Contact Form

 

Arsene Wenger leaves the Emirates, the house he built


LONDON, KOMPAS.com - Stadion Emirates menjadi saksi saat Arsene Wenger mengucapkan salam perpisahan untuk para suporter Arsenal, Minggu (6/5/2018) atau Senin dini hari WIB.

Seusai pertandingan Arsenal versus Burnley yang berakhir dengan kemenangan The Gunners 5-0, Arsene Wenger memberi pidato yang menjadi perjumpaan terakhirnya dengan seluruh pendukung di markas Arsenal itu.

Yang menjadi menarik adalah kalimat pertama Wenger dalam pidatonya. Pelatih asal Perancis ini, mendoakan mantan pelatih Manchester United, Sir Alex Ferguson untuk segera pulih dari sakitnya.

"Sebelum saya memulai, saya ingin berkata bahwa Arsenal peduli. Saya mendoakan mantan rekan satu profesi saya, Ferguson, agar kembali baik,"

Seperti diketahui, Ferguson harus menjalani operasi darurat, Sabtu (5/5/2018) akibat mengalami pendarahan di otaknya.

Selanjutnya, Wenger melanjutkan pidatonya dengan mengucapkan terima kasih kepada pendukung dan semua pihak Arsenal yang telah bekerja bersama dengan dirinya selama 22 tahun.

Baca juga: Pemain Muda Manchester City Jatuhkan Trofi Liga Inggris Sebelum Perayaan

There's only one Arsène Wenger.#MerciArsène pic.twitter.com/Z9CzHC0vIg


MOJOK.CO – Perpisahan antara Arsene Wenger dan Arsenal justru perlu dirayakan, bukan hanya ditangisi. Mengapa? Perpisahan memang identik dengan kesedihan, apalagi ketika dua entitas yang berpisah sudah terpaut sejak lama. Apalagi ketika kedua entitas sudah membentuk satu identitas yang begitu kuat. Namun, perpisahan Arsene Wenger dan Arsenal bukan jenis perpisahan yang layak terus diingat dengan narasi kesedihan. Ada sebuah perayaan yang harus kita siapkan setiap kali mengingat momen ini. Pertanyaannya tentu saja adalah “mengapa”. Berikut beberapa alasan yang menyertai. Soal kesetiaan Arsene Wenger Masa pengabdian Arsene Wenger bersama Arsenal adalah 22 tahun. Waktu yang sangat panjang untuk sepak bola modern saat ini. Sebuah catatan rekor yang mungkin hampir mustahil untuk disamai, apalagi untuk dipecahkan. Mengapa manajer berusia 68 tahun itu bisa bertahan begitu lama dengan klub asal London Utara ini? Wenger adalah generasi pelatih periode lama. Ia menjabat sebagai pelatih Arsenal jauh sebelum uang minyak menginvasi liga-liga di dunia. Di masa itu, alasan sebuah manajemen mempertahankan pelatih bukan hanya soal prestasi dan jumlah tropi yang dikumpulkan. Ketika ada sebuah komitmen yang mengikat klub dan pelatih, relasi keduanya bisa bertahan lama. Sebagai pembanding yang paling ideal, tentu saja kita bisa melihat relasi antara Manchester United dan Sir Alex Ferguson . Manajer asal Skotlandia tersebut juga melewati periode-periode buruk bersama United. Namun, ada komitemen yang kuat di antara keduanya. Komitmen yang cukup kuat untuk membuat manajemen United bersabar tidak memecat Sir Alex. Begitu juga dengan Wenger, di mana dirinya dua kali dibujuk oleh Real Madrid untuk angkat kaki dari Arsenal. Madrid butuh pelatih yang bisa berkomitmen membangun skuat. Sementara itu, Wenger sendiri enggan meninggalkan Arsenal karena proyek besar pembangunan stadion. Selain itu, mantan manajer AS Monaco itu pun berkomitmen baru akan “hengkang” apabila Arsenal sudah berada dalam kondisi ideal, baik dari skuat maupun di balik layar. Kesetiaan itulah yang bakal sulit kita rayakan lagi. Pelatih sepak bola masa kini, terutama mereka yang mengabdi untuk tim papan atas, seperti tengah bekerja dengan pistol yang menempel di kening. Pistol itu bernama tuntutan untuk berhasil. Ya soal trofi, yang soal posisi di klasemen. Ketika tuntutan tidak tercapai, pelatuk pistol itu dengan mudah ditekan. Dor! Pecat! Ketika sebuah klub berkompetisi dengan napas bisnis semata, kebahagiaan menjadi semakin terbatas, hanya soal juara atau tidak. Tidak ada yang salah, namun kesetiaan menjadi asek yang dikorbankan. Manchester City dan Paris Saint-Germain (PSG) boleh saja juara untuk satu atau dua tahun. Namun, ketika ada tanda-tanda kemunduran (buruk di mata modal), nasib pelatih langsung dipertaruhkan. Tengok nasib Unai Emery bersama PSG. Ketika manajemen “membeli pemain” yang tidak dibutuhkan tim, lalu gagal total di Liga Champions, siapa yang disalahkan? Tentu saja manajer. Ketika si pemain yang aslinya tidak dibutuhkan gagal, siapa yang disalahkan? Sekali lagi, manajer. Emery, pelatih yang berhasil mengharumkan nama Sevilla, bukan klub teras La Liga, di ajang kompetisi Eropa itu, akan meninggalkan jabatannya di akhir musim. Lain Emery, lain pula Mauricio Pochettino, pelatih Tottenham Hotspur, yang peluangnya lolos ke Liga Champions tengah terancam. Bukan tidak mungkin, ketika Spurs akhirnya gagal berkompetisi di Liga Champions, proyek yang tengah berjalan akan bubar jalan. Nama Pochettino sudah dikaitkan dengan klub-klub besar. Tuntutan untuk sukses menjadi patokan utama, hingga proses tak lagi punya nilai. Di sinilah Arsene Wenger punya nilai istimewa untuk terus dirayakan. Sungguh sulit menemukan seseorang yang berkomitmen 100 persen untuk klubnya, terutama yang terpuruk untuk waktu yang lama. Wenger mewakafkan waktu dan tenaganya secara total untuk Arsenal. Wenger bahkan mengorbankan rumah tangganya, untuk berkonsentrasi penuh dengan proyek jangka panjang The Gunners. Ia bercerai dengan isterinya. Apakah ada seseorang yang akan total mengabdi untuk komunitas yang turut ia bangun? Wenger menyimpan tangis hanya untuk Arsenal. Penghargaan akan proses Di tengah narasi kesetiaan Arsene Wenger, ada sebuah penghargaan yang tinggi akan sebuah proses. Perlu diakui, Arsenal masuk ke dunia sepak bola industri lewat asuhan tangan dingin Wenger. Ada proses panjang di sana. Mulai dari mengubah kebiasaan pemain, memperkuat jaringan pencarian bakat pesepak bola, hingga yang paling epik, soal membangun stadion kelas satu. Ada pengorbanan di pusat proses itu. Wenger mengorbankan masa-masa emas dalam kariernya untuk berproses bersama pemain-pemain kelas dua. Ia “dipaksa” menjual aset terbaik Arsenal dalam wujud pemain kelas elite, demi kesehatan kas klub. Tanpa mental dan determinasi, Wenger dapat dengan mudah menerima ajakan Madrid membangun skuat dengan dana yang melimpah. Namun ia bersetia dengan proses. Membangun stadion bukan hanya mendirikan bangunan fisik saja. Stadion menjadi pusat kehidupan Arsenal di masa depan. Jadi, proses yang dilakoni Wenger adalah proses membangun masa depan. Buah pengorbanannya (seharusnya) akan dirasakan oleh era baru nanti. Bukankah membangun dan menyiapkan masa depan itu lebih berarti ketimbang gelar juara untuk satu atau dua tahun saja lalu dipecat seperti anjing kudisan yang diusir? Penghargaan akan proses yang membuat sepak bola kembali menjadi “manusia”, bukan mesin uang semata. Hanya persona dengan hati baja yang akan tahan melewati sebuah proses penderitaan untuk kemakmuran generasi selanjutnya. Dua alasan di atas sudah cukup untuk menegaskan bahwa perpisahan Arsene Wenger dan Arsenal harus dirayakan. Dibungkus dengan hati yang penuh, dan dikenang dengan hati yang meluap. Untuk terakhir kalinya, terima kasih Arsene Wenger. Untuk segala yang baik, dan segala yang buruk. Anda menjaga sepak bola tetap manusiawi.




Arsene Wenger walks out to a guard of honour in his last game at the Emirates

Arsene Wenger is not just leaving a job this summer. He's moving away from the house he helped build.

"It was a sad day because for me, I came here to make the first photos of the Emirates, and when the lorries came in to sort out the rubbish. I have seen this stadium worked on in every part, from your press conference room to the technical area. Of course it is part of myself."

So much has been said and written about Wenger's success and failures on the pitch in those glittering first 10 years and the 12 since, but to get a real grasp of his influence, you only need to look off it.

Wenger admits he still does not know how he feels about leaving Arsenal

The Emirates is Wenger's grand design, and he doesn't quite know how he feels about handing over the keys.

"It's the last time and it's such a long time. Such a big love story, and of course you don't want to end it - but everything comes to an end. It will take a bit of time to reconnect and really know how I feel. It has not started to sink in yet."

On Sunday, during the 5-0 win over Burnley, Wenger rarely got off the sofa. He complained at the referee a handful of times, he got up to check on a couple of injuries, but for the majority of the game, he sat in deep conversation with Steve Bould, still caring about the outcome.

The fans sang his name as one, basking in the togetherness he has been requesting for many months, and both the club and the press offered gifts to the Frenchman as recognition of the way he has conducted himself over 22 years.

Wenger was in a relaxed mood on Sunday as he bid farewell to The Emirates

There were guests of honour; some fine words from Bob Wilson, and all those who had played over 100 games for Wenger were invited. No call for Invincible Pascal Cygan (98 appearances) yet no sign of Oleg Luzhny (110 appearances), and it says a lot that those who were in attendance were Wenger's best acquisitions from part one of his story, not part two.

But increasingly in the days since his announcement on April 20, Wenger has pointed us in the direction of this wonderful stadium, the club's infrastructure, and how he has successfully upheld that feeling of class and identity, encapsulated by Herbert Chapman's bust in the marble hallways of Highbury.

"The titles are important," he said after the game. "But over a long period integrity, values of the club and team spirit are the most important for me."

When he arrived at Arsenal in 1996, the club had already been planning to upgrade Highbury, but his quick success changed those ideas and also changed English football.

'Merci Arsene' was the message across The Emirates on Sunday

Soon, a huge plot of land down the road became the focus of campaigns, and finally an acquisition came. Wenger was at the forefront of it all.

"When we built the stadium the banks demanded that I signed for five years," Wenger said in 2016. "The banks wanted the technical consistency to guarantee that we have a chance to pay them back."

His influence didn't stop there. Wenger designed the entire dressing room, a curved structure with no corners, a nod to his strong belief in Feng Shui. It has acoustically-springed ceilings, meaning his voice can travel to all players equally. He believes if you hairdryer your players, you lose your temper, and therefore you lose the clinical thought process.

He also scrapped proposals to build a pillar in the home dressing room because he saw it as a potential barrier to communication. He had no such barriers while giving his speech on the pitch after full-time; there was silence while he spoke, with all 60,000 - and there were 60,000 this time - fixated on the 68-year-old.

Wenger described his relationship with Arsenal football club as a 'love story' Wenger described his relationship with Arsenal football club as a 'love story'

Everywhere you turn at the Emirates, there are print marks of Wenger, and the man who brings his moving lorries down Hornsey Road this summer will work in an environment fit for champions.

Premier League football moved on fast in the 1990s, and Wenger was one of the main catalysts. But now, football is moving without Wenger, and the identity of the next manager is key if Arsenal are to make up the ground they have lost.

Whatever style he brings, Wenger will quietly hope the foundations he helped build and maintain are upheld. Wenger truly believes Arsenal are not far from becoming a side that brings this stadium the title it warrants.

"The new man inherits a team which is much better than people think it is, and I'm convinced, you can see the togetherness in the team is special. With the right additions this team will challenge next year."

Will he be around to watch?

"I will be happy to sit in the North Bank. The positive of that is, I can shout at the next manager from the North Bank!"

Total comment

Author

fw

0   comments

Cancel Reply