulangnya Ketua Pimpinan Pusat #Muhammadiyah, Prof. Dr. Bahtiar Effendy , 21 November 2019 di RSIJ Cempaka Putih , pukul 00.
Mohon doa terbaik untuk almarhum, semoga Allah melimpahkan rahmat, maghfirah dan jannahNya ," tulisnya.
Sementara itu ucapan duka datang dari berbagai tokoh.
Mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin mengungkapkan duka cita atas meninggalnya Bahtiar Effendy .
INDOPOLITIKA.COM – Seusai kami membereskan urusan rutin keredaksian di harian Republika, Ihsan Ali-Fauzi mengajak saya menemui Bahtiar Effendy di suatu kafe. “Oh, sudah pulang dia?” tanya saya dengan gembira.
Ya, sudah tuntas semua urusan sekolahnya. “Dia sudah doktor, ayo kita temui,” kata Ihsan. “Kita ngobrol-ngobrol aja. Sekalian wawancara untuk Republika.”
Sahabat saya itu selalu antusias setiap melihat temannya berhasil mencapai prestasi akademis. Ada saling pengertian dan kebanggaan diam-diam di antara kami jika ada anak santri meraih gelar tertinggi.
Tanpa perlu penjelasan panjang-lebar, kami melihat Bahtiar sebagai bagian dari gelombang ilmuwan santri yang diharapkan terus membesar. Maka pada sekitar pukul 8 malam di tahun 1994 itu kami berjumpa Bahtiar Effendy. Ia terlihat lebih gemuk dibanding saat terakhir saya ketemu dia.
Kami, terutama Ihsan, selalu gandrung terhadap ide baru atau paling mutakhir di dunia pemikiran. Dan seorang yang baru menyelesaikan disertasi seperti Bahtiar tentu membawa ide-ide semacam itu, sebagai tuntutan akademis.
Saya lupa apa yang kami obrolkan. Yang saya ingat: Bahtiar tampak sangat hati-hati mengemukakan pendapatnya. Ia selalu berusaha merumuskan gagasannya dengan formulasi akademis yang cermat, dengan peristilahan yang ketat.
Itu memang lazim bagi seorang yang baru menyelesaikan studi doktoral. Tapi pada Bahtiar, kelaziman itu terus berlanjut.
Ia tak gampang menulis di koran harian. Atau tampil di diskusi-diskusi populer yang subur, yang digelar oleh berbagai kelompok untuk menanggapi sirkulasi peristiwa politik sehari-hari. Kalaupun ia menanggapi current affairs atas pertanyaan wartawan, Bahtiar tetap menjaga ketat standar akademisnya.
Dengan sikap publik seperti itu, lawan bicaranya sering merasa sulit mengikuti jalan pikirannya. Bagi wartawan atau audiens yang menganggap politik mudah dipahami semata-mata berdasarkan celetukan-celetukan sporadis para pelakunya, paparan Bahtiar terlalu sarat peristilahan political science yang tak gampang dimengerti.
Demokrasi, kata Bahtiar, harus dibangun berdasarkan konsensus elit yang berkesadaran tinggi. Katanya lagi: demokrasi akan langgeng jika terjadi proses institusionalisasi yang kontinu terhadap lembaga dan praktik-praktik demokrasi. Tak ada sengatan kata dan punch lines yang bisa dijadikan judul heboh.
Alih-alih menulis untuk koran harian, Bahtiar tampaknya lebih memilih apa yang biasa dikerjakan para sarjana di negara maju: menulis di jurnal ilmiah. Kumpulan tulisannya di jurnal-jurnal itu terbit baru-baru ini; saya menyesal tak bisa menghadiri peluncurannya.
Ia tampak sengaja mengurangi aktifismenya, dan memilih menekuni urusan internal almamaternya, UIN Ciputat, tempat ia pernah menjabat dekan Fakultas Ilmu Politik.
Beberapa tahun lalu Ihsan dan saya kembali menemuinya — kali ini di rumah sakit sederhana di Cempaka Putih. Sesuatu yang serius terjadi pada lehernya. Ia tampak gembira melihat kami datang, meski suaranya nyaris lenyap total dan ia tak ingin dikunjungi terlalu banyak orang. Rasanya saya kemudian memberi isterinya sebuah buku tentang terapi jus buah.
Beberapa waktu setelah itu kami masih ketemu, juga saat sama-sama menghadiri acara-acara di Manila, Doha, Bali, dan mungkin juga di tempat-tempat lain. Rupanya ia mengembangkan penampilan gaya baru: memakai topi golf, meski saya tak yakin ia memainkan olahraga itu. Mungkinkah ia terinspirasi oleh Oom Pasikom dan sastrawan Putu Wijaya?
Tubuhnya jauh lebih kurus, tapi saya gembira melihat ia tampak sehat dan tak kehilangan rasa humor — di antara rentetan gerutuannya tentang banyak hal — meski dengan suara yang makin pelan.
Terkadang Bahtiar melanjutkan pembahasan di sebuah WAG melalui japri — sebuah grup produktif yang baru-baru ini ditinggalkannya. Ketika saya menyaraninya mengonsumsi suatu suplemen baru, ia bilang akan berkonsultasi dulu kepada dokter pribadi yang telah menanganinya selama 23 tahun — saya menyembunyikan kesedihan saya atas info pribadinya ini.
Bahtiar Effendy, bersama Fachry Ali, mengejutkan para aktifis Islam dengan terbitnya karya mereka, Merambah Jalan Baru Islam (Mizan, 1986). Itu sebuah upaya pemetaan pemikiran para cendekiawan Muslim yang baru saja muncul sebagai “kelompok” atau “barisan”, yang empat tahun kemudian mengkristal menjadi ICMI.
Isi, metodologi dan detail-detail buku itu tentu boleh dikritik, terutama oleh orang-orang yang dipetakan gagasan dan tendensi pikirannya di sana. Tapi kerangka ide yang mendasari buku itu, juga upaya kedua penulisnya dalam mengidentifikasi arah baru gerakan Islam di Indonesia patut dipuji.
Mereka menunjukkan: untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, gerakan (politik) Islam menempuh jalur keilmuan atau setidak-tidaknya mengoperasikan gerakan kemasyarakatan dengan bekal teori-teori ilmu sosial yang dapat diandalkan.
Bahtiar sendiri kemudian menjadi bagian dari “arah baru” itu. Ia bersemangat belajar ke Amerika, lalu menjadi anggota senior “Mafia Ohio” — meski saya kehilangan dia ketika teman-teman seperguruannya merayakan ulang tahun guru mereka, Profesor Bill Liddle di Jakarta baru-baru ini.
Ia terus menjaga jarak yang cukup dengan aktifitas publik; boleh jadi ini disumbang juga oleh tipe kepribadiannya. Selain lebih bergiat di kampus, ia juga tampak lebih suka aktif di balik layar Muhammadiyah, atau menjadi counter part ketuanya, Din Syamsuddin.
Selain kemudian menjadi salah satu ketua di PP Muhammadiyah, ia juga tampak cukup aktif menghidupkan “think tank” Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pimpinan partai itu mengapresiasi kontribusi “si Tiar.”
Santri Pabelan yang semasa di sekolah menengah mengikuti program AFS di Amerika itu baru saja pergi. Usianya 61 tahun. Kepergiannya menambah daftar panjang kado muram bagi saya menjelang tutup tahun ini.
Bahtiar selalu tampak bahagia memeluk cucu-cucu perempuan nya. Foto-fotonya bersama mereka seolah pengumuman: cucu-cucuku ini adalah sumber terbesar kebahagianku, kini dan sampai nanti. Mungkin ia telah kembali ke fitrahnya sebagai family man.
Hari ini, di sebuah sudut Bali yang sunyi, saya harus mengatasi sedih dengan meniru teladan yang ditunjukkan Bahtiar secara mengesankan: Never give up.
Sekarang ia tak bisa lagi melihat air mata saya yang telah saya hapus dengan lekas. [rif]
Aktivis dan mantan wartawan; menerbitkan sejumlah buku tentang Islam, masalah-masalah sosial, dan politik internasional.
Jimly Asshiddiqie Kenang Sosok Bahtiar Effendy: Dia Intelektual Sejati
Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Jimly Asshiddiqie, mengenang sosok Ketua PP Muhammadiyah Bahtiar Effendy. Menurutnya, Bahtiar adalah pribadi yang kritis dan kerap menjadi sparring partner.
TRIBUNNEWS.COM - Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah bidang Hubungan Luar Negeri Bachtiar Effendy meninggal dunia dengan meninggalkan beberapa karya buku.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nasir menyebut, beberapa karya Prof BahtiarEffendy merupakan karya yang besar dan serius.
Haedar menyebut karya dari Ketua PP Muhammadiyah periode 2015-2020 itu memiliki analisis tajam serta fokus.
Satu diantara karya Bahtiar Effendy yang cukup besar yakni tentang buku terjemahan disertasi tentang Islam dan negara serta pengantarnya untuk sebuah buku Olivier Roy tentang Kegagalan Politik Islam.
“Buku terjemahan disertasinya tentang Islam dan Negara maupun Pengantarnya untuk buku Olivier Roy tentang Kegagalan Politik Islam sangat mendalam dan faktual," ungkap Haedar, seperti dilansir laman resmi Muhammadiyah, Kamis (21/11/2019).
Selain itu, setidaknya ada lima karya besar Bahtiar tentang Islam dan Politik, diantaranya yang terbit pada 1988 yakni The Nine Stars and Politics: A Study of The Nahdlatul Ulama’s Acceptance of Asas Tunggal and its Withdrawal from Politics.
Selain itu, ada pula buku yang terbit pada 1994 berjudul Islam and the State: Transformation of Islam Political Ideas and Practices in Indonesia (1994).
Kemudian buku berjudul 'Repolitisasi Islam', Benarkah Islam Kembali Berpolitik (2000), 'Teologi Baru Politik Islam' (2001).
Serta buku yang ditulis bersama dengan Fachry Ali yang sering menjadi rujukan bagi para peminat studi Islam, 'Merambah Jalan Baru Islam' (1986).
Sosok Bahtiar Effendy dimata Haedar Nashir menurutnya sangat bijak, hal itu terlihat ketika memberi masukan-masukan tentang bagaimana menghadapi situasi politik saat ini.
SRIPOKU.COM, PALEMBANG - Sosok Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Bahtiar Effendy dimata Ketua PW Muhammadiyah Sumsel, Prof Dr Romli SA MAg, merupakan figur pemimpin yang tegas dan sangat peduli seputar masalah keumatan.
Romli mengaku mengenal beliau sudah sejak cukup lama. Sebagai seorang pimpinan ia tetap rendah hati dan berteman dengan siapa saja.
"Saya cukup lama kenal dengan Alm. Beliau sosok yang sangat tegas dan konsen dalam masalah keumatan," ujarnya, Kamis (21/11/2019).
• BREAKING NEWS Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bahtiar Effendy Meninggal Dunia, Ini Profilnya
Menurutnya, semasa hidup Bahtiar Efendy tidak pernah absen untuk mengabdi dalam organisasi bahkan hingga ia menghembuskan nafas terakhir.
Sebagai seorang ilmuan yang bergerak di dalam bidang politik, Alm Bahtiar membuatnya kerap kali diminta sebagai konsultan oleh partai-partai politik.
• SD Muhammadiyah Tak Terdata di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Banyuasin
Bahkan, ketika melakukan kunjungan ke kota Palembang pada tahun lalu Bahtiar berpesan kepada kader Muhammadiyah di kota pempek agar mendukung pelaksanaan pemilu dengan baik dan bersih serta jangan ada kader yang golput.
"Tahun kemarin beliau ke Palembang dan berpesan kepada kader agar kawal pemilu bersih dan jangan golput. Alm tokoh Muhammadiyah yang konsen di bidang politik bersama Prof Din Syamsudin," ungkapnya.
• Peradi Palembang Ikat MoU dengan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Keteladanan sosok Bahtiar Efendy diharapkan Romli dapat ditiru oleh kader-kader Muhammadiyah se Indonesia khususnya Sumsel.
"Kita harap pengganti pak Bahtiar Efendy dapat digantikan sosok yang tegas dan konsisten terhadap organisasi. Sosok Alm patut diteladani seluruh kader Muhammadiyah ," harapnya.
Seperti diketahui, Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Bahtiar Effendy, menghembusjan nafas terakhirnya Kamis (21/11/2019) dini hari. Pria berusia 60 tahun itu meninggal dunia di RSIJ Cempaka Putih.
Ket foto : Ketua PW Muhammadiyah Sumsel, Prof Dr Romli SA MAg