Contact Form

 

Update Virus Corona di Dunia 20 April: 2,39 Juta Orang Terinfeksi, 618.880 Sembuh


KOMPAS.com - Angka kasus infeksi virus corona di dunia masih terus bertambah.

Perkembangan kasus baru, angka pasien sembuh, dan angka kematian masih terus mengalami perubahan.

Secara umum, sebagian besar negara di dunia telah melaporkan adanya kasus virus corona di wilayahnya.

Berdasarkan data hingga Senin (20/04/2020) pagi, jumlah kasus Covid-19 di dunia adalah sebanyak 2.394.291 orang terinfeksi (2,39 juta).

Dari jumlah tersebut, 164.938 orang dilaporkan meninggal dunia, dan 611.880 pasien telah dinyatakan sembuh.

Adapun kasus terbanyak masih dicatatkan oleh Amerika Serikat dengan jumlah kasus lebih dari 700.000, disusul Spanyol, Italia, dan Perancis yang mengalami penurunan jumlah kasus baru dalam beberapa hari terakhir.

Baca juga: Update Virus Corona di ASEAN: Singapura dan Indonesia Catatkan Kasus Tertinggi

Berikut adalah perkembangan terbaru dari kasus-kasus virus corona di beberapa negara di dunia:

ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA Seorang petugas Pos Pemantauan virus Covid-19 memeriksa suhu seorang jurnalis di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso, Sunter, Jakarta Utara, Rabu (4/3/2020). Pos pemantauan tersebut dibuka untuk masyarakat yang ingin berkonsultasi apabila mengalami gejala terjangkit virus Covid-19. Pada Minggu (19/4/2020), Pemerintah Indonesia mengumumkan tambahan 327 kasus baru dan 47 kasus kematian di Indonesia.

Jadi, total kasus Covid-19 yang telah dikonfirmasi di Indonesia menjadi sebanyak 6.575 kasus. Sementara, angka kematian yang terjadi adalah sebanyak 582 kasus.

Jumlah pasien sembuh juga mengalami penambahan sebanyak 55 kasus baru pada Minggu (19/4/2020) sehingga angka total pasien sembuh menjadi 686 orang.




KOMPAS.com -  Perkembangan kondisi terkait pandemi virus corona masih terjadi. Dinamika penambahan jumlah kasus, kematian, maupun jumlah pasien sembuh terus berubah.

Hingga Minggu (19/4/2020) sore, jumlah kasus infeksi Covid-19 di dunia telah mencapai 2.341.066 (2,3 juta) kasus.

Dari jumlah tersebut, lebih dari 161.000 pasien meninggal dunia. Sementara itu, 599.979 pasien telah dinyatakan sembuh.

Virus ini hampir menjangkit seluruh negara di dunia, termasuk negara-negara anggota ASEAN.

Melansir  ASEAN Briefing,  Minggu (19/4/2020), berikut adalah perkembangan terbaru soal kondisi wabah virus corona di negara-negara ASEAN:

Baca juga: Pemerintah Tambah Reagen untuk Optimalkan Pemeriksaan Spesimen Covid-19

Data terbaru menunjukkan bahwa jumlah kasus infeksi Covid-19 di Brunei Darussalam adalah 137 kasus.

Hingga kini, kasus kematian yang dicatatkan adalah satu kasus.

Sementara, jumlah pasien sembuh sebanyak 113 orang.

Kamboja telah melaporkan 122 kasus infeksi Covid-19 yang terjadi di wilayahnya.

Dari jumlah tersebut, 105 pasien telah dinyatakan sembuh. Kamboja belum mencatatkan adanya kasus kematian yang terjadi akibat virus corona di negaranya.

Baca juga: Dampak Pandemi Corona, Harga Pasar Mbappe Merosot Rp 671 Miliar

Hingga Minggu (19/4/2020), ada 327 kasus baru Covid-19 yang diumumkan pemerintah Indonesia. Dengan adanya kasus baru ini, jumlah total infeksi Covid-19 di negara ini telah mencapai 6.575 kasus.

Jumlah tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara kedua di ASEAN yang memiliki kasus terbanyak virus corona setelah Singapura .

Hingga kini, ada 582 pasien yang telah meninggal. Sedangkan jumlah pasien sembuh adalah sebanyak 686.

Sejauh ini, Laos baru melaporkan 19 kasus virus corona yang terjadi di negaranya.

Dari kasus-kasus yang dilaporkan, 2 pasien telah dinyatakan sembuh. Sementara, Laos belum mengumumkan adanya pasien yang meninggal akibat infeksi Covid-19 ini.

Baca juga: 839 PNS Terdeteksi Covid-19, Ini Imbauan BKN

Malaysia melaporkan 5.389 kasus infeksi Covid-19 yang telah terjadi di negaranya. Angka tersebut merupakan akumulasi dari kasus yang telah dilaporkan sebelumnya dan 84 kasus baru yang diumumkan pada hari ini (19/4/2020).

Selain itu, ada satu kematian baru yang dilaporkan terjadi. Oleh karena itu, jumlah total pasien meninggal dunia adalah 89 orang.

Sedangkan jumlah pasien yang telah dinyatakan sembuh adalah sebanyak 3.197 orang.

Myanmar telah mencatatkan 107 kasus virus corona yang terjadi di wilayahnya.

Jumlah tersebut diperoleh setelah ada 9 kasus baru yang dikonfirmasi pada hari ini, Minggu (19/4/2020).

Sebanyak 5 orang telah dilaporkan meninggal dunia akibat infeksi Covid-19 ini. Sementara itu, jumlah pasien sembuh berjumlah 5 orang.

Baca juga: Ini Imbauan PBNU soal Ibadah Ramadhan di Tengah Pandemi Corona

Filipina menjadi salah satu negara dengan kasus Covid-19 terbanyak di antara negara-negara ASEAN lain setelah Singapura dan Indonesia.

Hari ini (19/4/2020), Filipina melaporkan adanya 172 kasus infeksi baru dan 12 kasus kematian baru yang terjadi di wilayahnya.

Jumlah total kasus virus corona di negara ini pun menjadi 6.259 kasus. Sedangkan jumlah kematian yang telah terjadi adalah 409 kasus.

Sementara itu, jumlah pasien yang telah dinyatakan sembuh adalah sebanyak 572 orang.

Hari ini, terdapat 596 kasus infeksi Covid-19 baru yang dilaporkan di Singapura. Di hari sebelumnya, Sabtu (18/4/2020), 942 kasus baru juga telah dilaporkan.

Jumlah kasus baru yang menunjukkan peningkatan tajam membuat Singapura menjadi negara dengan jumlah kasus virus corona terbanyak di antara negara-negara ASEAN lain.

Hingga Minggu (19/4/2020), jumlah total kasus virus corona di Singapura mencapai 6.588 kasus.

Dari jumlah tersebut, 11 orang meninggal dunia dan 740 pasien telah dinyatakan sembuh.

Baca juga: Mendadak Populer Disebut Sebagai Obat Corona, Apa Itu Daun Laban?

Thailand mencatatkan 32 kasus baru Covid-19 pada Minggu (19/4/2020). Oleh karena itu, jumlah total kasus virus corona di negara ini menjadi 2.765 kasus.

Sementara itu, terdapat  47 kasus kematian yang terjadi. Sedangkan 1.928 pasien telah dinyatakan sembuh.

Hingga kini, jumlah kasus virus corona yang telah dikonfirmasi di Thailand sebanyak 268 kasus.

Dari jumlah tersebut, 203 pasien telah dinyatakan sembuh. Hingga kini Vietnam belum melaporkan adanya pasien yang meninggal akibat Covid-19 ini.

Baca juga: Per 19 April, Jumlah PDP Covid-19 di Indonesia Capai 15.646 Orang




KOMPAS.com - Irlandia diklaim telah berhasil meratakan kurva virus corona .

Kurva digunakan untuk menunjukkan laju pertumbuhan kasus corona dari masing-masing negara. Kondisi kurva yang rata artinya penyebaran corona berhasil ditekan.

Cara meratakan kurva adalah membuat seminimal mungkin orang terinfeksi agar rumah sakit dapat menampung mereka yang sakit.

Jadi orang yang terinfeksi tidak melebihi kapasitas rumah sakit.

Dilansir SCMP Sabtu (18/4/2020), Kepala Petugas Medis Irlandia Tony Holohan menyampaikan pemerintah mengklaim telah berhasil meratakan kurva.

"Kami pikir kami dapat menjaga dan menguranginya lebih jauh," katanya dalam program acara Late Late RTE pada Jumat (17/4/2020).

Irlandia merupakan negara di Eropa. Letaknya di barat laut Eropa. Menurut Ensiklopedia Britannica pada 2019 populasinya sebesar 4.939.000 jiwa.

Baca juga: Irlandia Laporkan Kasus Pertama, Daftar 25 Negara Eropa Terinfeksi Virus Corona

Hingga Jumat (17/4/2020), telah ada 530 kematian terkait virus corona atau Covid-19 di Irlandia. Sementara itu total kasus yang dikonfirmasi menurut departemen kesehatan setempat sebanyak 13.980 kasus.

Irlandia seperti negara lainnya telah bersiap menghadapi lonjakan kasus, dimana penularan akan memuncak dan rumah sakit kebanjiran pasien.

Tapi dari analisis Holohan, tingkat reproduksi virus sekarang di bawah 1. Artinya rata-rata seseorang yang terinfeksi menularkan virusnya ke kurang dari satu orang.

Selain itu, jumlah pasien di ruang perawatan ICU juga terus menurun.

Data menunjukkan Irlandia telah melewati gelombang pertama virus corona. Sehingga dapat meningkatkan harapan perekonomiannya dapat kembali dibuka.

Tapi Holohan tidak sependapat dengan itu. Dia tidak ingin terlalu terburu-buru dalam menyimpulkan dan salah mengambil langkah.

"Jika kita pindah ke situasi di mana kita mencabut pembatasan karena kita puas dengan rendahnya tingkat penyebaran di masyarakat saat ini, maka kita akan berada di posisi harus bertindak cepat saat ada peningkatan lagi," ujarnya dalam konferensi pers.

Baca juga: Conor McGregor Minta Militer Irlandia Bantu Atasi Virus Corona

Holohan mengatakan negaranya justru berencana untuk memperluas kapasitas pengujian atau tes virus corona menjadi 100.000 tes per minggu selama 10 hari ke depan.

Sehingga harapan pemerintah adalah mengambil sampel, melakukan pengujian, dan memberikan hasilnya kepada pasien secara real time.

Pihaknya menyebut, penghuni panti jompo menyumbang lebih dari setengah dari semua kematian di Irlandia. Hololan mengatakan ada cadangan untuk pengujian semacam itu.

Negara juga mempertimbangkan pemeriksaan yang lebih ketat di bandara untuk memastikan virus corona tidak menyebar di negara itu.

Menurut Holohan dilansir Irish Post (18/4/2020), kunci keberhasilannya adalah pada lockdown dan mematuhi jarak-jarak sosial.

Holohan juga mengatakan Irlandia menerapkan lockdown dan diberlakukan hingga 5 Mei 2020 mendatang.

Meski begitu, dia tidak bisa menjanjikan pada masyarakat kapan kehidupan normal akan kembali ke Irlandia, sampai virus corona benar-benar dapat dikendalikan.




Jakarta - Sudah hampir satu bulan masyarakat dianjurkan berdiam diri di rumah. Sejumlah daerah memberlakukan PSBB (pembatasan sosial berskala besar) untuk memutus rantai penyebaran virus Corona atau COVID-19. Masyarakat pun bertanya, kapan pandemi corona ini berakhir?

Presiden Joko Widodo menyampaikan prediksi bahwa wabah virus corona (Covid-19) di Indonesia akan selesai pada akhir tahun ini. Jokowi mengatakan, ia tak ingin masyarakat terjebak dalam pesimisme dan tak mampu memanfaatkan momentum yang akan datang. Namun beberapa pakar juga sempat memprediksi kapan berakhirnya corona: Berakhir 29 Mei 2020 Profesor UGM memprediksi pandemi corona akan berakhir pada 29 Mei. Pakar Statistika dan alumni MIPA Universita Gadjah Mada (UGM) Prof.Dr.rer.nat Dedi Rosadi,S.Si., M.Sc mengatakan, "Dari hasil analisis pandemi Covid-19 akan berakhir pada 29 Mei 2020 dengan minimum total penderita positif sekitar 6.174 kasus. Dengan intervensi pemerintah yang berhasil dengan baik , total penderita Corona positif minimal di sekitar 6.200 di akhir Pandemi pada akhir Mei 2020." Pemodelan matematika ini dilakukan Dedi bersama Heribertus Joko, dan Dr.Fidelis I Diponegoro. Model yang dibuat dinamai model probabilistik yang berdasarkan data nyata atau probabilistik data-driven model (PDDM). Dengan model ini diperkirakan penambahan maksimum total penderita virus Corona setiap harinya di sekitar minggu kedua April 2020 yaitu berkisar antara 7-11 April 2020. "Penambahan lebih kurang 740 sampai 800 pasien per 4 hari dan diperkirakan akan terus menurun setelahnya," jelas dosen FMIPA ini. Berakhir 10 Juni 2020 Ilmuwan matematika Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo memprediksi puncak infeksi virus corona jenis baru (Covis-19) terjadi pada pertengahan Mei 2020. Namun akhir dari pandemi ini tergantung dari kebijakan yang diambil oleh pemerinah. Sutanto Sastraredja, dosen Program Studi Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan (FMIPA) UNS, memaparkan secara matematis dinamika populasi COVID-19 dengan model SIQR. Penjelasan model ini adalah Susceptible (S) digambarkan sebagai orang yang sehat yang rentan terinfeksi, Infected (I) sebagai individu yang terinfeksi, Quarantine (Q) sebagai proses karantina, dan Recovery (R) adalah orang yang telah sembuh dari COVID-19. Data-data diambil mulai 2 Maret 2020 saat pertama kali pemerintah mengumumkan secara resmi terdapat dua orang yang terinfeksi virus Corona (https://www.detik.com/tag/pandemi-corona) . "Saya ambil data sampai 22 Maret," ujar Sutanto saat dihubungi detikcom beberapa waktu lalu. Kecepatan orang sehat jadi terinfeksi, menurut Sutanto, dipengaruhi faktor laju kontak. Laju kontak semakin besar jika orang sering bertemu dan berkumpul. "Kondisi ini akan membuat banyak yang berpindah status dari S jadi I atau terinfeksi," ujarnya. Orang yang terinfeksi ini akan ada yang meninggal atau sembuh. Namun orang yang terinfeksi ini bisa melakukan karantina total atau Q. Besarnya orang yang masuk dalam karantina tergantung lagi pada faktor laju karantina. "Faktor laju karantina ini tergantung kemampuan negara dan masyarakat," ujar Sutanto. Model SIQR ini kemudian dianalisis lagi menggunakan metode numerik Runge-Kutta Orde 4 sehingga menghasilkan sebuah grafik. Kesimpulannya, jika tidak ada perubahan dalam penanganan, diperkirakan puncak infeksi terjadi pada pertengahan Mei 2020. Saat itu, menurut perhitungan Sutanto, terdapat 2,5 persen dari populasi yang berisiko dari Indonesia akan terinfeksi virus Corona. Setelah itu mulai akan ada penurunan. Sehingga ia memprediksi sampai tanggal 10 Juni 2020. Namun hal ini tergantung dari keputusan yang diambil oleh pemerintah. Berita terbaru, Jokowi mengatakan prediksi corona berakhir di akhir tahun. Tentunya yang menjadi fokus utama setelah virus corona berakhir adalah sektor pariwisata kembali banyak peminatnya. Sehingga Jokowi meminta ada langkah mitigasi di sektor pariwisata. Dia berharap program-program perlindungan kerja di bidang pariwisata tepat sasaran. "Langkah langkah mitigasi secepat-cepatnya diajukan. Yang pertama, program perlindungan sosial pekerja yang bekerja di sektor pariwisata betul betul dipastikan ada dan sampai pada sasaran," pungkas Jokowi.




KOMPAS.com - Pandemi virus corona SARS-CoV-2 penyebab penyakit Covid-19 masih belum berakhir. Bahkan di sejumlah negara seperti Singapura, Indonesia, hingga Amerika Serikat terjadi penambahan kasus yang signifikan.

Secara global, virus ini telah menginfeksi setidaknya 2.332.471 orang, dengan 600.006 orang dinyatakan telah sembuh.

Virus corona yang disebut pertama kali diidentifikasi di Wuhan, China tersebut telah menewaskan 160.784 orang.

Baca juga: Capai 1 Juta Kasus, Bagaimana Virus Corona Menyebar ke Seluruh Dunia?

Melansir sciencemag , Jumat (17/4/2020), seorang dokter paru dan perawatan kritis di Fakultas Kedokteran Universitas Tulane, Joshua Denson mengamati dua pasien mengalami kejang, banyak pasien dengan gagal pernapasan dan lainnya mengalami gangguan ginjal.

Beberapa hari sebelumnya, tim yang bertugas di ruang ICU mencoba menyadarkan kembali seorang wanita muda yang hatinya telah berhenti bekerja, namun usaha tersebut gagal.

Saat jumlah kasus positif Covid-29 di seluruh dunia melebihi 2 juta dan banyaknya kasus kematian melebihi 150.000, dokter dan ahli patologi berjuang untuk memahami kerusakan pada tubuh yang ditimbulkan oleh virus corona.

Para dokter dan ahli tersebut menyadari bahwa meskipun paru-paru merupakan titik nol, namun jangkauannya dapat meluas ke banyak organ termasuk jantung, pembuluh darah, ginjal, usus, dan otak.

"(Penyakit) dapat menyerang hampir semua hal di tubuh dengan konsekuensi yang menghancurkan," ujar ahli jantung di Universitas Yale dan Rumah Sakit Yale-New Haven, Harlan Krumholz, yang memimpin berbagai upaya untuk mengumpulkan data klinis mengenai Covid-19.

Baca juga: Saat Covid-19 Jadi Penyebab Kematian Utama di AS Kalahkan Jantung...

Stocktrek Images/Getty Images Ilustrasi Virus Corona

Memahami amukan virus corona, dapat membantu para dokter mengobati sebagian kecil orang yang terinfeksi yang menjadi sangat sakit dan terkadang sakit secara misterius.

"Mengambil pendekatan sistem mungkin bermanfaat ketika kita mulai berpikir tentang terapi," tutur Nilam Mangalmurti, seorang intensivator paru di Rumah Sakit Universitas Pennsylvania (HUP).

Virus corona menyerang sel-sel di sekitar tubuh, terutama pada sekitar 5 persen pasien yang menjadi sakit kritis. Gambaran jelas masih sulit dipahami karena virus bertindak seperti tak ada mikroba yang pernah dilihat manusia.

Tanpa studi terkontrol prospektif yang lebih besar yang baru saja diluncurkan, para ilmuwan harus menarik informasi dari studi kecil dan laporan kasus yang ada.

"Kita tetap berpikiran terbuka ketika fenomena ini berlanjut," ujar seorang dokter transplantasi hati yang telah merawat pasien Covid-19 di Rush University Medical Center Nancy Reau.

Baca juga: Segala Hal yang Perlu Diketahui tentang Vaksin Virus Corona

AFP/OZAN KOSE Petugas medis mengenakan pakaian pelindung mengawal perempuan yang diduga terinfeksi virus corona di Istanbul, Turki, pada 12 April 2020.

Saat orang terinfeksi mengeluarkan droplet atau tetesan yang sarat virus dan dihirup orang lain, virus corona akan memasuki hidung dan tenggorokan.

Pada lapisan hidung, kaya akan reseptor permukaan sel yang disebut angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2).

Keberadaan ACE2 di seluruh tubuh, biasanya membantu mengatur tekanan darah dan menandai jaringan yang rentan terhadap infeksi, karena virus mengharuskan reseptor tersebut memasuki sel.

Begitu di dalam, virus membajak mesin sel dan membuat banyak salinan dari dirinya sendiri yang kemudian menyerang sel-sel baru.

Ketika virus berlipat ganda, orang yang terinfeksi dapat mengurangi jumlah tersebut, terutama selama minggu pertama atau lebih.

Gejala mungkin tidak muncul pada saat ini atau korban baru virus corona dapat mengalami demam, batuk kering, sakit tenggorokan, kehilangan bau dan rasa atau sakit kepala.

Baca juga: Mengapa Obat untuk Virus Corona Tak Juga Ditemukan?

ANTARA FOTO/REUTERS/ROGAN WARD Staf supermarket mengeluarkan bungkusan tisu toilet dan barang penting lainnya setelah pembeli mengosongkan rak saat pemerintah mengumumkan langkah untuk membatasi infeksi virus corona (COVID-19) di Hillcrest, Afrika Selatan, Senin (16/3/2020). Di tengah kepanikan wabah virus corona, selain kebutuhan pokok, tisu toilet menjadi salah satu barang yang paling diburu di banyak negara.

Jika sistem kekebalan tidak mengalahkan SARS-CoV-2 selama fase awal, virus kemudian berbaris ke tenggorokan untuk menyerang paru-paru, di mana kondisi ini dapat mematikan.

Cabang yang lebih tipis, jauh dari pohon pernapasan paru-paru berakhir di kantung udara kecil yang disebut alveoli, masing-masing dilapisi oleh satu lapisan sel yang juga kaya akan reseptor ACE2.

Biasanya, oksigen melintasi alveoli ke kapiler, pembuluh darah kecil yang terletak di samping kantung udara, kemudian oksigen dibawa ke seluruh tubuh. Namun, saat sistem kekebalan tubuh berperang, ini akan menganggu transfer oksigen.

Sel-sel darah putih melepaskan molekul-molekul inflamasi yang disebut kemokin, yang pada gilirannya memanggil lebih banyak sel-sel kekebalan yang menargetkan dan membunuh sel-sel yang terinfeksi virus, meninggalkan semur cairan dan sel-sel mati seperti nanah.

Ini merupakan patologi yang mendasari pneunomia, dengan gejala batuk, demam, pernapasan yang cepat dan dangkal.

Beberapa pasien Covid-19 pulih, kadang-kadang tanpa dukungan lebih dari oksigen yang dihirup melalui cabang hidung.

Namun, yang lain seringkali memburuk tiba-tiba, mengembangkan suatu kondisi yang disebut sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS).

Baca juga: Viral Pesan dan Foto Kondisi Paru-paru Anak 7 Tahun Penuh Cairan Diduga Covid-19

Facebook Moh Ramadhani Soeroso Tangkapan layar kondisi paru-paru milik seorang pasien anak berusia 7 tahun yang diduga positif terinfeksi virus corona. Perbandingan kedua foto paru kurang dari 24 jam infeksi semakin meluas telah terjadi pneumonia bilateral.

Kadar oksigen dalam darah pasien tersebut merosot dan membuat mereka berjuang lebih keras untuk bernapas.

Pada rontgen dan pemindaian tomografi terkomputerisasi, paru-parunya penuh dengan keruhan putih di mana seharusnya ruang hitam berisi udara.

Umumnya, pasien-pasien ini berakhir dengan ventilator dan banyak yang meninggal dunia.

Hasil otopsi menunjukkan, alveoli menjadi penuh dengan cairan, sel darah putih, lendir, dan detritus sel paru yang hancur.

Dalam kasus yang serius, SARS-CoV-2 di paru-paru dan dapat menyebabkan kerusakan parah di sana. Tetapi, virus atau respons tubuh terhadapnya, dapat melukai banyak organ lain.

Beberapa dokter mencurigai kekuatan pendorong pasien yang sakit parah merupakan reaksi berlebihan dari sistem kekebalan tubuh yang dikenal sebagai badai sitokin yang diketahui memicu infeksi virus lainnya.

Sitokin merupakan molekul pemberi sinyal kimia yang memandu respons imun yang sehat; tetapi dalam badai sitokin, kadar sitokin tertentu melambung jauh melebihi apa yang dibutuhkan, dan sel kekebalan mulai menyerang jaringan yang sehat.

Pembuluh darah bocor, tekanan darah turun, membentuk gumpalan, dan kegagalan organ katastropik dapat terjadi.

Baca juga: Simak, Ini 10 Cara Pencegahan agar Terhindar dari Virus Corona

Beberapa penelitian telah menunjukkan, peningkatan kadar sitokin yang merangsang peradangan ini terdapat dalam darah pasien Covid-19.

“Morbiditas dan mortalitas sebenarnya dari penyakit ini mungkin didorong oleh respons inflamasi yang tidak proporsional terhadap virus ini,” kata Jamie Garfield, seorang ahli paru yang merawat pasien Covid-19 di Rumah Sakit Temple University.

"Tampaknya ada langkah cepat untuk mengaitkan Covid-19 dengan kondisi hiperinflamasi ini. Saya belum benar-benar melihat data yang meyakinkan bahwa itulah yang terjadi," kata Joseph Levitt, seorang dokter perawatan kritis paru di Fakultas Kedokteran Universitas Stanford.

Ia juga khawatir bahwa upaya untuk meredam respons sitokin bisa menjadi bumerang. Beberapa obat menargetkan sitokin spesifik dalam uji klinis pada pasien Covid-19.

Tetapi, Levitt khawatir obat-obatan itu dapat menekan respons imun yang dibutuhkan tubuh untuk melawan virus.

“Ada risiko nyata bahwa kita memungkinkan replikasi virus lebih banyak,” kata Levitt.

Sementara itu, para ilmuwan lain memusatkan perhatian pada sistem organ yang mendorong kemunduran cepat beberapa pasien, seperti jantung dan pembuluh darah.

Baca juga: Berikut Cara Membuat Hand Sanitizer Sendiri dengan Lima Bahan Sederhana

Ilustrasi hati, penyakit hepatitis Newsflash/Roberta Ferretti via Daily Mail Kisah manis terjadi di Italia, di mana sepasang suami istri lansia, Giancarlo dan Sandra, merayakan ulang tahun pernikahan ke-50 sambil berpegangan tangan setelah mereka terpapar Covid-19.

Seorang wanita berusia 53 tahun di Brescia, Italia dibawa ke ruang gawat darurat rumah sakit setempat dengan semua gejala klasik serangan jantung, termasuk tanda-tanda dalam elektrokardiogramnya dan penanda darah tingkat tinggi menunjukkan kerusakan otot jantung.

Tes lebih lanjut menunjukkan pembengkakan dan jaringan parut jantung dan ventrikel kiri, biasanya ruang pembangkit tenaga jantung, sangat lemah sehingga hanya bisa memompa sepertiga jumlah darah normal.

Namun, saat dokter menyuntikkan zat pewarna ke dalam arteri koroner, mencari penyumbatan yang menandakan serangan jantung, mereka tidak menemukannya.

Masih menjadi misteri bagaimana virus menyerang jantung dan pembuluh darah, tetapi beberapa data membuktikan bahwa kerusakan seperti ini biasa terjadi.

Sebuah makalah di JAMA Cardiology yang terbit pada 25 Maret lalu, mendokumentasikan kerusakan jantung pada hampir 20 persen pasien dari 416 yang dirawat di rumah sakit untuk Covid-19 di Wuhan, China.

Dalam penelitian lain di Wuhan, menunjukkan 44 persen dari 138 pasien. Gangguan tampaknya meluas ke darah itu sendiri.

Baca juga: Sebabkan Komplikasi Jantung, Penelitian Klorokuin di Brazil Dihentikan

Menurut jurnal di Thrombosis Research pada 10 April menyebutkan, di antara 184 pasien Covid-19 di ICU Belanda, 38 persen memiliki darah yang menggumpal tidak normal dan hampir sepertiga sudah memiliki gumpalan.

Gumpalan darah dapat pecah dan mendarat di paru-paru, menghalangi arteri vital, suatu kondisi yang dikenal sebagai emboli paru, yang dilaporkan telah membunuh pasien Covid-19.

Gumpalan dari arteri juga bisa masuk ke otak, menyebabkan stroke.

Banyak pasien dengan tingkat D-dimer yang tinggi, produk sampingan dari pembekuan darah, kata seorang ahli pengobatan kardiovaskular di Columbia University Medical Center, Behnood Bikdeli.

"Semakin kita melihat, semakin besar kemungkinan pembekuan darah adalah pemain utama dalam tingkat keparahan penyakit dan kematian akibat Covid-19," ujar Bikdeli.

Infeksi juga dapat menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Laporan muncul dari iskemia (keadaan kurangnya aliran darah) di jari tangan dan kaki, dapat menyebabkan bengkak hingga kematian jaringan.

Di paru-paru, penyempitan pembuluh darah mungkin membantu menjelaskan laporan anekdotal tentang fenomena membingungkan yang terlihat pada pneumonia yang disebabkan oleh Covid-19.

Beberapa pasien memiliki kadar oksigen darah sangat rendah dan belum terengah-engah.

Terdapat kemungkinan bahwa pada beberapa tahap penyakit, virus mengubah keseimbangan hormon yang membantu mengatur tekanan darah dan menyempitkan pembuluh darah ke paru-paru.

Jadi pengambilan oksigen terhambat oleh pembuluh darah yang menyempit, bukan oleh alveoli yang tersumbat.

Jika Covid-19 menargetkan pembuluh darah, ini juga dapat membantu menjelaskan mengapa pasien dengan kerusakan yang sudah ada pada pembuluh tersebut, misalnya dari diabetes dan tekanan darah tinggi, menghadapi risiko penyakit yang lebih tinggi.

Baca juga: Apa yang Terjadi pada Paru-paru Manusia Saat Terkena Virus Corona?

Data Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) terbaru pada pasien yang dirawat di rumah sakit di 14 negara bagian AS menemukan, sekitar sepertiga pasien memiliki penyakit paru-paru kronis, hampir sama banyak yang menderita diabetes, dan setengahnya memiliki tekanan darah tinggi.

Fakta bahwa tidak ada penderita asma atau pasien dengan penyakit pernapasan lainnya di ICU HUP menjadi salah satu hal yang mengejutkan mengejutkan.

Para ilmuwan sedang berjuang untuk memahami penyebab kerusakan kardiovaskular.

Virus ini dapat langsung menyerang selaput jantung dan pembuluh darah, seperti hidung dan alveoli, yang kaya akan reseptor ACE2.

Atau mungkin kekurangan oksigen karena kekacauan di paru-paru dan merusak pembuluh darah, atau badai sitokin dapat merusak jantung seperti halnya organ-organ lain.

"Kami masih di awal. Kami benar-benar tidak mengerti siapa yang rentan, mengapa beberapa orang sangat terpengaruhi, mengapa ia muncul begitu cepat dan mengapa begitu sulit (bagi beberapa) untuk pulih," kata Krumholz.

Baca juga: 8 Makanan yang Baik untuk Penderita Diabetes

KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG Pekerja memperagakan alat peraga manusia dan ventilator darurat di Industri UMKM Agusta Dryer, Cidodol, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Selasa (14/4/2020). UMKM Agusta Dryer membuat Ventilator hasil belajar secara online dari Forum O2 yang berpusat di Kota Barcelona, Spanyol. Pembuatan ventilator darurat ini berharap dapat diuji coba oleh Kementerian Kesehatan RI agar dapat di produksi untuk tujuan kemanusiaan bagi Pasien COVID-19.

Ketakutan di seluruh dunia akan kekurangan ventilator karena gagal paru-paru telah mendapatkan banyak perhatian.

"Jika orang-orang ini tidak mati karena gagal paru-paru, mereka mati karena gagal ginjal," kata ahli saraf Jennifer Frontera dari Langone Medical Center, New York University, yang telah merawat ribuan pasien Covid-19.

Rumah sakitnya sedang mengembangkan protokol dialisis dengan mesin yang berbeda untuk mendukung pasien tambahan.

Menurut sebuah laporan, 27 persen dari 85 pasien yang dirawat di rumah sakit di Wuhan mengalami gagal ginjal.

Yang lainnya melaporkan bahwa 59 persen dari hampir 200 pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit sekitar Wuhan mempunyai protein dan darah dalam urin mereka. Ini menunjukkan adanya kerusakan ginjal.

Baca juga: 10 Daftar Makanan yang Baik untuk Ginjal

Pasien yang mengalami cedera ginjal akut, kemungkinan meninggal lima kali lebih besar dibandingkan pasien Covid-19 tanpa gejala tersebut.

“Paru-paru adalah zona pertempuran utama. Tetapi sebagian kecil dari virus itu mungkin menyerang ginjal. Dan seperti di medan perang yang sebenarnya, jika dua tempat diserang pada saat yang sama, setiap tempat menjadi lebih buruk, ”kata Hongbo Jia, seorang ahli saraf di Institut Teknik Biomedis dan Teknologi Biomedis, Akademi Ilmu Pengetahuan China.

Dalam sebuh studi, partikel virus diidentifikasi dalam mikrograf elektron ginjal menunjukkan serangan virus langsung.

Tetapi, cedera ginjal mungkin juga merupakan kerusakan tambahan.

Ventilator meningkatkan risiko kerusakan ginjal, seperti halnya obat antivirus termasuk remdesivir, yang sedang digunakan secara eksperimental pada pasien Covid-19.

Badai sitokin juga dapat secara dramatis mengurangi aliran darah ke ginjal, menyebabkan kerusakan yang seringkali berujung fatal.

Sedangkan, penyakit yang sudah ada sebelumnya seperti diabetes dapat meningkatkan risiko gagal ginjal.

"Ada sejumlah orang yang sudah memiliki beberapa penyakit ginjal kronis yang berisiko lebih tinggi untuk cedera ginjal akut," kata Suzanne Watnick, kepala petugas medis di Northwest Kidney Center.

Baca juga: Mengenal Penyakit Ginjal, dari Penyebab hingga Pencegahannya...

Kumpulan gejala lain yang mencolok pada pasien Covid-19 berpusat pada otak dan sistem saraf pusat.

Beberapa orang dengan Covid-19 dapat kehilangan kesadaran dan yang lainnya mengalami stroke.

Banyak yang melaporkan kehilangan indra penciuman mereka.

Masih menjadi pertanyaan apakah dalam beberapa kasus, infeksi menekan refleks batang otak yang merasakan kelaparan oksigen.

Ini merupakan penjelasan lain untuk pengamatan anekdotal bahwa beberapa pasien tidak terengah-engah, meskipun kadar oksigen darahnya sangat rendah.

Sebuah studi kasus dari sebuh tim di Jepang dalam International Journal of Infectious Diseases pada 3 April, melaporkan jejak virus corona baru dalam cairan serebrospinal dari pasien Covid-19 yang mengembangkan meningitis dan ensefalitis, menunjukkan bahwa ini juga dapat menembus sistem syaraf pusat.

Namun, faktor-faktor lain dapat merusak otak, seperti badai sitokin yang dapat menyebabkan pembengkakan otak dan kecenderungan darah yang membeku dapat memicu stroke.

Baca juga: Jadi Pandemi Global, Kenali 3 Gejala Awal Covid-19

Tantangan saat ini, beralih dari dugaan menjadi percaya, pada saat tenaga medis fokus pada menyelamatkan nyawa dan bahkan penilaian neurologis seperti menginduksi refleks muntah atau mengangkut pasien untuk pemindaian otak berisiko menyebarkan virus.

Bulan lalu, Sherry Chou, seorang ahli saraf di University of Pittsburgh Medical Center, mulai mengatur konsorsium seluruh dunia yang sekarang mencakup 50 pusat untuk mengambil data neurologis dari perawatan yang sudah diterima pasien.

Tujuan awalnya sederhana yaitu mengidentifikasi prevalensi komplikasi neurologis pada pasien yang dirawat di rumah sakit dan mencatat bagaimana hal tersebut terjadi.

Untuk jangka panjang, Chou dan rekan-rekannya berharap untuk mengumpulkan scan, tes laboratorium, dan data lainnya untuk lebih memahami dampak virus pada sistem saraf, termasuk otak.

Chou berspekulasi tentang rute invasi yang mungkin, yaitu melalui hidung, lalu ke atas dan melalui bohlam penciuman, menjelaskan laporan hilangnya penciuman yang menghubungkan ke otak.

"Itu teori yang terdengar bagus. Kami harus benar-benar membuktikannya," katanya.

Baca juga: Kenali Tanda dan Gejala Infeksi Virus Corona pada Anak-anak

Shutterstock Ilustrasi virus corona, penularan virus corona di transportasi umum

Menurut sebuah makalah di The American Journal of Gastroenterology (AJG), pada awal Maret terdapat seorang wanita Michigan berusia 71 tahun kembali dari pelayaran Sungai Nil dengan diare berdarah, muntah, dan sakit perut.

Awalnya dokter mencurigai dia menderita sakit perut biasa, seperti salmonella. Tetapi setelah dia menderita batuk, dokter mengambil usap hidung dan menemukan hasil positif untuk virus corona baru.

Sampel tinja menunjukkan hasil positif untuk RNA virus, serta tanda-tanda cedera usus yang terlihat dalam endoskopi, menunjuk ke infeksi gastrointestinal (GI) dengan corona virus.

Kasus ini menambah bukti yang menunjukkan bahwa corona virus baru, dapat menginfeksi lapisan saluran pencernaan bagian bawah, di mana reseptor ACE2 berlimpah.

Viral RNA telah ditemukan pada sebanyak 53 persen dari sampel tinja pasien dan dalam sebuah makalah yang diterbitkan di Gastroenterology, sebuah tim Cina melaporkan menemukan protein shell virus dalam sel lambung, duodenum, dan dubur dalam biopsi dari pasien Covid-19.

"Saya pikir itu mungkin meniru di saluran pencernaan," kata Mary Estes, seorang ahli virus di Baylor College of Medicine.

Brennan Spiegel dari Cedars-Sinai Medical Center di Los Angeles, co-editor-in-chief AJG mengatakan, laporan terbaru menunjukkan bahwa hingga setengah dari pasien, rata-rata sekitar 20 persen di seluruh studi, mengalami diare.

Gejala GI tidak ada dalam daftar gejala Covid-19 yang dikeluarkan CDC, yang dapat menyebabkan beberapa kasus Covid-19 tidak terdeteksi.

Kehadiran virus dalam saluran GI meningkatkan kemungkinan meresahkan yang bisa ditularkan melalui feses. Namun belum jelas apakah feses mengandung virus dapat infeksi langsung, bukan hanya RNA dan protein.

Sehingga saat ini belum ada bukti yang menunjukkan hal tersebut.

CDC mengatakan, berdasarkan pengalaman dari SARS dan MERS, risiko penularan melalui tinja mungkin rendah.

Usus bukan akhir dari perjalanan penyakit melalui tubuh.

Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mempertajam gambaran jangkauan kerusakan oleh virus ini.

Baca juga: Kabar Baik, China Setujui 2 Vaksin Covid-19 Diujicobakan ke Manusia




Sebelumnya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah menuntaskan renovasi tiga tower tambahan di Wisma Atlet Kemayoran Jakarta yang kini dijadikan sebagai Rumah Sakit (RS) Darurat Covid-19, yakni tower 2, 4, dan 5.

Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR Khalawi Abdul Hamid mengatakan, ketiga tower tersebut bahkan telah selesai dan difungsikan lebih cepat dari target semula, yakni pada Sabtu 18 April 2020.

"Tower 2, 4, dan 5 sudah digunakan sejak (Selasa) tanggal 14 April 2020," kata Khalawi kepada Liputan6.com, Minggu (19/4/2020).

Khalawi menerangkan, tower 2 di Wisma Atlet kini telah difungsikan sebagai ruang untuk dokter dan paramedis. Sementara tower 4 dan 5 dijadikan ruang isolasi serta karantina pasien positif virus corona.

Saat ini, ia melanjutkan, Kementerian PUPR tengah merenovasi tower 6 Wisma Atlet untuk menempatkan berbagai fungsi tambahan sebagai RS Darurat Covid-19.

Adapun tower 6 ini nantinya akan memiliki fungsi yang sama dengan tower 7, yang menyediakan ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD), intensive Care Unit (ICU) dan High Care Unit (HCU).

"Sekarang masih disiapkan tower 6 yang di-upgrade menjadi RS darurat seperti tower 7 yaitu lantai 1 untuk IGD, lantai 2 untuk ICU dan HCU, dan lantai 3 untuk pemulihan/refreshing. Sedangkn lantai 4 -24 untuk kamar isolasi dan karantina pasien," jelasnya.

"Insya Allah akhir bulan April 2020 sudah bisa dipindahkan operasional RS Darurat di tower 7 (yang saat ini RS Darurat) dipindahkan ke RS darurat tower 6 (dengan standar negative pressure)," tandas Khalawi.




TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Muncul analisa baru tentang virus corona . Kali ini datang dari Dewan Pakar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Abidinsyah Siregar .

Abidinsyah Siregar mengungkapkan, virus corona yang menular ke tubuh individu berpotensi bisa mati dengan sendirinya.

Menurutnya, hal ini bisa terjadi jika sudah melalui 14 hari masa inkubasi virus yang menyebabkan Covid-19 itu.

Namun sistem kekebalan imun individu yang telah tertular virus corona dipertaruhkan selama masa inkubasi 14 hari.

Abindinsyah kemudian menjelaskan proses yang terjadi saat tubuh terinfeksi virus corona .

Hal paling penting yang perlu diketahui, perilaku virus adalah mempertahankan kehidupan tergantung inangnya.

Baca: Bahan Alami Curcumin Berkhasiat Tingkatkan Imunitas Tubuh, Tapi Bukan Obat untuk Covid-19

"Ada yang berinang di nyamuk, ada yang di burung, sekarang virus corona kan semestinya berinang di hewan yang sebelumnya menjadi inang, " ujar Abidinsyah dalam diskusi bertajuk "Ikhtiar Melawan Corona" yang digelar secara daring pada Sabtu (18/4/2020).

Dalam kondisi saat ini, virus corona ingin bertahan hidup di tubuh manusia. Kemudian, kata dia, yang disasar adalah paru-paru manusia.

Baca: Kabar Baik! PUFF, Nucleus Farma dan Prof Nidom Foundation Kembangkan Obat Covid-19

"Setelah menginfeksi, dengan cepat virus corona menyerang paru-paru sehingga ruang dalam paru-paru dikuasai. Hal ini menyebabkan individu gagal napas," ucap Abidinsyah.

Proses ini terjadi sedemikian rupa. Selain itu, saat sudah menginfeksi, terjadi pertarungan antigen dengan antibodi di dalam tubuh.




KOMPAS.com - Prediksi periode puncak pandemi virus corona di Indonesia disebutkan akan dimulai pada awal Mei dan berakhir sekitar awal Juni.

Keterangan ini disampaikan oleh Ketua Tim Pakar Gugus Percepatan Penanganan Covid-19 di Indonesia Wiku Adisasmito dalam konferensi pers pada 16 April lalu melalui akun Youtube Sekretariat Presiden.

Prediksi ini dikumpulkan dari penelitian yang dilakukan oleh berbagai pihak.

Baca juga: Karena Virus Corona, Ratu Elizabeth II Batalkan Pesta Ulang Tahun

"Kami telah mereview dan mengombinasikan seluruh prediksi, puncak pandemi akan dimulai pada awal Mei dan berakhir sekitar awal Juni," tutur Wiku.

Adapun jumlah kumulatif kasus pada awal periode puncak yakni Mei diperkirakan sekitar 95.000 kasus. Sedangkan pada Juni dan Juli, kasus kumulatif yang dikonfirmasi diperkirakan berjumlah sekitar 106.000 kasus.

"Namun, angka proyeksi tersebut bukan angka rigid. Kami melakukan upaya kolektif untuk memastikan prediksi tetaplah prediksi dan angka nyata akan menjadi lebih rendah dari prediksi tersebut," tambah Wiku.

Baca juga: Simak, Ini Daftar Barang Impor yang Bebas Pajak karena Wabah Corona

Sebelumnya, melansir  Kompas.com  (3/4/2020), Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo menyampaikan bahwa berdasarkan data dari Badan Intelijen Negar (BIN), puncak penyebaran virus corona di Indonesia akan terjadi pada bulan Juli 2020.

Pada bulan Juli 2020, diperkirakan kasus Covid-19 di tanah air mencapai 106.287 kasus.

Dalam data tersebut, dituliskan bahwa kasus Covid-19 akan mengalami peningkatan di akhir Maret sebanyak 1.577 kasus, akhir April sebanyak 27.307 kasus, lalu 95.451 kasus di akhir Mei, dan 105.765 kasus di akhir Juni.

Baca juga: Ini Alasan Guru SD Avan Datangi Satu Per Satu Muridnya di Tengah Wabah Corona

Selain BIN, beberapa pihak juga telah melakukan proyeksi puncak pandemi wabah virus corona di Indonesia ini.

Di antaranya adalah Pusat Permodelan Matematikan dan Simulasi (P2MS) Institut Teknologi Bandung (ITB), Ilmuwan Pengenalan Pola dari Pemda DIY, Tim Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Ilmuwan Matematika dair UNS hingga gabungan tim dari UGM.

Melansir  Kompas.com  (1/4/2020), mayoritas dari penelitian-penelitian tersebut bersumber dari data yang sama, yaitu data penambahan jumlah kasus penyebaran Covid-19 yang diperbarui harian oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Baca juga: 2 Dokter di Yogyakarta Positif Terjangkit Virus Corona

Berdasarkan kurva eksponensial yang diperoleh dari penelitian-penelitian tersebut, dapat disimpulkan hal-hal berikut:

Periode titik puncak mayoritas penelitian memprediksi terjadi sekitar bulan Mei 2020. Pada periode ini, diprediksi pertambahan jumlah kasus harian sudah mulai melambat.

Periode kritis diprediksi terjadi pada minggu kedua bulan April hingga awal Mei 2020 di mana tingkat pertambahan harian akan meningkat cukup tajam

Periode pemulihan diprediksi paling cepat pada 110 hari hingga 150 hari

Baca juga: Jumlah Pasien Positif Corona Bertambah di Yogyakarta

(Sumber: Kompas.com/Haryanti Puspa Sari, Vina Fadhrotul Mukaromah |Editor: Diamanty Meiliana, Virdita Rizki Ratriani)




Suara.com - Guru Besar Universitas Airlangga (Unair) Prof Dr Chairul Anwar Nidom mengatakan kucing merupakan hewan yang paling rentan terinfeksi virus corona COVID-19.

Kucing merupakan hewan yang paling peka terinfeksi infeksi COVID-19, sebab dari penelitian yang telah dilakukan, penularan antar kucing ternyata melalui droplet yang masuk ke dalam saluran pernafasan.

RNA virus dari droplet kucing yang tertular bisa diuji melalui bilasan hidung (nasal turbinate), langit-langit mulut (soft palates), organ tonsil, trakhea, dan juga usus kucing (tidak dominan).

Antibodi COVID-19, kata dia, juga terdeteksi pada kucing yang sengaja diinokulasi dan kucing yang tertular melalui droplet.

"Seperti kasus harimau bernama Nadia dari Kebun Binatang di The Bronx Zoo New York, Amerika Serikat, dan beberapa kucing terinfeksi virus corona," ujar Prof Nidom yang juga Ketua Tim Riset Corona dan Formulasi Vaksin dari Professor Nidom Foundation (PNF) saat dikonfirmasi di Surabaya, Minggu (19/4/2020).

"Kucing, selama ini dapat terinfeksi oleh Feline dan Canine coronavirus (FCoV dan CCoV) melalui reseptor aminopeptidaseN (APN), yang merupakan reseptor Alphacoronavirus, dan juga bisa terinfeksi oleh human coronavirus (HCoV-229E), tanpa menunjukkan gejala klinis," ucapnya.

Menurut dia, munculnya virus FCoV-II pada kucing menunjukkan adanya ko-infeksi antara FCoV-1 dan CCoV-II kemudian melakukan rekombinasi dan menghasilkan strain baru yaitu FCoV-II.

Selain itu, FCoV- 1/CCoV-1 dan FCoV-II/CCoV-II punya kesamaan spike (protein S) yang bisa mengacaukan reseptor spesifik dari setiap strain virus.

"Fenomena kucing sebagai hewan yang bisa tertular COVID-19 baik di alam maupun di laboratorium, memunculkan kekhawatiran tersendiri. Mengingat selama ini hanya hewan liar yang diduga sebagai sumber atau perantara COVID-19," katanya.

Meski begitu, Prof Nidom mengatakan sampai saat ini belum ada bukti bahwa hewan yang terinfeksi COVID-19 dari manusia berperan dalam penyebaran virus ini.

"Wabah COVID-19 yang terjadi saat ini lebih disebabkan oleh kontak dari orang ke orang," tuturnya.

Pola interaksi yang kompleks dalam konsep human-animal-environment interface, menjadi dasar yang melatarbelakangi mitigasi terhadap wabah penyakit infeksi, terutama yang bersifat zoonosis seperti COVID-19.

"Namun kedekatan hubungan antara manusia dengan hewan peliharaan dalam sebuah ekosistem menjadi kunci dari mata rantai penularan, pemutusan rantai sampai muncul kembali (relapse)," kata Nidom.

Fase relapse menjadi bagian yang tak kalah penting untuk diwaspadai, lalu beberapa hewan liar dan domestik telah terbukti menjadi sumber utama penularan serta reservoir infeksi pada beberapa kasus wabah zoonosis.

"Hewan memiliki kemampuan untuk menjadi 'rumah tempat tinggal' yang nyaman bagi beberapa virus infeksius," katanya.

Selain itu, lanjut Nidom, di dalam tubuh hewan, virus akan bersembunyi, berdamai dengan sistem imun host untuk mencapai suatu fase homeostasis, atau bahkan membangun kekuatan baru untuk kemudian siap dilepas ke lingkungan menjadi virus baru yang lebih ganas, bagai teori Paradoks Peto pada kejadian kanker.

"Menilik fakta baru peran kucing dan hewan peliharaan lain, baik sebagai reservoir atau penyebar virus COVID-19, maka perlu lebih waspada melalui langkah-langkah strategis," katanya.

Langkah pertama adalah surveilans aktif terhadap kucing dan anjing peliharaan atau kucing jalanan (stray cats) dan hewan lainnya terhadap COVID-19.

Selanjutnya, pemeriksaan rutin kesehatan kucing, anjing dan hewan peliharaan lain agar bisa dipastikan tidak membawa virus jenis baru penyebab COVID-19.

"Hal ini penting untuk mitigasi wabah COVID-19 dan pemutusan penyebaran virus dalam ruang lingkup yang lebih kecil serta sebagai early warning system atau sistem peringatan dini terhadap potensi wabah penyakit infeksi," tuturnya. (Antara)




Suara.com - Seorang ahli biologi untuk Survei Antartika Inggris (BAS) telah mengungkapkan tentang kehidupan di satu-satunya benua bebas Covid-19 di Bumi.

Ahli biologi kelautan Nadescha Zwerschke telah menghabiskan 16 bulan di Stasiun Penelitian Rothera untuk BAS, mempelajari dampak perubahan iklim pada sistem makanan laut.

Antartika saat ini merupakan satu-satunya benua yang lolos dari penyebaran virus corona yang mematikan dan skrining telah dilakukan sejak kedatangannya pada Februari lalu.

Beberapa negara memiliki stasiun penelitian di daratan luas yang terikat es yang akan memasuki bulan-bulan musim dingin yang ekstrem.

Rothera terletak di Semenanjung Antartika lebih dari 800 mil dari ujung Amerika Selatan dan kira-kira jaraknya sama dengan London seperti Perth, Australia.

Ilustrasi virus corona. [Pixabay]/emmagrau] Nadescha (34), mengatakan dia dan rekan-rekannya di pangkalan itu berkomunikasi tentang apa yang terjadi di tengah pandemi Covid-19, dari tempat mereka terisolasi.

"Peristiwa dunia tampak sangat nyata ketika Anda begitu jauh. Sebagian besar dari kami telah melakukan kontak sehari-hari dengan teman dan keluarga, dan BAS memberi kami informasi tentang apa yang terjadi. Kami juga memiliki akses ke internet dan media sosial, dan ada surat kabar harian dengan berita utama. Saat ini, tidak ada virus corona di Antartika, dan BAS memiliki sejumlah langkah pencegahan untuk menjaga Antartika dan stasiun-stasiunnya bebas dari virus," ujarnya dilansir laman Mirror , Senin (20/4/2020).

Skrining dimulai pada awal Februari, dia menambahkan bahwa dengan orang-orang yang datang ke Antartika diskrining dari gejala virus corona.

"Jika mereka menunjukkan gejala, mereka akan diminta untuk karantina selama 14 hari," terang Nadescha.

Dia mengatakan, penurunan global dalam CO2 yang disebabkan oleh respons kuncian terhadap virus dapat terlihat oleh para ilmuwan di masa depan yang mengukur inti es dari Antartika.

“Pengurangan CO2 dan gas rumah kaca lainnya terlalu baru dan terlalu singkat untuk menunjukkan dampak abadi pada kondisi iklim di Antartika. Tapi mungkin dalam 100 tahun para ilmuwan akan mengambil inti es di Antartika dan menemukan tingkat CO2 yang sangat rendah dalam es yang terbentuk selama tahun ini," jelasnya.

Pemandangan di Antartika. [Shutterstock] Nadescha mengatakan, bekerja di Antartika berarti dia dan rekan-rekannya harus beradaptasi jauh sebelum isolasi Covid-19.

“Isolasi di Antartika sedikit berbeda dengan isolasi saat ini di rumah. Meskipun kami terisolasi dari seluruh dunia, masih ada 23 orang di stasiun selama musim dingin dan saya cukup beruntung untuk menjadi bagian dari tim yang brilian, di mana semua orang bekerja dengan sangat baik dan menghabiskan banyak waktu bersama," ceritanya.

“Jadi jelas, ketika kami tidak bekerja, kami menemukan beberapa cara berbeda untuk menghabiskan waktu bersama, termasuk turnamen tenis meja untuk merayakan Wimbledon, dan kompetisi panah atas Skype dengan stasiun penelitian lainnya. Kami juga menyelenggarakan malam kasino dengan uang Monopoli yang menjadi cukup kompetitif," beber Nadescha.



Total comment

Author

fw

0   comments

Cancel Reply