TEMPO.CO , Jakarta - Gunung Merapi meletus dua kali pada malam hari ini. Letusan pertama tercatat pada pukul 20.24 sedangkan letusan kedua yang baru saja terjadi yaitu pada pukul 21.00 WIB. "Terjadi letusan pada 21.00 dengan amplitudo maksimum 29mm selama 56 detik," tulis akun Twitter Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi atau BPPTKG Yogyakarta pada Jumat malam ini 1 Juni 2018. Erupsi kali ini mengakibatkan kolom letusan mencapai 1.000 meter tegak. "Teramati dari PGM Babadan," cuit BPPTKG. Dalam gambar yang menyertai cuitan tersebut terlihat gambar cctv dari puncak Gunung Merapi. Terlihat pula gambar cctv Gunung Merapi yang mengeluarkan letusan. Baca juga: PVMBG: Magma Gunung Merapi Masih Jauh di Bawah Puncak
Sebelumnya letusan juga terjadi pada pukul 20.24. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan abu letusan mengarah ke timur laut dengan kolom letusan mencapai 2500 meter di atas puncak atau 5.468 meter di atas permukaan laut. “Status Aktifitas Merapi pada saat ini tetap pada level waspada,” kata Juru Bicara BNPB, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, lewat keterangan tertulisnya, Jumat 1 Juni 2018. Menurut BNPB, kolom abu teramati berwarna kelabu dengan intensitas tebal. Erupsi ini terekam di seismogram dengan amplitudo maksimum 64 milimeter dan durasi kurang lebih 1 menit 30 detik. Sutopo mengatakan, kegiatan pendakian Gunung Merapi sementara tidak direkomendasikan kecuali untuk kepentingan penyelidikan dan penelitian berkaitan dengan upaya mitigasi bencana. Selain itu aktivitas penduduk di radius 3 kilometer dari puncak Gunung Merapi harus dikosongkan. “Masyarakat yang tinggal di Kawasan Rawan Bencana (KRB lll) mohon meningkatkan kewaspadaan terhadap aktivitas Merapi,” kata dia. BNPB maupun BPBD Kabupaten Sleman mengimbau masyarakat tidak terpancing berita mengenai erupsi Gunung Merapi yang tidak jelas sumbernya. Publik dapat mengetahui kondisi vulkanik Gunung Merapi melalui situs www.merapi.bgl.esdm.go.id, media sosial Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG), atau melalui sambungan telepon (0274)514180-514192. Masyarakat juga bisa langsung ke kantor BPPTKG, Jalan cendana no. 15 Yogyakarta.
YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Gunung Merapi kembali meletus pada Jumat (01/06/2018) pukul 20.24 WIB. Letusan susulan dilaporkan kembali terjadi pada pukul 21.00 WIB. Akun Twitter @BPPTKG menuliskan informasi, pada pukul 20.24 WIB Gunung Merapi meletus dengan durasi 1,5 menit mengarah ke Timur laut. Tinggi kolom mencapai 2.500 Meter dari puncak. Amplitudo maksimum 64 mm.
Selamat malam #WargaMerapi pada 20.24 WIB telah terjadi letusan merapi dengan Amplitudo Maksimum 64 mm dengan kolom letusan 2500 Meter mengarah ke Timur Laut, teramati dari pos PGM Jrakah selama 1,5 menit #WaspadaMerapi pic.twitter.com/dOA4EIARuJ
Letusan Gunung Merapi pada pukul 21.00 WIB terjadi selama 56 detik. Tinggi kolom tegak 1.000 meter dari puncak Gunung Merapi. Amplitudo maksimum 29 mm. Sebelumnya, Jumat pagi tadi pukul 08.20 WIB Gunung Merapi meletus dengan durasi 20 menit. Kolom letusan Gunung Merapi mencapai 6.000 Meter.
Kompas TV Masyarakat diminta agar tetap tenang. Sejauh ini merapi tidak mengeluarkan awan panas.
Rekaman video dari udara menunjukkan sebaran letusan gunung bereapi Kilauea di Hawaii.
Gunung Merapi kembali meletus, namun penduduk sekitar selalu cepat kembali. Sementara aliran lava merah dan asap tebal bercampur pasir akibat letusan gunung berapi Kilauea di Hawaii telah menyita perhatian dunia. Bumbungan abu bergulung ke angkasa di atas Merapi. Yang terbaru, Jumat (1/6) letusannya berlangsung dua menit, membumbungkan debu hingga ketinggian 6.000 meter. Ini bagaikan letusan rutin Merapi, yang dari waktu ke waktu meletus dalam berbagai jenis dan skalanya. Dan seringnya, warga yang sempat mengungsi, cepat kembali ke kampung mereka, di lereng-lereng Merapi itu. Sementara itu di belahan bumi lain, aliran lava merah dan asap tebal bercampur pasir akibat letusan gunung berapi Kilauea di Hawaii telah menyita perhatian dunia. Begitu seringnya letusan gunung berapi, dan sejarah menunjukkan terjadinya letusan dahsyat yang memporak-porandakan kehidupan dan peradaban masyarakatnya, sebagaimana terjadi pada letusan Gunung vesuvius di Italia, Gunung krakatau di Selat Sunda, dan Gunung Tambora di Nusa Tenggara. Sementara gunung-gunung di Hawai, Merapi di Jawa Tengah, Sinabung di Sumatera Utara, dan juga Anak Krakatau, meletus cukup rutin. Jadi seberapa bahaya letusan gunung berapi sebetulnya? Beikut catatan Satrah Brown, dari Universitas Bristol Setiap tahun, ada sekitar 60 gunung berapi yang meletus. Beberapa letusan dari gunung-gunung berapi tersebut membuat kita terkejut, tetapi ada juga yang letusannya tidak mengganggu kita. Kilauea merupakan salah satu yang gunung berapi paling aktif di dunia - gunung itu mulai memuntahkan letusannya 35 tahun yang lalu, namun telah terjadi peningkatan aktivitas dalam beberapa minggu terakhir. Aliran lavanya telah menerjang rumah-rumah penduduk, tapi untungnya hanya satu orang dilaporkan mengalami luka serius - korbannya adalah seorang pria yang terkena batu yang melesat saat ia duduk di balkon rumahnya.
Debu dan asap membumbung selama dua menit saat letusan Merapi terakhir, Jumat (1/6) pagi ini.
Kejadian ini menunjukkan bahwa gunung berapi tak selamanya berbahaya, tetapi banyak penduduk di dunia yang tinggal dekat dengan gunung berapi aktif - dan banyak di antaranya merupakan gunung yang jauh lebih mematikan dibanding gunung Kilauea. Sejak tahun 1500, tercatat sekitar 280.000 orang tewas akibat letusan berbagai gunung berapi - 170.000 orang diantaranya tewas dalsam enam letusan gunung berapi. Kami memperoleh angka-angka tersebut dari berbagai laporan media, catatan publik dan dokumen-dokumen sejarah. Sekitar 2.000 orang tewas akibat letusan gunung berapi sejak tahun 2000.
Sebagian besar kematian ini disebabkan oleh aliran lumpur vulkanik di Filipina, aliran piroklastik di Indonesia, aliran lava di Republik Demokratik Kongo dan proyektil gunung berapi di Jepang. Tahun lalu, tiga wisatawan meninggal di Italia akibat terjatuh ke sebuah lubang di kawah gunung berapi. Saat ini, sekitar 800 juta orang tinggal dalam radius 100 km dari gunung berapi aktif - jarak yang cukup jauh dari bahaya gunung berapi yang berpotensi mematikan. Dari jumlah 800 juta ini, sekitar 200 juta berada di Indonesia. Seiring dengan pertambahan penduduk, kemungkinan akan lebih banyak orang akan mendirikan rumah dekat dengan salah satu dari 1.500 gunung berapi aktif di dunia, yang tersebar di 81 negara. "Aktif" bukan berarti bahwa semua gunung berapi ini akan meletus, tetapi sebagai gunung tersebut aktif baru-baru ini dan bisa memuntahkan letusan-letusan baru.
Seorang warga melihat ponselnya saat berjalan di depan letusan gunung berapi.
Gunung berapi menimbulkan berbagai jenis bahaya bagi mereka yang tinggal di dekatnya. Dalam kasus Kilauea, US Geological Survey (USGS) melihat peningkatan yang ditandai dalam aktivitas seismik pada akhir April, dengan rekahan pertama muncul di awal Mei. Sejak saat itu, aliran lava mengalir hingga 5km ke lautan, menghancurkan rumah-rumah dan mengakibatkan ribuan orang dievakuasi. Namun, aliran lava semacam itu tidak mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa. Meskipun membakar dan mengubur semua yang dilewatinya, lava - batuan cair panas berwarna merah mengkilap, dengan suhu sekitar 1200C - bergerak cukup lambat, sehingga orang-orang biasanya masih bisa menyelamatkan diri dengan cara berjalan seperti biasa. Bahaya muncul jika orang tidak segera menyelamatkan diri. Di Hawaii, beberapa orang diterbangkan ke tempat yang aman karena jalur penyelamatan terputus. Lava bisa menyebabkan ledakan, terutama jika melewati pipa gas yang terkubur di dalam tanah. Dan ketika mencapai samudera, lava akan membentuk tanah baru yang tidak stabil dan kabut lahar - yang terdiri dari gumpalan uap, asam hidroklorik dan pecahan kaca. Bahaya lain di Hawaii adalah sulfur dioksida, salah satu dari beberapa jenis gas yang dapat ditimbulkan oleh gunung berapi, bahkan saat gunung berapi tersebut tidak meletus. Namun gabungan lava dan gas itu jumlahnya kurang dari 2% dari muntahan vulkanik yang tercatat. Peristiwa terbesar yang merenggut ribuan nyawa orang akibat gas vulkanik ini terjadi di Kamerun pada tahun 1986, saat itu lebih dari 1.500 orang tewas akibat gas karbon dioksida dari Danau Nyos mengalir ke desa-desa sekitarnya.
Data kematian yang diakibatkan letusan gunung berapi.
Kebanyakan orang tewas akibat aliran piroklastik dan lahar - hasil letusan gunung berapi yang bergerak cepat, terdiri dari gas panas, abu vulkanik, dan bebatuan lahar - yang menyebabkan sekitar 120.000 orang tewas selama 500 tahun terakhir. Ini biasanya terkait dengan gunung berapi berkerucut besar yang ditemukan di perbatasan tektonik, seperti cincin api, tidak seperti gunung berapi yang memiliki perisai landai, seperti Kilauea. Piroklastik terdiri dari longsoran batu, abu, dan gas yang mengalir dengan sangat cepat, dan bisa mencapai suhu 700 Celcius. Alirannya menghancurkan semua yang dilewatinya, dan dipastikan akan menyebabkan kematian bagi siapa saja yang berada di dekatnya. Pada tahun 79 Masehi, aliran piroklastik mengubur kota Pompeii di zaman Romawi kuno itu. Tak hanya di kota Pompeii, aliran piroklastik ini juga telah menimbulkan korban jiwa hampir 30.000 orang yang tinggal di Martinique, pulau Karibia pada tahun 1902. Lahar bisa berisi bebatuan, pohon dan bahkan rumah. Semua itu bisa terbentuk sebagai hujan, salju, atau es yang mencair dan menyapu endapan abu dari lereng gunung berapi dan lembah sekitarnya dengan kecepatan tinggi. Pada tahun 1985 sekitar 25.000 orang tewas akibat oleh lahar di Nevado del Ruiz, Kolombia. Dalam letusan dahsyat, abu vulkanik bisa terbang ratusan atau bahkan ribuan kilometer. Abu vulkanik ini bisa dengan cepat mengubur berbagai kawasan dan mengganggu transportasi serta layanan-layanan penting. Abu vulkanik ini dalam sejarah menyebabkan kelaparan dan berbagai penyakit, gagal panen, sedangkan abu dan gas yang ditimbulkan bisa menyebabkan perubahan sementara dalam iklim.
Gunung berapi Kilauea meletus, setelah mengalami serangkaian gempa bumi.
Meskipun, tidak dapat dihentikan, letusan gunung berapi tidak semestinya menimbulkan kematian dan bencana. Letusan gunung Kilauea yang dilaporkan hanya menyebabkan satu orang terluka di Hawaii adalah bukti kerja yang baik dari para ilmuwan observatorium dan badan penanggulangan bencana, serta sistem pemantauan yang sangat baik. Sayangnya, tidak semua gunung berapi di belahan dunia bisa dipantau dengan baik seperti Kilauea, dikarenakan sumber daya yang terbatas. Pemantauan satelit memungkinkan pengamatan beberapa gunung berapi di daerah yang paling terpencil, tetapi hanya sekitar 20% dari gunung berapi di dunia memiliki pemantauan di darat. Dan kira-kira dalam setiap dua tahun ada gunung berapi yang tak tercatat letusannya. Ini bisa menjadi yang paling berbahaya, karena periode dormansi yang lama dapat berakhir dengan letusan yang lebih eksplosif dan orang-orang yang tinggal di dekatnya tidak mempersiapkan diri.
Seorang perempuan melakukan swafoto dengan latar belakang semburan asap dari gunung Kilauea.
Namun demikian, observatorium gunung berapi, peneliti, dan organisasi internasional bekerja tanpa lelah untuk merespon keadaan darurat dan meramalkan peristiwa, sehingga puluhan ribu nyawa bisa diselamatkan. Tentu saja, gunung berapi tidak semestinya mematikan, karena bisa menimbulkan dampak yang signifikan, seperti evakuasi orang-orang, mata pencaharian menjadi hilang, pertanian hancur, dan kerugian ekonomi bisa mencapai miliaran. Kita harus lebih bijak untuk terus mengawasi gunung berapi di berbagai belahan dunia ini, bahkan ketika gunung-gunung berapi itu tampak seperti tidur.
Kepala BPPTKG, Hanik Humaida menjelaskan, penyebab letusan dua kali di Gunung Merapi malam ini masih dikarenakan aktivitas pelepasan gas. Hal itu disebabkan karena produksi gas yang terus terjadi hingga akhirnya mendorong terjadinya letusan. "(Karena) pelepasan gas," kata Hanik kepada wartawan di Kantor BPPTKG, Jumat (1/6/2018). Menurutnya, letusan malam ini tidak disertai dengan prekursor atau gejala awal sebelum erupsi. Secara tiba-tiba letusan terjadi di Merapi.
"Kalau kita kita suhunya tiba-tiba langsung naik begitu saja," sebutnya. Hanik belum bisa memastikan apakah letusan di Merapi akan berhenti atau masih akan terus berlanjut. Namun melihat serentetan letusan sejak tanggal 11 Mei hingga sekarang, sangat mungkin Merapi akan meletus lagi. "Bahwa ini kemungkinan masih akan terus terjadi (letusan)," paparnya. Erupsi yang terjadi di Gunung Merapi hingga sekarang belum mengubah morfologi kubah lava. Menurut Hanik, hal tersebut dikarenakan letusan di Merapi masih tergolong kecil. "Kalau seperti ini kecil-kecil, morfologi sampai sekarang tidak berubah. Jadi barusan kita lihat morfologinya masih tetap," ungkapnya. Walaupun letusan terakhir di Gunung Merapi relatif kecil, namun masyarakat dimintanya untuk tetap waspada. Masyarakat tetap dilarang beraktivitas di radius tiga kilometer dari puncak Gunung Merapi. "Karena sehari ini tadi sudah tiga kali (erupsi) dari tadi pagi, artinya debu akan lebih banyak diproduksi. Artinya masyarakat (harus) tetap menggunakan masker untuk kegiatan di luar," tutupnya.