TRIBUN-TIMUR.COM-Manajemen mesin pencarian terbesar dunia, Google kembali menampilkan sebuah tokoh sebagai doodle pada laman utama pencariannya pada Kamis (25/1/2018).
Google Doodle menampilkan sosok seorang wanita cantik dengan rambut dikuncir atas sambil melihat ke arah samping.
Sekeliling fotonya terlihat taburan dedaunan melingkar dan menyatu dengan tulisan google.
Rupanya dia adalah sorang penulis novel bernama Virginia Woolf.
Dirinya diketahui sebagai wanita yang meninggal karena bunuh diri secara sadis.
Kok bisa dikenang dan menjadi google doodle, berikut fakta dan daftar kehebatannya:
1. Virginia Woolf memiliki nama asli Adeline Virginia Stephen. Nama Woolf diambil dari nama keluarga suaminya yang merupakan penulis dan politikus Leonard Woolf.
2. Lahir di Kensington, Middlesex, Inggris pada 25 Januari 1882. Artinya jika masih hiduo dia akan berumur 136 tahun.
3. Dia merupakan perempuan yang cantik dan anggun. Ayahnya, Leslie Stephen, dan Ibunya Julia, merupakan pasangan yang sudah pernah menikah sebelumnya.
Leslie memiliki anak bernama Laura, sementara Julia memunyai Gerard, Stella, dan George Duckworth. Ketika mereka menikah, lahirlah Vanessa, Tobby, Virginia, dan si bungsu Adrian.
(tirto.id - may/may)
Novelis Inggris Virginia Woolf hari ini dirayakan ulang tahunnya yang ke-136 oleh Google doodle.Woolf terkenal sebagai salah satu tokoh sastra modern abad ke-20 dan pelopor penggunaan teknik penulisan “stream of consciousness” sebagai narasi dalam novel-novelnya. Deretan karya penulis bernama lengkap Adeline Virginia Woolf ini antara lain(1925),(1927) dan(1929).Terlahir dari keluarga terpelajar pasangan Julia Prinsep Duckworth Stephen dan Sir Leslie Stephen, Woolf dibesarkan di keluarga besar dengan adik dan kakak tiri dari pernikahan ayah ibunya sebelumnya. Ayah Woolf dikenal sebagai editor dan penulis yang terkenal di masanya. Penulis James Russel Powell bahkan menjadi ayah baptis bagi Virginia dan sastrawan Henry James dan George Elliot berteman baik dengan ayahnya.Kenangan masa kecil Virginia yang membekas saat menghabiskan liburan musim panas di Cornwall yang nantinya menginspirasi novelnyaNamun kematian ibu Virginia saat ia masih berusia 13 tahun dan disusul kematian adiknya dua tahun kemudian telah menyebabkan dia depresi. Kematian ayahnya juga semakin memperburuk keadaannya, hingga sempat dimasukkan ke rumah sakit jiwa untuk penyembuhan.Ia sempat belajar di London’s Kings College bersama beberapa figur yang menonjol dalam sastra salah satunya Leonard Woolf yang nantinya menjadi suaminya. Virginia dan Leonard Woolf menikah pada 1912 tetapi tak membuat hidupnya bahagia. Pada 1922, Virginia bertemu dengan Vita Sackville-West yang dikabarkan menjadi hubungan istimewa hingga 10 tahun. Salah satu novelnya, Orlando, disebut-sebut sebagai surat cinta kepada West.Dibesarkan di lingkungan intelektual dan komunitas sastra, Woolf menjadi salah satu tokoh kunci di Grup Bloomsbury, kelompok intelektual dan penulis yang juga beranggotakan EM Forster dan JM Keynes.Karya Woolf yang terkenal, Mrs. Dalloway dan To The Lighthouse, menggunakan narasi "stream of consciousness" yang menggambarkan perspektif karakter dengan kegiatan sehari-harinya dengan penekanan pada konteks kehidupan si tokoh dan sejarah dengan segala kecamuk pikiran yang berlalu-lalang. Kalimat pembuka novel ini bahkan menjadi salah satu yang paling terkenal di sejarah literature Inggris.Karya non-fiksi lainnya A Room of One’s Own telah menjadikan Woolf sebagai salah satu tokoh feminis terkemuka. “Seorang perempuan harus memiliki uang dan ruangan tersendiri untuk dia bisa menulis fiksi,” cuplikan tulisannya ini menjadi salah satu kutipan yang paling terkenal untuk menggambarkan kemandirian perempuan.Namun hidup Woolf berakhir tragis. Selama Perang Dunia II berkecamuk di Eropa, Woolf mengalami depresi berat. Karena tidak dapat mengatasi depresinya, Woolf mengenakan mantelnya, mengisi kantungnya dengan batu dan berjalan ke Sungai Ouse pada 28 Maret 1941. Ia kemudian terjun ke sungai itu. Pihak berwenang menemukan mayatnya tiga minggu kemudian.Meskipun popularitasnya menurun setelah Perang Dunia II, karya Woolf kembali bergaung dengan generasi baru pembaca selama gerakan feminis tahun 1970-an. Woolf tetap menjadi salah satu penulis paling berpengaruh abad ke-21.Untuk mengabadikan karya dan pencapaian penulis awal abad ke-20 ini, Google pada hari ini membuat sketsa wajah Virginia Woolf yang dikelilingi daun-daun berguguran, untuk menggambarkan “gaya minimalis” yang kerap dipakai Woolf dalam karya-karyanya.Baca juga artikel terkait GOOGLE DOODLE atau tulisan menarik lainnya Maya Saputri
KOMPAS.com - Google Doodle menampilkan gambar wajah seorang perempuan dalam bingkai berbentuk elips. Di sekeliling ada daun-daun yang jatuh berguguran. Sebuah tulisan disusun membentuk nama "Google" dengan frame gambar sebagai huruf "o" kedua.
Sang perempuan adalah Virginia Woolf, seorang penulis kenamaan asal Inggris. Google Doodle hari ini (25/1/2018) yang dibuat oleh ilustrator Louise Pomeroy dimaksudkan untuk merayakan ulang tahun ke-136 Virginia Woolf.
Lahir di London pada 1882 dari pasangan Julia Prinsep Duckworth Stephen dan Sir Leslie Stephen, Virginia Woolf tumbuh di rumah yang memiliki sebuah perpustakaan besar. Ayahnya juga seorang penulis yang dekat dengan komunitas sastra di Inggris.
Di awal abad ke-20, bersama dengan suaminya, Leonard yang dinikahinya pada 1912, Virginia Woolf menjadi bagian dari Bloomsbury Group, lingkaran tokoh intelektual dan seniman berpengaruh di Inggris.
Novel pertama Virginia Woolf, The Voyage, diterbitkan pada 1915. Karya-karyanya setelah itu terus mengalir, terutama dalam periode interwar antara dua Perang Dunia, sehingga melambungkan namanya. Virginia Woolf kemudian beken sebagai salah satu novelis terhebat dari Inggris.
Sebagaimana dirangkum KompasTekno dari laman doodle Google, Virginia Woolf adalah salah satu pionir narasi stream of consciousness (aliran pemikiran) yang menggambarkan perasaan dan isi pikiran dari para tokoh dalam sebuah pembicaraan dengan diri sendiri.
Virginia Woolf turut dikenal sebagai feminis yang menginspirasi para perempuan di kemudian hari. Beberapa karya sastranya didedikasikan untuk isu feminisme, seperti A Room of One's Own dan Three Guineas.
Novel-novelnya antara lain menyoroti kesulitan yang dialami penulis dan intelektual perempuan, karena kaum lelaki memegang kekuasan besar atas hukum dan ekonomi, selain juga bisa mementukan masa depan perempuan soal edukasi dan peranan di masyarakat.
Pada 1941, Virginia Woolf mengalami depresi. Setelah menulis surat perpisahaan kepada sang suami, dia lantas melakukan bunuh diri dengan tenggelam di sungai. Sebelum meninggal, Virginia Woolf telah menelurkan sembilan novel, berikut karya-karya lain seperti non-fiksi dan esai.
All around the world, haggis is being toasted, bagpipes being piped and neeps and tatties roasted as poetry lovers in Scotland and elsewhere – as well as anyone looking for an excuse to pour a generous dram of whisky – celebrate Thursday’s birthday of Robert Burns, a candidate for the #MeToo movement if ever there was one.
Behind every celebration of a great man lies a woman who could be equally venerated, but usually isn’t. Virginia Woolf, whose contribution to and influence on literature has been immense, was born on the same day as Ayrshire’s favourite son – yet year after year, no one shows up to her party.
The past decade alone has seen big anniversaries for Shakespeare, Martin Luther, Charles Dickens and Anthony Burgess, chock-full of biographies, documentaries and public talks. This February sees celebrations for the centenary of that staple of Edinburgh literature, Muriel Spark (although she lived the bulk of her adult life in Tuscany), and Emily Brontë’s bicentenary is due in July.
But women’s writing is valued differently – that is, less – and the public attention (and public money) spent on celebrating it misses an opportunity to do something truly radical and get people thinking about literature and who produces it in a different way. These celebrations could be used not just to celebrate the work of well-known writers but to bring the lesser-known ones to light. Give us Aphra Behn or Radclyffe Hall if you want historical figures, or celebrate the likes of Jackie Kay and Liz Lochhead while they’re still around to appreciate it.
In recent years, many individuals have taken to reading work only by women or writers of colour; efforts that do, in a small way, tackle the prejudices underpinning what is published, reviewed and read in the UK. But when literary history is whitewashed to erase or minimise women’s contributions, except for the occasional centenary celebration, this is a gesture tantamount to fighting fire with a water pistol.
Of course, Burns Night isn’t solely about Burns, and suggesting that we spend even one 25 January celebrating the work of a queer woman with mental illness over one of Scotland’s biggest exports is guaranteed to get some people frothing at the mouth. But when we celebrate it, what are we really saying is of cultural importance? It’s rarely an excuse for literary criticism, but why not? Just last year, Glasgow Women’s Library celebrated a Woolf Supper, commissioning female writers to respond to both Woolf’s and Burns’s work from a feminist angle. This event highlighted how rare it is for women to be given the stage, to remind us that some of our great men weren’t so great after all. If we can’t do that this year, of all years in recent history, when can we?
It was Woolf who said, “One cannot think well, love well or sleep well if one has not dined well,” which seems like a call for a riotous shindig or at least a slap-up meal (perhaps made with a copy of Orlando in one hand). The mealtimes in her novels are sure to leave anyone with an appetite whetted for more than just her words; you could almost use To the Lighthouse as your recipe for boeuf en daube, such is the detail. (“The beef, the bayleaf, and the wine – all must be done to a turn. To keep it waiting was out of the question.”) This is a woman whose life was studded with anecdotes about food: she was a keen pickler, once baked her own wedding ring into a cake and had a friendly rivalry with her sister over their bread-making skills. Not surprisingly, her (fraught) relationship with her cook was rich and complex enough to fill an entire biography.
So, tonight, buy the flowers yourself, pull together a meal out of The Bloomsbury Cookbook (turbot in aspic can’t possibly be worse than haggis) and ask more seriously: why don’t we have such an iconic day dedicated to a woman writer?