Contact Form

 

Hari Pendidikan Nasional 2018, Begini Harapan Mendikbud


SETIAP 2 Mei kita pasti akan teringat pada kiprah seorang Ki Hajar Dewantara. Dialah tokoh dan pelopor pendidikan pada masa pergerakan Indonesia melawan penjajah Belanda.

Kiprah dan aktivitas Ki Hajar Dewantara dalam mendirikan dan mengembangkan sekolah Taman Siswa mulai 1922. Kemudian menjadi titik pijak peringatan Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas setiap 2 Mei.

Dia juga terkenal dengan semboyan Tut Wuri Handayani yang teks aslinya berbunyi ”Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”. Arti dari semboyan ini adalah tut wuri handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan). Kemudian ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide). Ing ngarsa sung tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik).

Ki Hajar Dewantara Lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889.Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Dia ber­asal dari lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara.

Semenjak saat itu, dia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya dia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.

Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Dia menamatkan sekolah dasar di ELS (sekolah dasar Belanda). Kemudian sempat melanjutkan ke STOVIA (sekolah dokter Bumiputera), tetapi tidak sampai tamat karena sakit.

Dia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, dia tergolong penulis andal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.

Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, dia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada 1908, dia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu. Terutama mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.

Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, dia mendirikan Indische Partij. Partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia itu berdiri pada 25 Desember 1912 dengan tujuan mencapai Indonesia merdeka.

Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Akan tetapi, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jenderal Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini. Gubernur menolak pendaftaran itu pada 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan mengge­rakkan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.

Setelah zaman kemerdekaan, Ki Hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (Bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan Hari Pendidikan Nasional , tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui Surat Keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada 1957.

Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, dia meninggal dunia pada 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana. Perjuangan dan langkah Ki Hajar Dewantara harus menjadi inspirasi bagi kaum muda saat ini. ***

Tim Citizen Journalist ( Nugraha, M. Irfansyah, Sulistyawati, Edhar Resmadi / dari berbagai sumber ) untuk Belia PR, 3 Mei 2011)




TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun 2018 ini mengambil tema “Menguatkan Pendidikan, Memajukan Kebudayaan”.

Sehingga sesuai tema tersebut, dalam pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mudhajir Effendy yang diunggah di laman resmi Kemdikbud: https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2018/04/pidato-menteri-pendidikan-dan-kebudayaan-dalam-peringatan-hari-pendidikan-nasional-2018, agar Hari Pendidikan tahun 2018 ini dijadikan momentum untuk merenungkan hubungan erat antara pendidikan dan kebudayaan sebagaimana tecermin dalam ajaran, pemikiran, dan praktik pendidikan yang dilakukan oleh Ki Hadjar Dewantara.

"Peringatan Hari Pendidikan Nasional kali ini juga kita jadikan momentum untuk melakukan muhasabah, mesu budi, atau refleksi terhadap usaha-usaha yang telah kita perjuangkan di bidang pendidikan. Dalam waktu yang bersamaan kita menerawang ke depan atau membuat proyeksi tentang pendidikan nasional yang kita cita-citakan," tulisnya dalam pidato tersebut.

Ia menambahkan pendidikan juga harus menyiapkan tenaga technocraft, tenaga terampil dan kreatif, yang memiliki daya adaptasi tinggi terhadap perubahan dunia kerja yang kian cepat dan memiliki kemampuan berpresisi tinggi untuk mengisi teknostruktur sesuai dengan kebutuhan.

Meskipun demikian, pihaknya juga mengakui bahwa belum semua wilayah tersentuh pembangunan insfrastruktur yang bisa menjadi sabuk pendidikan dan kebudayaan dalam ikatan keindonesiaan.

"Oleh karena itu, pada tahun-tahun mendatang pemerintah akan memberikan prioritas pembangunan infrastruktur pada daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) agar wilayah-wilayah tersebut terintegrasi dan terkoneksi ke dalam layanan pendidikan dan kebudayaan," imbuhnya.

Guru, orang tua, dan masyarakat juga harus menjadi sumber kekuatan untuk memperbaiki kinerja dunia pendidikan dan kebudayaan dalam menumbuhkembangkan karakter dan literasi anak-anak Indonesia .

Tripusat pendidikan tersebut menurutnya harus secara simultan menjadi lahan subur tempat persemaian nilai-nilai religius, kejujuran, kerja keras, gotong-royong, dan seterusnya bagi para penerus kedaulatan dan kemajuan bangsa.

Tantangan eksternal juga muncul yaitu Revolusi Industri 4.0 yang bertumpu pada cyber-physical system yang telah mengubah peri kehidupan masyarakat.

Artificial intelligence, internet of things, 3D printing, robot, dan mesin-mesin cerdas secara besar-besaran menggantikan tenaga kerja manusia.

Kecepatan dan ketepatan menjadi kunci dalam menghadapi gelombang perubahan tersebut, juga kemampuan dalam beradaptasi dan bertindak gesit.

"Oleh karena itu, mau tidak mau dunia pendidikan dan kebudayaan pun harus terus-menerus menyesuaikan dengan dinamika tersebut. Cara lama tak mungkin lagi diterapkan untuk menanggapi tantangan eksternal. Reformasi sekolah, peningkatan kapasitas, dan profesionalisme guru, kurikulum yang hidup dan dinamis, sarana dan prasarana yang andal, serta teknologi pembelajaran yang mutakhir, menjadi keniscayaan pendidikan kita," katanya.

Ia mengajak semua pihak bergandeng tangan, bahu-membahu, bersinergi memikul tanggung jawab bersama dalam menguatkan pendidikan.

Selain jalur pendidikan formal yang telah berhasil mendidik lebih dari 40 Juta anak, pendidikan nonformal juga telah banyak memberikan andil dalam mencerdaskan bangsa.

"Pendidikan harus dilakukan secara seimbang oleh tiga jalur, baik jalur formal, nonformal, maupun informal. Ketiganya diposisikan setara dan saling melengkapi. Masyarakat diberi kebebasan untuk memilih jalur pendidikan. Oleh karena itu, pemerintah memberikan perhatian besar dalam meningkatkan ketiga jalur pendidikan tersebut," pungkasnya. (*)




BANGKAPOS.COM - Setiap 2 Mei, bangsa Indonesia akan memperingati sebuah peringatan penting, yaitu Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).

Berbicara soal Hardiknas, maka kita tidak akan pernah bias lepas dari sosok yang memegang peranan penting di dalamnya.

Siapa sebenarnya sosok Ki Hadjar Dewantara dan hal apa saja yang dilakukanya demi dunia pendidikan di tanah air sebelum akhirnya Hari Pendidikan nasional ditetapkan pada 2 Mei ?

Berikut ini adalah sejumlah Fakta terkait Hardiknas, Hari Pendidikan Nasional dan Ki Hadjar Dewantara, seperti dikutip banjarmasinpost.co.id dari berbagai sumber.

Peringatan Hardiknas tiap 2 Mei berdasar pada hari kelahiran dari sosok Ki Hadjar Dewantara.

Lahir di Pakualaman, 2 Mei 1889, sosok karismatik ini meninggal dunia di Yogyakarta, 26 April 1959 pada umur 69 tahun

Tanggal kelahirannya diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional.




KOMPAS.com - Penelitian terbaru yang terbit di jurnal Cognitive , Senin (1/5/2018), menyarankan belajar bahasa baru dimulai saat usia 10 tahun agar memiliki kefasihan seperti penutur asli. Temuan yang dilakukan Massachusetts Institute of Technology di AS menyebut pembelajaran bahasa baru tetap dapat dilakukan hingga remaja .

Kemampuan memahami bahasa baru akan turun di usia 17 sampai 18 tahun.

Baca juga : Benarkah Bahasa Muncul 1,5 Juta Tahun Lebih Awal dari Perkiraan? Dalam penelitiannya, tim mengukur kemampuan gramatikal 670.000 orang dari berbagai usia dan kebangsaan lewat kuis. Sekitar 246.000 peserta tumbuh hanya dengan menggunakan bahasa Inggris, sementara sisanya dengan dua atau multi bahasa. Bahasa ibu yang dimiliki para responden antara lain bahasa Finlandia, Turki, Jerman, Rusia, dan Hongaria. Mayoritas responden berusia 20 sampai 30 tahunan. Peserta termuda 10 tahun dan yang paling tua di akhir 70-an. Dilaporkan The Independent, Senin (1/5/2018) peserta diminta mencamtumkan umur dan sejak kapan belajar bahasa Inggris sebelum mereka menentukan apakah sebuah kalimat sudah sesuai secara gramatikal. Setelah menganalisis jawaban dengan menggunakan model komputer, para ilmuwan menemukan pembelajaran bahasa kedua dapat diserap saat masa kecil hingga masa remaja. Namun, bukan berarti penyerapan bahasa kedua saat dewasa tidak mungkin terjadi.

Baca juga : Ternyata, Belajar Bahasa Asing Bisa Dibantu Dengan Tidur Hasil menunjukkan, orang yang belajar bahasa kedua setelah usia 18 tahun bisa saja memahami tata bahasa baru. Namun, kemampuannya tidak akan sama dengan penutur asli. "Mungkin ini karena perubahan biologis, atau sesuatu yang berhubungan dengan sosial budaya," ujar rekan penulis studi Josh Tenenbaum, seorang profesor ilmu otak dan kognitif di Massachusetts Institute of Technology kepada BBC. "Saat belajar bahasa kedua di usia 17 atau 18 tahun ada kemungkinan kemampuan penyerapan menjadi lebih kecil. Hal ini mungin karena kegiatan di luar rumah seperti bekerja, kuliah, dan sebagainya. Hal ini mungkin memengaruhi tingkat pembelajaran bahasa apa pun," imbuhnya.



Total comment

Author

fw

0   comments

Cancel Reply