PANMUNJOM, KOMPAS.com — Presiden Korea Selatan Moon Jae-in menyambut kedatangan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un di Garis Demarkasi Militer yang memisahkan dua negara tersebut, Jumat (27/4/2018).
Sebelum berjalan di karpet merah menuju Peace House atau Gedung Perdamaian di Panmunjom, Kim dan Moon bergandengan tangan sambil berjalan melewati garis perbatasan.
Moon mundur selangkah untuk menginjakkan kaki melewati perbatasan sehingga berada di wilayah Korea Utara.
Begitu pula dengan Kim, dia berjalan melewati garis pemisah menuju Gedung Perdamaian untuk memulai pembicaraan bersejarah. Kim menjadi pemimpin Korut pertama yang mencapai wilayah Korsel sejak Perang Korea berakhir.
Baca juga: Moon kepada Kim Jong Un: Saya Senang Bertemu Anda
Sambil menebar senyum dan bergandengan tangan, keduanya mengawali sebuah babak baru bagi sejarah Korea.
Masuk ke Gedung Perdamaian, Kim menandatangani buku tamu, dan menuliskan sesuatu.
"Sejarah baru dimulai, sebuah tahun perdamaian di tonggak awal sejarah," tulisnya.
??? ?????? '??? ?'? ??? ?? ??????. "??? ??? ???? ??? ?????" - ??? 2018.4. 27 - #?????? #????? #????? #interkoreansummit pic.twitter.com/OwEcSZzwxF
Dilansir dari CNN , pertemuan Kim dan Moon akan berfokus pada tiga agenda utama, yaitu denuklirisasi di Semenanjung Korea, perdamaian, dan peningkatan hubungan bilateral.
Saat pembicaraan di meja oval dimulai, Kim mengatakan ingin menulis lembaran baru dalam hubungan Korea. Selain itu, dia mengungkapkan perasaannya ketika melewati garis perbatasan.
"Saat berjalan ke sini, saya pikir kenapa sulit mencapai wilayah ini? Ternyata garis pemisah tidak begitu tinggi untuk dilewati. Mudah sekali untuk melewati garis itu," kata Kim kepada Moon, dan pejabat lainnya.
Baca juga: Moon kepada Kim Jong Un: Saya Senang Bertemu Anda
Moon memuji keputusan berani Kim untuk duduk bersama menggelar perundingan.
"Selama tujuh dekade terakhir, kami tidak dapat berkomunikasi, jadi saya pikir kita bisa berbicara sepanjang hari ini", kata Moon, disambut tawa dari Kim.
Dalam pertemuan itu, Kim Jong Un didampingi adiknya, Kim Yo Jong, yang juga memimpin delegasi Korut ke Olimpiade Pyeongchang 2018 pada Februari lalu.
Hak atas foto Getty Images Image caption Kim Jong-un merupakan pemimpin Korut pertama yang akan masuk ke wilayah Korsel di kawasan demiliterisasi setelah berkhirnya perang Korea tahun 1953.
Kim Jong-un dilaporkan membawa serta sekelompok politisi elite, orang kepercayaan, dan penasehatnya untuk melintasi perbatasan masuk ke Korea Selatan.
Pertemuan puncak kedua Korea yang ketiga sejak berakhirnya Perang Korea tahun 1953 lalu -setelah tahun 2000 dan 2007- berlangsung di wilayah Selatan dalam zona demiliterisasi di perbatasan kedua negara.
Pertemuan Kim Jong-un dengan Presiden Korea Selatan, Moon Jae-in, juga menjadi pendahulu bagi pertemuan Kim dengan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang belum ditentukan waktu maupun tempatnya.
Korea Selatan mengatakan belum pernah menyambut begitu banyak delegasi penting dari Pyongyang seperti sekarang untuk pertemuan puncak ketiga pada Jumat (27/04) ini.
Tapi siapa saja yang para elit anggota 'Lingkaran Sembilan' yang dibawa KimJong-un itu?
Kim Yo-jong - saudara yang semakin berpengaruh
Pentingnya Kim Yo-jong bagi kepemimpinan abangnya menjadi semakin jelas ketika dia ditunjuk sebagai duta untuk Olimpiade Musim Dingin 2018 di PyeongChang, Korea Selatan.
Hubungan kedua Korea memang semakin membaik setelah Olimpiade tersebut dengan keikutsertaan delegasi Korea Utara.
Media playback tidak ada di perangkat Anda Kim Yo-jong memberikan satu folder catatan tangan dari saudara laki-lakinya, pemimpin Korea Utara, kepada Presiden Moon Jae-in.
Saat kunjungan itu, Kim Yo-jong disebut sebagai anggota keluarga dinasti Kim pertama yang melawat ke Korsel sejak perang Korea berakhir tahun 1953 dengan kesepakatan gencatan senjata.
Dia tetap masuk dalam daftar yang mendapat sanksi oleh pemerintah Amerika Serikat terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia di Korut namun disambut baik di Korsel serta bertemu dengan presiden serta pejabat tinggi Korsel.
Perempuan ini menjadi wajah yang tersenyum dari kepemimpinan Korut saat Olimpiade dan media Korsel mengamati gerak geriknya maupun busananya, termasuk berspekulasi bahwa dia sedang hamil.
Bagaimana pengaruhnya tidak bisa diabaikan dan para pengamat memperkirakan banyak keputusan kejam Kim yang kemungkinan diambil bersama dengan adik perempuannya ini.
Kim Yong-nam - yang selamat dari pembersihan
Pria berusia yang 90 tahun ini menyaksikan kepemimpinan tiga Kim sepanjang kariernya.
Berbeda dengan Kim Jong-un, dia melakukan sejumlah perjalanan ke luar negeri dalam kunjungan resmi, seperti ke Iran untuk menghadiri pelantikan Presiden Hassan Rouhani pada masa jabatan keduanya.
Hak atas foto Reuters
Kesetiaannya pada kepemimpinan Korea Utara tidak pernah dipertanyakan dan beberapa pihak berpendapat kemampuannya untuk bertahan dari pembersihan sebagai sesuatu yang mengesankan.
"Dia tidak melakukan kesalahan. Itulah sebabnya dia tetap mempertahankan jabatan tingkat tinggi di sebuah negara yang sudah biasa dengan pembersihan politik," tutur seorang pembelot dari Korut, seperti dikutip kantor berita Korsel, Yonhap.
Choe Hwi - datuknya kebudayaan Korut
Menteri Olah Raga Korea Utara ini dikenal dengan sikapnya yang relatif santai dalam penampilannya di media resmi pemerintah Korut maupun saat berfoto.
Jabatan pertamanya yang penting adalah sebagai manajer dari opera sirkus Sea of Blood (Lautan Darah) pada pertengahan 1908-an, menurut sebuah blog Pengamat Kepemimpinan Korea Utara.
Hak atas foto EPA
Dia menghabiskan sebagian besar kariernya di dunia seni budaya Korut dan diperkirakan terlibat dalam pembentukan Moranbong Band, kelompok musik pop perempuan Korut.
Terobosan dalam hubungan kedua Korea saat Olimpiade Musim Dingin dan juga pertukaran kebudayaan beberapa waktu lalu disebut tidak bisa dilepaskan dari perannya.
Kim Yong-chol - perunding yang tangguh
Salah satu tokoh kontroversial dalam delegasi ke pertemuan puncak Korea adalah Kim Yong-chol, mantan kepala intelijen militer yang dituduh menjadi otak dari serangan atas kapal perang Korea Selatan, Cheonan, dan juga atas Pulau Yeonpyeong tahun 2010.
Hak atas foto Reuters
Jenderal Kim memiliki reputasi sulit untuk diajak bekerja sama dan suka mengeluarkan kata-kata tajam, seperti dilaporkan blog Pengamat Kepemimpinan Korea Utara.
Dalam perundingan dengan Korea Selatan tahun 2007, dia dilaporkan menolak tawwaran dari Selatan dengan mengatakan, "Mungkin Anda punya satu tas usulan lainnya."
Ri Su-yong - diplomat dan 'figur bapak'
Sebelumnya dikenal sebagai Ri Chol, pria ini memiliki hubungan dengan keluarga Kim sejak dulu. Dia satu sekolah dengan Kim Jong-il dan belakangan menjadi pembimbing anak-anaknya, termasuk pemimpin saat ini, Kim Jong-un, saat bersekolah di Swiss pada tahun 1990-an.
Hak atas foto Getty Images
Michael Madden dari blog Pengamat Kepempimpinan Korea Utara menyebutnya sebagai 'figur bapak' bagi Kim Jong-un.
Dia melakukan sejumlah perjalanan ke luar negeri untuk mewakili negara dan ditunjuk sebagai menteri luar negeri pada tahun 2014, ketika peran itu menjadi semakin penting.
Kini dia memimpin Departemen Urusan Internasional, yang memungkinkan dia sering melakukan interaksi dengan diplomat-diplomat asing.
Menurut blok Pengamat Kepempinan Korea Utara, dia merupakan diplomat yang dihormati di PBB dan sering dianggap sebagai tokoh yang bisa didekati.
Ri Myong-su - tutor dan orang militer
Ri ditinjuk sebagai kepala staf militer pada tahun 2016. Dua pendahulunya di bawah Kim Jong-un diyakini dieksekusi dan satu lagi disingkirkan.
Memasuki usia 80-an, dia merupakan veteran perang Korea yang dianggap sebagai ahli strategi militer.
Hak atas foto Reuters
Dia juga bertindak sebagai tutor Kim Jong-un ketika mulai disiapkan menjadi pemimpin, menurut blok Pengamat Kepemimpinan Korea Utara.
Sempat menghilang setelah kematian Kim Jong-il, dia kembali ke baris depan kepemimpinan Korut.
Pak Yong-sik - menteri pertahanan
Sebagai pemimpin di Kementrian Angkatan Darat Rakyat MPAF, Pak mengatur administrasi kemiliteran dan logistik serta hubungan diplomatik dengan pasukan asing.
Hak atas foto Reuters
Pak menempuh restrukutrurisai militer dan juga memimpin operasi pemulihan setelah bencana banjir besar tahun 2016 lalu.
Ri Yong-ho - menteri luar negeri yang terus terang
Sebagai diplomat karier, Ri Yong-ho sudah lama menjabat ketua tim perunding nuklir Korea Utara dan pernah menjadi duta besar di beberapa negara, termasuk Inggris.
Hak atas foto Reuters
Dia dipromosikan ke kursi menteri luar negeri tahun 2016 dengan reputasi berbicara secara terus terang. Tahun lalu, misalnya, dia menuduh Amerika Serikat 'menyatakan perang' dengan Korea Utara dan membandingkan ancaman Presiden Trump atas negaranya seperti 'suara anjing yang menggongong.
Ri juga memiliki akun di TwitterHe is also on Twitter.
Ri Son-gwon - tokoh Olimpiade
Jabatan Ri Son-gwon sebagai ketua badan yang mengurus hubungan dengan Korea Selatan atau Komite Reunifikasi Damai Negara, membuat dia menjadi tokoh penting dalam perundingan yang melibatkan Korea Utara dalam Olimpiade Musim Dingin 2018. .
Hak atas foto EPA
Hingga tahun 2016 lalu dia masih menjadi kolonel dan pernah mengeluarkan peringatan atas latihan militer Korea Selatan maupun membantah keterlibatan pemerintah Pyongyang dalam insiden kapal angkatan laut Korsel tahun 2010. .
Chat with us in Facebook Messenger. Find out what's happening in the world as it unfolds.
Adam Cathcart is a lecturer in Chinese history at the University of Leeds (United Kingdom) and the editor of Sino-NK.com. The views in this article are those of the author.
(CNN) Even without the shadow of nuclear threats hanging over the Korean Peninsula, the sight of North Korea's Kim Jong Un and South Korea's Moon Jae-In embracing one another and spending a full day in substantive conversation would have been enough to stir emotion.
The two Koreas -- first divided in 1945 with the end of World War II in Asia and then the site of a horrific civil war and international conflict -- have seen enough violence and tragedy in the last 70 years to fill a few centuries.
So when the leaders of the two Koreas made an announcement from Panmunjom aiming to "open up a new era of peace" and ultimately end the Korean War, it is natural that optimism will reign supreme, along with feelings of relief.
Avoiding all of the messy details of the statements and policy promises made in Panmunjom, and leaving Kim Jong Un expressly out of it, Donald Trump's tweet seemed to sum things up.
KOREAN WAR TO END! The United States, and all of its GREAT people, should be very proud of what is now taking place in Korea!
There is no doubt that such a meeting gives ground for optimism. But we must not ignore the myriad problems that peace in Korea still needs to navigate -- not least that North Korea is still a brutal dictatorship.
Since the two Koreas began negotiations in 1972, there have been a number of agreements made that would do things similar to the new agreement. In 1991, the two Koreas jointly pledged to set up a "peace regime" that would end the Korean War, but ended only two short years later on the brink of conflict over the North's nuclear program.
Nearly every detail mentioned in the ambitious and exciting new Panmunjom Declaration has been worked through toward failure in the past, whether family reunions -- where North Korea effectively holds the cards and controls the pace of contact -- to Pyongyang's vague promises to denuclearize, to promises to link up the two nations' rail infrastructure.
The Demilitarized Zone and the less-known but as important Northern Limit Line in the Yellow Sea have remained real trigger points for inter-Korean clashes.
It may be that things outside of Kim's control -- like a random defection across the line -- or a mudslide that moves landmines into areas patrolled by Southern troops (as allegedly happened in August 2015) will escalate again the war of words between the two sides.
JUST WATCHED With one step, Kim Jong Un just made history Replay More Videos ... MUST WATCH With one step, Kim Jong Un just made history 02:53
The tables that Kim and Moon met at were appropriately small -- as befit the desire to make this summit more of an intimate gathering for the leaders, rather than a ceremony full of pomp and circumstance that would be expected in Seoul or Pyongyang. But the table will need to get significantly larger to incorporate the United States and China if the Armistice agreement of 1953 is to be updated, altered, or done away with.
Japan is a potential lifeline economically for North Korea and a key US ally, but is likely to feel both left out and ganged up upon as the Koreas align more closely with one another. If the Trump administration begins to flirt with troop withdrawals, there will be more pressure to expand American military operations and bases in Okinawa -- always a sensitive issue.
The Soviet Union was not party to the Armistice, and Russia has been left out of the Panmunjom Declaration. But it is a key player with respect to balancing North Korea's foreign relations, and has significant leverage thanks to its coal and transportation ties. Will Donald Trump insist that his good friend Vladimir Putin have a seat at the table when it comes to negotiating North Korea's nuclear status?
And US-China relations with respect to Korea are not only difficult to align but can interfere with inter-Korean politics as the great powers get drawn in -- a recurring theme in Korean history of the last 150 years.
In spite of the good vibes from today's meetings in Panmunjom, the Koreas can still become proxies in a conflict between Beijing and Washington -- so certainly China's vision for the future of North Korea is going to need alignment with Trump's -- and whoever follows him.
And while Kim has opened up his public image in new ways (with the help of his sister Kim Yo-jong), North Korea is still a dictatorship.
The agreements today have called for more contact between "civil organizations" in the two Koreas, but does North Korea have such independent organizations worthy of the name?
When they are finally given data about the summit and the overall direction of affairs, it will be via the Korean Workers' Party and such thoroughly pliant organizations such as the Kim Il Sung Socialist Youth League.
The South Korean government has done extensive research on the gulags and prison systems in North Korea, but is going to have to be happy with talking to Kim in far more general terms about grain transfers, limited people-to-people talks with heavily watched North Korean citizens and athletes, and keeping Seoul's own 20,000-plus defector population from being too vocal.
This might be a small price to pay for the end of the Korean War, but the burden is already falling on those who are interested in opening up North Korea's information pathways and getting would-be defectors out of the country.