Contact Form

 

Nilai Tukar Rupiah Tembus Rp 15.029, JK: Gak Usah Impor Ferrari, Lamborghini, Hermes


TRIBUNWOW.COM - Nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS) telah menembus angka Rp 15.029, pada Selasa (4/9/2018) malam.

Seperti dikutip TribunWow.com dari laman Kursdollar.net, hingga pukul 19.20 WIB, nilai tukar rupiah kini mencapai Rp 15.029 per dolar AS.

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (Capture/kursdollar.net)

• Nilai Tukar Rupiah Makin Melemah, Gerindra: Jelas Membuat Utang Pemerintah Melonjak

Sebelumnya, pada penutupan perdagangan kemarin, Senin (3/9/2018), menurut Bloomberg, Rupiah melemah ke posisi Rp 14.815 per Dolar AS.

Bloomberg mengestimasi, hari ini kurs rupiah akan bergerak pada kisaran Rp 14.780 hingga Rp 14.845 per Dolar AS.

Posisi kurs rupiah, berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI) hari ini juga melemah ke posisi Rp 14.840 per Dolar AS dari posisi kemarin Rp 14.767 per Dolar AS.

• Faizal Assegaf: Gejolak Rupiah Masih dalam Batas Wajar

Dikutip dari Kontan.co.id, rupiah sebelumnya menguat tipis pada pukul 10.05 WIB, yakni 0,24% ke level Rp 14.780 per Dolar AS.

Analis Monex Investindo Futures, Putu Agus Pransuamitra mengatakan, penguatan rupiah kali ini berlangsung secara tiba-tiba.

Sebab, sekitar pukul 09.00 WIB, rupiah masih berada di level Rp 14.845 per Dolar AS.

Dugaannya, penguatan rupiah kali ini didorong oleh faktor teknikal.

Hal ini mengingat rupiah sudah berada di area jenuh beli.


TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA - Beberapa anggota DPR RI menyampaikan kekhawatiran ekonomi nasional kepada Menkeu Sri Mulyani Indrawati. Mereka minta penjelasan pemerintah melalui Menkeu, terkait nilai tukar rupiah yang terus merosot mendekati angka Rp 15.000 per dolar AS.

Interupsi dan kritik itu disampaikan beberapa anggota DPR kepada Menkeu sesaat sebelum agenda rapat resmi dimulai. Yaitu DPR menggelar agenda rapat paripurna pembahasan RAPBN 2019 pada Selasa (4/9/2018) siang yang turut dihadiri pemerintah melalui Kementerian Keuangan.

Anggota DPR yang berasal dari partai oposisi sampaikan langsung kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di ruang rapat.

"Terkait kurs mata uang asing yang kini sudah mencapai hampir mendekati Rp 15.000, ini selalu dikatakan Pak Presiden di hadapan rakyat bahwa kondisi ini adalah kondisi yang tidak perlu dikhawatirkan. Ini untuk diketahui, kondisi ini tentu sangat memprihatinkan karena begitu banyak komoditas pangan kita yang impor," kata anggota dari Fraksi Partai Gerindra, Bambang Haryo, selaku yang pertama kali mengajukan interupsi.

Menurut Bambang, Indonesia sangat rentan terhadap tren pelemahan rupiah. Bahkan, Bambang menyebut Indonesia sebagai negara yang terparah terkena dampak pelemahan rupiah.

"Selalu Pak Presiden mengatakan bahwa kurs dollar AS menguat di beberapa negara. Memang benar, ada pengaruhnya di beberapa negara, tetapi kondisi yang dialami Indonesia adalah yang terparah," tutur Bambang.

Anggota Dewan lain, yakni Michael Wattimena dari Fraksi Partai Demokrat, mengingatkan Sri Mulyani akan bahaya krisis ekonomi seperti tahun 1998 silam.

Michael juga mempertanyakan kenapa di tengah gejolak perekonomian saat ini pemerintah tidak mengajukan APBN Perubahan seperti yang dilakukan tahun 2015 lalu.

"Ibu Menteri juga selalu bilang tekanan terhadap nilai tukar dikarenakan kondisi di negara lain, kayak Turki, Argentina. Nanti minggu depan ada negara lain yang krisis, kita menyalahkan kondisi mereka lagi, tolong ini dijelaskan secara jujur, Bu Menteri," ujar Michael.

Anggota Dewan lainnya dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Haerudin, menyinggung tentang risiko utang yang dinilai berpotensi meruntuhkan stabilitas negara.

Haerudin meminta agar beban utang pemerintah jangan terlalu besar. Sejumlah pandangan itu belum ditanggapi Sri Mulyani karena pimpinan sidang, Agus Hermanto, minta agar agenda sidang dilanjutkan terlebih dahulu.

Sri Mulyani pun mulai membacakan tanggapan pemerintah terhadap masukan sejumlah fraksi atas RAPBN 2019 dalam rapat paripurna sebelumnya. (*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Rupiah Melemah, Sejumlah Anggota DPR "Protes" ke Sri Mulyani",




TRIBUN-TIMUR.COM - Nilai tukar rupiah (kurs) terhadap dollar Amerika Serikat terus merosot, melewati ambang batas psikologis.

Sudah menembus Rp 15.029 per dollar, atau level terendah sejak krisis 1998 sekitar pukul 19.40 WIB.

Hingga pukul 21.00 WIB nilai tukar rupiah terhadap dolar mencapai Rp 14.999 per dolar.

Sebelumnya, pada pembukaan perdagangan hari ini, kurs rupiah dibuka melemah pada posisi Rp 14.822 per dollar AS.

Hari ini, mata uang Garuda ditransaksikan pada kisaran Rp 14.780 hingga Rp 14.938 per dollar AS.

Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara menilai tekanan krisis Turki dan Argentina yang merembet ke negara berkembang menimbulkan kekhawatiran para pelaku pasar global.

Hal itu terlihat dari melemahnya nilai tukar rupiah.

Menurut Bhima, hal itu belum lagi diperparah dengan adanya rencana kenaikan suku bunga The Fed pada akhir September ini.

“Akibatnya investor menghindari risiko dengan membeli aset berdenominasi dolar. Indikatornya US dollar index naik 0,13 persen ke level 95,2. Dollar index merupakan perbandingan kurs dollar AS dengan 6 mata uang lainnya,” kata Bhima kepada Tribunnews.com, Selasa (4/9/2018).

Sementara Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla meminta masyarakat untuk membantu pemerintah mengurangi impor untuk mengatasi melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar.


tirto.id - Ramalan Xavier Jean, Senior Director Corporate Ratings S&P Global Ratings yang memperkirakan dolar bisa menembus level psikologis Rp15.000 , berpeluang bisa menjadi kenyataan. Laju pelemahan rupiah seakan tidak terbendung, di Jakarta Interbank Spot Dollar Rate atau JISDOR, rupiah berada di Rp14.767 per dolar AS pada Senin (3/9), terdepresiasi 0,38 persen dibanding posisi akhir pekan Jumat (31/8) yaitu Rp14.711 per dolar AS. Bahkan pada Selasa (4/9) dolar sudah menyentuh Rp14.840. Harga jual dolar AS di beberapa bank nasional pun sudah lebih tinggi dan menyentuh Rp14.900 per dolar AS. Misalnya saja kurs jual yang dipasang Bank Rakyat Indonesia (BRI) pada Senin (3/9) yang menyentuh Rp14.950 per dolar AS dan Rp14.750 per dolar AS untuk kurs beli. Dolar yang mendekati Rp15.000 membuat Bank Indonesia (BI) melakukan intervensi sebagai langkah menjaga stabilisasi nilai tukar, antara lain memborong Surat Berharga Negara (SBN) dari pasar sekunder senilai Rp3 triliun. “Kami tingkatkan volume intervensi di pasar valas, lalu melakukan pembelian SBN di pasar sekunder serta membuka lelang swap,” ucap Perry Warjiyo, Gubernur BI beberapa waktu lalu. Kondisi rupiah yang terus melemah punya potensi risiko langsung maupun tak langsung terutama di sektor keuangan khususnya perbankan. Efek secara langsung, bisa datang dari kewajiban utang denominasi valuta asing yang dimiliki oleh bank. Sementara secara tidak langsung, efeknya datang dari debitur atau nasabah bank yang memiliki usaha berorientasi impor. Saat kurs melemah, arus kas debitur atau nasabah dengan usaha orientasi impor akan memiliki beban usaha yang lebih besar. Ambil contoh sebuah perusahaan memiliki utang senilai $1 juta. Jika kurs rupiah Rp13.800 per dolar AS, maka utang perusahaan tersebut setara Rp13,8 miliar. Nah, sedangkan jika nilai tukar rupiah melemah menjadi Rp14.800 per dolar AS, maka utang perusahaan tersebut membengkak menjadi Rp14,8 miliar. “Selisih besaran itulah yang menyebabkan kewajiban utang perusahaan menjadi lebih besar dan berpotensi menjadi kredit macet atau non-performing loan (NPL) di industri perbankan,” jelas Piter Abdullah, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) kepada Tirto.

Risiko nasabah dan risiko bank yang terekspos pelemahan nilai tukar dapat mengakibatkan kualitas aset bank menjadi buruk. Makanya, perbankan memilih untuk berhati-hati dalam penyaluran kredit utamanya denominasi mata uang asing di tengah kondisi fluktuasi nilai tukar dan ketidakpastian ekonomi global saat ini. PT Bank Central Asia (BCA) Tbk misalnya, bank yang memiliki kode emiten BBCA di papan bursa ini memilih menjaga rasio di level rendah. Per Juni 2018, kredit valas yang disalurkan BCA senilai $2 miliar atau sekira Rp29 triliun (kurs = Rp14.500 per dolar AS). Angka itu setara 5,86 persen terhadap total keseluruhan pinjaman yang disalurkan perseroan sepanjang semester I-2018 yang mencapai Rp494,6 triliun. Jika dibandingkan dengan total funding perseroan yang mencapai Rp615,55 triliun, maka rasio pinjaman terhadap simpanan atau loan to deposit ratio (LDR) dalam bentuk valas BCA hanya sebesar 4,71 persen. “Kami tidak terlalu agresif dengan kredit valas. Kami hanya menyalurkan kredit valas kepada nasabah ekspor karena pendapatan mereka juga dalam denominasi dolar AS,” kata Head of Customer BCA, Santoso Liem kepada Tirto. Di sisi lain, kata Santoso, hilangnya peluang kredit valas yang disalurkan dapat diimbangi dengan meningkatkan pertumbuhan penyaluran kredit denominasi rupiah. Untuk itu, BCA lebih memilih untuk menaikkan portofolio penyaluran kredit denominasi rupiah. Setali tiga uang, Bank Mayora dan Bank Negara Indonesia (BNI) juga memilih untuk berhati-hati dalam menyalurkan kredit mata uang asing maupun dalam menyesuaikan suku bunga kredit valas demi menjaga kualitas kredit di level yang baik. "BNI akan terus memprioritaskan efisiensi," ucap Rico Rizal Budidarmo, Direktur Treasury dan International Banking BNI kepada Tirto. Direktur Utama Bank Mayora Irfanto Oeij memilih untuk mengerem perlahan penyaluran kredit mata uang asing. “Permintaan kredit valas tidak terlalu besar dan banyak. Nasabah pun seperti menyadari risiko yang lebih besar untuk pinjaman valas saat ini,” tutur Irfanto kepada Tirto. Bank Mayora juga memilih untuk meningkatkan perolehan dana murah alias tabungan denominasi rupiah, untuk mempertebal pendapatan berbasis komisi (fee based income) yang dapat menyumbang pendapatan usaha perseroan. “Karena kami tidak ingin dari yang perform menjadi unperform . Meski bunga kredit valas naik, tapi risiko kredit macet di segmen ini juga bisa bertambah dengan melemahnya nilai tukar,” jelas Irfanto. Sedikit berbeda, PT Bank Tabungan Negara (BTN) mengaku tidak terpengaruh secara langsung dengan pelemahan kurs. Ini karena, bank yang melantai di papan bursa dengan kode emiten BBTN tidak menyalurkan pinjaman dalam valuta asing. "Kecuali beberapa pengeluaran yang berkaitan dengan kegiatan pelatihan atau pendidikan yang pembayarannya dalam valas. Namun jumlahnya tidak signifikan," ucap Direktur Consumer Banking BTN, Budi Satria kepada Tirto.

Untuk mengetahui tingkat ketahanan modal dan kecukupan likuiditas perbankan dalam menghadapi perubahan dan pada kondisi makro ekonomi khususnya saat nilai tukar rupiah sedang melemah, wasit lembaga keuangan yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan stress test terhadap industri perbankan keseluruhan. Stress test tersebut dilakukan bersama BI. Dalam joint stress test yang dilakukan bersama, Ketua OJK Wimboh Santoso pernah mengungkapkan bahwa kalaupun rupiah melemah mendekati level Rp20.000 per dolar AS, kondisi perbankan Indonesia masih cukup kuat. “Dari simulasi yang kami lakukan, nilai tukar rupiah terhadap dolarnya Rp20.000, tetap tidak ada masalah. Tapi, ya kami tidak berharap dolarnya Rp20.000. Ya dengan permodalan yang cukup stress test apapun tidak berpengaruh.” Skenario stress test yang dilakukan, melibatkan 20 bank terdiri dari 18 bank lokal yang satu di antaranya adalah bank umum syariah serta dua kantor cabang bank asing. Total aset 20 bank tersebut menguasai sekitar 75,88 persen dari total aset industri perbankan. Skenario stress test paling ekstrem, menghasilkan rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) perbankan turun paling tinggi sebesar 600 basis poin dari 22,78 persen menjadi 16,78 persen. Penurunan CAR tersebut terjadi akibat rasio kenaikan NPL yang membuat bank harus menambah biaya cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) sebesar 673 basis poin. Per Juni 2018 (PDF), CAR industri perbankan berada di level 22,01 persen atau terbilang stabil dibanding Juni 2017 di mana CAR perbankan berada pada posisi 22,74 persen. CKPN industri perbankan saat ini sebesar Rp165,56 triliun atau naik 3,57 persen secara year to date dan naik sebesar 4,3 persen secara tahunan. “Justru yang perlu digarisbawahi adalah, stress test yang dilakukan hingga pelemahan nilai tukar rupiah sampai dengan Rp20.000 per dolar AS menunjukkan industri perbankan Indonesia masih aman dan masih survive . Semangatnya adalah kondisi industri perbankan Indonesia saat ini kuat,” ucap Piter Abdullah, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE). Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar dapat berpengaruh pada perbankan yang memiliki utang dalam bentuk valas dan perbankan yang punya portofolio penyaluran kredit dalam denominasi valas. Bila ini tidak dijaga maka ada risiko karena perbankan adalah sektor yang sensitif dan rentan sistemik.



Total comment

Author

fw

0   comments

Cancel Reply