Contact Form

 

Update Virus Corona di ASEAN: Singapura dan Indonesia Catatkan Kasus Tertinggi Halaman all


KOMPAS.com - Angka kasus infeksi virus corona di dunia masih terus bertambah.

Perkembangan kasus baru, angka pasien sembuh, dan angka kematian masih terus mengalami perubahan.

Secara umum, sebagian besar negara di dunia telah melaporkan adanya kasus virus corona di wilayahnya.

Berdasarkan data hingga Senin (20/04/2020) pagi, jumlah kasus Covid-19 di dunia adalah sebanyak 2.394.291 orang terinfeksi (2,39 juta).

Dari jumlah tersebut, 164.938 orang dilaporkan meninggal dunia, dan 611.880 pasien telah dinyatakan sembuh.

Adapun kasus terbanyak masih dicatatkan oleh Amerika Serikat dengan jumlah kasus lebih dari 700.000, disusul Spanyol, Italia, dan Perancis yang mengalami penurunan jumlah kasus baru dalam beberapa hari terakhir.

Baca juga: Update Virus Corona di ASEAN: Singapura dan Indonesia Catatkan Kasus Tertinggi

Berikut adalah perkembangan terbaru dari kasus-kasus virus corona di beberapa negara di dunia:

ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA Seorang petugas Pos Pemantauan virus Covid-19 memeriksa suhu seorang jurnalis di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso, Sunter, Jakarta Utara, Rabu (4/3/2020). Pos pemantauan tersebut dibuka untuk masyarakat yang ingin berkonsultasi apabila mengalami gejala terjangkit virus Covid-19. Pada Minggu (19/4/2020), Pemerintah Indonesia mengumumkan tambahan 327 kasus baru dan 47 kasus kematian di Indonesia.

Jadi, total kasus Covid-19 yang telah dikonfirmasi di Indonesia menjadi sebanyak 6.575 kasus. Sementara, angka kematian yang terjadi adalah sebanyak 582 kasus.

Jumlah pasien sembuh juga mengalami penambahan sebanyak 55 kasus baru pada Minggu (19/4/2020) sehingga angka total pasien sembuh menjadi 686 orang.




KOMPAS.com -  Perkembangan kondisi terkait pandemi virus corona masih terjadi. Dinamika penambahan jumlah kasus, kematian, maupun jumlah pasien sembuh terus berubah.

Hingga Minggu (19/4/2020) sore, jumlah kasus infeksi Covid-19 di dunia telah mencapai 2.341.066 (2,3 juta) kasus.

Dari jumlah tersebut, lebih dari 161.000 pasien meninggal dunia. Sementara itu, 599.979 pasien telah dinyatakan sembuh.

Virus ini hampir menjangkit seluruh negara di dunia, termasuk negara-negara anggota ASEAN.

Melansir  ASEAN Briefing,  Minggu (19/4/2020), berikut adalah perkembangan terbaru soal kondisi wabah virus corona di negara-negara ASEAN:

Baca juga: Pemerintah Tambah Reagen untuk Optimalkan Pemeriksaan Spesimen Covid-19

Data terbaru menunjukkan bahwa jumlah kasus infeksi Covid-19 di Brunei Darussalam adalah 137 kasus.

Hingga kini, kasus kematian yang dicatatkan adalah satu kasus.

Sementara, jumlah pasien sembuh sebanyak 113 orang.

Kamboja telah melaporkan 122 kasus infeksi Covid-19 yang terjadi di wilayahnya.

Dari jumlah tersebut, 105 pasien telah dinyatakan sembuh. Kamboja belum mencatatkan adanya kasus kematian yang terjadi akibat virus corona di negaranya.

Baca juga: Dampak Pandemi Corona, Harga Pasar Mbappe Merosot Rp 671 Miliar

Hingga Minggu (19/4/2020), ada 327 kasus baru Covid-19 yang diumumkan pemerintah Indonesia. Dengan adanya kasus baru ini, jumlah total infeksi Covid-19 di negara ini telah mencapai 6.575 kasus.

Jumlah tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara kedua di ASEAN yang memiliki kasus terbanyak virus corona setelah Singapura .

Hingga kini, ada 582 pasien yang telah meninggal. Sedangkan jumlah pasien sembuh adalah sebanyak 686.

Sejauh ini, Laos baru melaporkan 19 kasus virus corona yang terjadi di negaranya.

Dari kasus-kasus yang dilaporkan, 2 pasien telah dinyatakan sembuh. Sementara, Laos belum mengumumkan adanya pasien yang meninggal akibat infeksi Covid-19 ini.

Baca juga: 839 PNS Terdeteksi Covid-19, Ini Imbauan BKN

Malaysia melaporkan 5.389 kasus infeksi Covid-19 yang telah terjadi di negaranya. Angka tersebut merupakan akumulasi dari kasus yang telah dilaporkan sebelumnya dan 84 kasus baru yang diumumkan pada hari ini (19/4/2020).

Selain itu, ada satu kematian baru yang dilaporkan terjadi. Oleh karena itu, jumlah total pasien meninggal dunia adalah 89 orang.

Sedangkan jumlah pasien yang telah dinyatakan sembuh adalah sebanyak 3.197 orang.

Myanmar telah mencatatkan 107 kasus virus corona yang terjadi di wilayahnya.

Jumlah tersebut diperoleh setelah ada 9 kasus baru yang dikonfirmasi pada hari ini, Minggu (19/4/2020).

Sebanyak 5 orang telah dilaporkan meninggal dunia akibat infeksi Covid-19 ini. Sementara itu, jumlah pasien sembuh berjumlah 5 orang.

Baca juga: Ini Imbauan PBNU soal Ibadah Ramadhan di Tengah Pandemi Corona

Filipina menjadi salah satu negara dengan kasus Covid-19 terbanyak di antara negara-negara ASEAN lain setelah Singapura dan Indonesia.

Hari ini (19/4/2020), Filipina melaporkan adanya 172 kasus infeksi baru dan 12 kasus kematian baru yang terjadi di wilayahnya.

Jumlah total kasus virus corona di negara ini pun menjadi 6.259 kasus. Sedangkan jumlah kematian yang telah terjadi adalah 409 kasus.

Sementara itu, jumlah pasien yang telah dinyatakan sembuh adalah sebanyak 572 orang.

Hari ini, terdapat 596 kasus infeksi Covid-19 baru yang dilaporkan di Singapura. Di hari sebelumnya, Sabtu (18/4/2020), 942 kasus baru juga telah dilaporkan.

Jumlah kasus baru yang menunjukkan peningkatan tajam membuat Singapura menjadi negara dengan jumlah kasus virus corona terbanyak di antara negara-negara ASEAN lain.

Hingga Minggu (19/4/2020), jumlah total kasus virus corona di Singapura mencapai 6.588 kasus.

Dari jumlah tersebut, 11 orang meninggal dunia dan 740 pasien telah dinyatakan sembuh.

Baca juga: Mendadak Populer Disebut Sebagai Obat Corona, Apa Itu Daun Laban?

Thailand mencatatkan 32 kasus baru Covid-19 pada Minggu (19/4/2020). Oleh karena itu, jumlah total kasus virus corona di negara ini menjadi 2.765 kasus.

Sementara itu, terdapat  47 kasus kematian yang terjadi. Sedangkan 1.928 pasien telah dinyatakan sembuh.

Hingga kini, jumlah kasus virus corona yang telah dikonfirmasi di Thailand sebanyak 268 kasus.

Dari jumlah tersebut, 203 pasien telah dinyatakan sembuh. Hingga kini Vietnam belum melaporkan adanya pasien yang meninggal akibat Covid-19 ini.

Baca juga: Per 19 April, Jumlah PDP Covid-19 di Indonesia Capai 15.646 Orang




tirto.id - Virus corona COVID-19 yang menyebar di seluruh dunia telah menyebabkan 2.403.963 orang terinfeksi hingga Senin (20/4/2020) pukul 10.40 WIB, menurut data Universitas Johns Hopkins . Dari jumlah tersebut, kasus terbanyak berada di Amerika Serikat (AS) dengan 759.467 orang terinfeksi virus. Presiden AS Donald Trump mengatakan pengujian awal pada coronavirus oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) adalah "kacau", tetapi ia juga mengatakan hal-hal telah membaik. "CDC memiliki alat tes usang, tes lama, tes rusak dan berantakan," kata Trump pada konferensi pers di Gedung Putih pada hari Minggu Dia menanggapi pertanyaan tentang kegagalan dalam pengujian coronavirus di CDC. Beberapa pejabat kesehatan mengatakan kepada CNN.com akhir pekan ini bahwa kontaminasi dalam manufaktur di CDC menyebabkan penundaan selama berminggu-minggu yang memperlambat respons AS terhadap pandemi coronavirus. Masalahnya sebagian berasal dari CDC yang tidak mematuhi protokol sendiri, kata juru bicara Food and Drug Administration pada hari Sabtu. Tetapi banyak hal telah membaik, kata Trump. "(CDC) telah melakukan pekerjaan yang sangat baik, dan mereka telah melakukannya di bawah tekanan," katanya. "Mereka harus melakukan ini di bawah tekanan sehingga kami sangat bangga dengan pekerjaan yang telah mereka lakukan." Namun, tanpa melampirkan bukti, Trump menyalahkan administrasi sebelumnya atas kegagalan awal CDC selama pandemi. "Saya katakan kepada Anda bahwa kami mewarisi banyak sampah, kami ambil. Mereka memiliki tes yang tidak bagus, mereka memiliki semua hal yang tidak bagus," kata Trump. Dikutip dari CNN.com , Trump mengatakan ia berencana menggunakan Undang-Undang Pertahanan Produksi untuk membantu produksi swab test untuk pengujian virus corona COVID-19. Trump mengatakan bahwa AS masih ingin mengirim para penyelidik pergi ke Cina untuk menyelidiki penyebaran virus corona, meskipun ia mengatakan "kami sebenarnya tidak diundang." Presiden AS mengatakan, mereka yang memprotes tindakan sosial gubernur mereka adalah "orang-orang hebat," dan menambahkan "hidup mereka diambil dari mereka." Sementara itu, Presiden Brasil Bolsonaro bergabung dengan sebuah demonstrasi di Brasilia pada hari Minggu, di mana para pemrotes menyerukan diakhirinya tindakan karantina. Beberapa juga mendesak intervensi militer untuk menutup Kongres dan Mahkamah Agung, yang telah mendukung langkah-langkah isolasi sosial yang diberlakukan oleh gubernur. Di Australia, Menteri Luar Negeri Marise Payne menyerukan "tinjauan independen" tentang keadaan yang menyebabkan dimulainya pandemi virus corona dalam sebuah wawancara dengan televisi ABC pada hari Minggu, menambah tekanan yang meningkat pada Cina atas penanganannya terhadap virus. Masyarakat Inggris mulai menyerukan kritikan pada Perdana Menteri Inggris Boris Johnson yang melewatkan lima pertemuan darurat pada tahap awal pandemi virus corona COVID-19, para pejabat mengakui pada hari Minggu. Pemerintah Inggris menghadapi rentetan kritik atas tanggapan Johnson yang dianggap kurang sigap terhadap penyebaran penyakit. Di sisi lain, sejumlah penyanyi termasuk Lady Gaga, Stevie Wonder dan the Rolling Stones ikut serta dalam pertunjukan delapan jam "One World: Together At Home," yang membantu mengumpulkan hampir $128 juta untuk Organisasi Kesehatan Dunia. Hasilnya akan diberikan kepada Covid-19 Solidarity Response Fund WHO.




Gambar ilustrasi diperoleh pada 27 Februari 2020 dengan izin dari Food and Drug Administration AS menunjukkan Virus Corona COVID-19. (US Food and Drug Administration/AFP)


Suara.com - Para ilmuwan Belgia dan Amerika di Vlaams Institute for Biotechnology di Ghent menyebut bahwa llama mungkin memiliki antibodi yang efektif dalam mengobati virus Corona (Covid-19).

Hewan sepupu unta yang berbulu tebal ini, disebut memiliki antibodi yang dapat membantu menetralkan infeksi yang mematikan. Antibodi tersebut sebelumnya sudah terbukti efektif dalam melawan penyakit MERS dan SARS, yang disebabkan oleh virus keluarga Corona.

Awalnya, antibodi tersebut pertama kali digunakan dalam penelitian HIV. Para ilmuwan menemukan antibodi dalam tubuh llama yang lebih kecil dari antibodi manusia. Hal tersebut meningkatkan kemungkinan para ahli untuk menjadikannya sebagai vaksin.

Para ilmuwan umumnya menggunakan molekul kecil untuk mengirim obat yang bertugas sebagai pembunuh virus. Kecilnya antibodi llama itu pun dianggap efektif untuk menjadi penghantar obat yang membunuh virus.

Ilustrasi vaksin Covid-19 . [Pixabay/Pete Linforth] Selain llama, seorang ilmuwan asal Korea Selatan melaporkan bahwa musang yang terinfeksi virus Corona (Covid-19) memiliki gejala sangat mirip dengan manusia. Laporan yang disebut dalam jurnal Cell Host & Microbe itu menyebut akan menjadikan musang sebagai hewan percobaan untuk mengevaluasi efisiensi dan pencegahan vaksin pada manusia.

Dilansir laman New York Post , Senin (20/4/2020), seorang ilmuwan dari Universitas Hongkong pun melakukan penelitian serupa kepada hamster Suriah.

Ilmuwan tersebut mengatakan bahwa hamster itu memiliki potensi sebagai hewan percobaan karena memiliki gejala infeksi saluran pernapasan akut di atas dan bawah yang sama dengan manusia ketika terinfeksi virus Corona (Covid-19).




Jakarta, CNN Indonesia -- Seorang dokter di Australia , Andy Tagg mengeluarkan pernyataan kontroversial. Tagg menyebut penularan  virus corona jenis baru dapat terjadi melalui kentut. Benarkah virus corona dapat menular melalui kentut? Tagg mengklaim virus corona yang bernama SARS-CoV-2 bisa menular melalui kentut setelah melakukan serangkaian tes pada pasien positif infeksi virus corona (Covid-19).

Berdasarkan temuan Tagg, 55 persen pasien Covid-19 memiliki virus corona pada feses atau buang air besar mereka. Kentut yang keluar melalui saluran BAB itu disebut juga mengandung kotoran yang dapat menyebarkan bakteri dan virus.

"Ya, SARS-CoV-2 dapat dideteksi dalam feses dan telah terdeteksi pada individu tanpa gejala hingga 17 hari pasca-paparan. Mungkin SARS-CoV-2 dapat disebarkan melalui kentut, kita membutuhkan lebih banyak bukti," kata Tagg. Namun, pernyataan Tagg itu ditentang sejumlah ahli. Menurut Direktur Klinis Patientaccess.com dokter Sarah Jarvis, sangat kecil kemungkinan seseorang akan tertular virus corona dari seseorang yang kentut. "Kemungkinan seseorang tertular virus karena mereka dekat dengan seseorang yang kentut, sangat kecil. Anda jauh lebih mungkin untuk tertular melalui kontak dekat dengan seseorang yang batuk atau bersin, atau dengan menyentuh droplet di tanganmu ketika kamu menyentuh benda," kata Jarvis, dikutip dari The Sun .

Dokter Norman Swan juga mengatakan tak perlu khawatir pada kentut karena terhalangi oleh celana. "Kita selalu memakai masker (celana) yang menutup kentut kita setiap saat," kata Swan dalam podcast Coronacast di ABC . Pusat pengendalian dan Pencegahan Penyakit China juga mengatakan celana merupakan penghalang kentut yang mungkin membawa virus. Walaupun, kentut memiliki kemungkinan yang kecil untuk dapat membawa virus corona. Senada dijelaskan pula oleh dokter Spesialis Baru, Erlang Samoedro yang menilai penularan virus corona melalui kentut sulit terjadi. Ia mengatakan, virus ini memang ditemukan pada feses, namun aerosolisasi ke udara bebas dinilai lebih kecil lantaran terhalang pakaian. Kalaupun terdapat virus, toh orang telah mengenakan celana atau rok berbahan kain yang memungkinkan virus tersaring. "Kalau mungkin [menular melalui kentut ya memang mungkin, tapi practical less likely ," tutur Erlang yang juga Sekretaris Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Paru Indonesia (PDPI) kepada CNNIndonesia.com  melalui pesan singkat. "Sulit terjadi, karena kan kita pasti oakai celana atau kain yang menutupi. Sedangkan kalau dari mulut atau saluran napas--kalau tidak pakai masker--tidak tertutup sehingga change untuk terjadi penularan lebih tinggi," kata dia lagi. [Gambas:Video CNN] Kesangsian juga diungkapkan ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia, Syahrizal Syarif. Ia mengatakan, virus corona memang boleh jadi ditemukan di feses orang yang positif terinfeksi Covid-19. Hanya saja bagi dia, hipotesis yang muncul berupa penularan virus corona bisa terjadi melalui kentut itu tidak masuk akal. "Omong kosong itu. Itu nggak benar, dan nggak masuk akal," ucap Syahrizal kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon.

"Bahwa bisa jadi kita menemukan bahwa virus itu di feses, kalau itu sih saya merasa masih bisa. SARS juga waktu itu kita temukan di feses orang yang positif. Sampai di situ kita bisa terima, tapi bahwa ditarik kesimpulan lalu dibuat hipotesis baru bahwa ketut bisa [menularkan], itu sih saya juga enggak yakin bagaimana caranya membuktikan asumsi itu," jelas Syahrizal yang juga ahli kesehatan masyarakat tersebut. Ia juga meragukan, asumsi itu bisa dibuktikan secara ilmiah melalui metode penelitian. "Mau dari sisi prosesnya atau lainnya, itu tidak masuk akal. Sama tidak masuk akalnya ketika ada pernyataan bahwa virus bisa menular dari asap rokok orang yang terinfeksi, ini juga nggak ada dasar ilmiahnya," pungkas dia. (ptj/NMA)




Jakarta, CNN Indonesia -- Dalam penelitian terbarunya, para ilmuwan khawatir bahwa virus corona penyebabbisa membunuh sel-sel kekebalan tubuh yang seharusnya untuk membunuh virus.Penemuan dari peneliti Shanghai dan New York ini bersamaan dengan penemuan dokter bahwa covid-19 bisa menyerang sistem kekebalan manusia dan menyebabkan kerusakan yang serupa dengan yang ditemukan pasien HIV.Mengutip South China Morning Post , Lu Lu dari Universitas Fudan di Shanghai dan Jang Shibo dari New York Blood Centre mengungkapkan bahwa Sars-CoV-2 bergabung dengan jalur sel limfosit T yang ditumbuhkan di laboratorium.Limfosit T atau sel T memainkan peran sentral untuk mengidentifikasi dan menghilangkan benda asing dalam tubuh. Sel T akan menangkap sel yang terinfeksi virus, membuat lubang di membrannya dan menyuntikkan bahan kimia beracun dalam sel. Bahan kimia ini kemudian membunuh virus dan sel terinfeksi dan mengancurkannya berkeping-keping.Namun dalam kasus virus corona, sel T justru menjadi mangsa virus corona dalam percobaan mereka. Peneliti menemukan struktur unik dalam protein lonjakan virus corona tampaknya memicu perpaduan selubung virus dan membran sel ketika keduanya bersentuhan.Gen virus kemudian memasuki sel T dan 'menyanderanya', menonaktifkan fungsinya melindungi manusia.Para peneliti melakukan percobaan yang sama dengan sindrom pernafasan akut yang parah, atau Sars, coronavirus lain, dan menemukan bahwa virus Sars tidak memiliki kemampuan untuk menginfeksi sel T. Hal ini diduga karena kurangnya fungsi fusi membran. Sars, yang mewabah pada 2003, hanya dapat menginfeksi sel yang membawa protein reseptor spesifik yang dikenal sebagai ACE2, dan protein ini memiliki kehadiran yang sangat rendah dalam sel T.Penyelidikan lebih lanjut terhadap infeksi virus corona pada sel T primer akan membangkitkan "ide-ide baru tentang mekanisme patogenik dan intervensi terapeutik", kata para peneliti dalam sebuah makalah yang diterbitkan dalam jurnal peer-review Cellular & Molecular Immunology minggu ini.Seorang dokter yang bekerja di rumah sakit umum yang merawat pasien Covid-19 di Beijing mengatakan, penemuan itu menambahkan bukti lain pada kekhawatiran yang berkembang di kalangan medis bahwa coronavirus kadang-kadang bisa berperilaku seperti beberapa virus paling terkenal yang secara langsung menyerang sistem kekebalan manusia."Semakin banyak orang membandingkannya dengan HIV," kata dokter yang meminta untuk tidak disebutkan namanya karena sensitivitas masalah ini.Pada bulan Februari, Chen Yongwen dan rekan-rekannya di Institute of Immunology PLA merilis laporan klinis yang memperingatkan bahwa jumlah sel T dapat turun secara signifikan pada pasien Covid-19, terutama ketika mereka berusia lanjut atau memerlukan perawatan di unit perawatan intensif. Semakin rendah jumlah sel T, semakin tinggi risiko kematian.Meski demikian, ada satu perbedaan utama antara virus corona penyebab Covid-19 dan HIV.HIV dapat bereplikasi dalam sel T dan mengubahnya menjadi pabrik untuk menghasilkan lebih banyak salinan untuk menginfeksi sel lain. Tetapi Lu dan Jiang tidak mengamati adanya pertumbuhan coronavirus setelah memasuki sel-T, menunjukkan bahwa virus dan sel-T mungkin akan mati bersama. Namun studi ini masih memunculkan beberapa pertanyaan baru lainnya.


Suara.com - Kucing rentan tertular virus corona . Hal itu dikatakan Guru Besar Universitas Airlangga (Unair) Prof Dr Chairul Anwar Nidom .

Alasan Nidom karena kucing merupakan hewan yang paling peka terinfeksi infeksi COVID-19. Dari penelitian yang telah dilakukan, penularan antar kucing ternyata melalui droplet yang masuk ke dalam saluran pernafasan.

RNA virus dari droplet kucing yang tertular bisa diuji melalui bilasan hidung (nasal turbinate), langit-langit mulut (soft palates), organ tonsil, trakhea, dan juga usus kucing (tidak dominan).

Antibodi COVID-19, kata dia, juga terdeteksi pada kucing yang sengaja diinokulasi dan kucing yang tertular melalui droplet.

"Seperti kasus harimau bernama Nadia dari Kebun Binatang di The Bronx Zoo New York, Amerika Serikat, dan beberapa kucing terinfeksi virus corona ," ujar Prof Nidom yang juga Ketua Tim Riset Corona dan Formulasi Vaksin dari Professor Nidom Foundation (PNF) saat dikonfirmasi di Surabaya, Minggu (19/4/2020).

"Kucing, selama ini dapat terinfeksi oleh Feline dan Canine coronavirus (FCoV dan CCoV) melalui reseptor aminopeptidaseN (APN), yang merupakan reseptor Alphacoronavirus, dan juga bisa terinfeksi oleh human coronavirus (HCoV-229E), tanpa menunjukkan gejala klinis," ucapnya.

Menurut dia, munculnya virus FCoV-II pada kucing menunjukkan adanya ko-infeksi antara FCoV-1 dan CCoV-II kemudian melakukan rekombinasi dan menghasilkan strain baru yaitu FCoV-II.

Selain itu, FCoV- 1/CCoV-1 dan FCoV-II/CCoV-II punya kesamaan spike (protein S) yang bisa mengacaukan reseptor spesifik dari setiap strain virus.

"Fenomena kucing sebagai hewan yang bisa tertular COVID-19 baik di alam maupun di laboratorium, memunculkan kekhawatiran tersendiri. Mengingat selama ini hanya hewan liar yang diduga sebagai sumber atau perantara COVID-19," katanya.

Meski begitu, Prof Nidom mengatakan sampai saat ini belum ada bukti bahwa hewan yang terinfeksi COVID-19 dari manusia berperan dalam penyebaran virus ini.

"Wabah COVID-19 yang terjadi saat ini lebih disebabkan oleh kontak dari orang ke orang," tuturnya.

Pola interaksi yang kompleks dalam konsep human-animal-environment interface, menjadi dasar yang melatarbelakangi mitigasi terhadap wabah penyakit infeksi, terutama yang bersifat zoonosis seperti COVID-19.

"Namun kedekatan hubungan antara manusia dengan hewan peliharaan dalam sebuah ekosistem menjadi kunci dari mata rantai penularan, pemutusan rantai sampai muncul kembali (relapse)," kata Nidom.

Fase relapse menjadi bagian yang tak kalah penting untuk diwaspadai, lalu beberapa hewan liar dan domestik telah terbukti menjadi sumber utama penularan serta reservoir infeksi pada beberapa kasus wabah zoonosis.

"Hewan memiliki kemampuan untuk menjadi 'rumah tempat tinggal' yang nyaman bagi beberapa virus infeksius," katanya.

Selain itu, lanjut Nidom, di dalam tubuh hewan, virus akan bersembunyi, berdamai dengan sistem imun host untuk mencapai suatu fase homeostasis, atau bahkan membangun kekuatan baru untuk kemudian siap dilepas ke lingkungan menjadi virus baru yang lebih ganas, bagai teori Paradoks Peto pada kejadian kanker.

"Menilik fakta baru peran kucing dan hewan peliharaan lain, baik sebagai reservoir atau penyebar virus COVID-19, maka perlu lebih waspada melalui langkah-langkah strategis," katanya.

Langkah pertama adalah surveilans aktif terhadap kucing dan anjing peliharaan atau kucing jalanan (stray cats) dan hewan lainnya terhadap COVID-19.

Selanjutnya, pemeriksaan rutin kesehatan kucing, anjing dan hewan peliharaan lain agar bisa dipastikan tidak membawa virus jenis baru penyebab COVID-19.

"Hal ini penting untuk mitigasi wabah COVID-19 dan pemutusan penyebaran virus dalam ruang lingkup yang lebih kecil serta sebagai early warning system atau sistem peringatan dini terhadap potensi wabah penyakit infeksi," tuturnya. (Antara)




TEMPO.CO , Jakarta - Turki menjadi negara dengan kasus infeksi virus Corona di Eropa setelah mengkonfirmasi lonjakan kasus pada Ahad. Turki mencatat 3.977 kasus virus Corona baru dalam 24 jam terakhir, menjadikan total kasus 86.306 dan melebihi jumlah kasus di Cina. Menteri Kesehatan Fahrettin Koca mengatakan pada hari Minggu bahwa 127 kematian baru dalam 24 jam terakhir, menjadikan total kematian 2.017, menurut laporan Reuters, 20 April 2020. Sementara 11.976 orang telah pulih dari virus Corona di Turki sejauh ini, dan jumlah tes yang dilakukan selama 24 jam terakhir mencapai 35.344, kata Koca.

Presiden Turki Tayyip Erdogan didampingi beberapa pejabat mengikuti forum KTT Luar Biasa G20 secara virtual dari Huber Mansion, Istanbul, Turki, 26 Maret 2020. Presidential Press Office/Handout via REUTERS Kementerian Dalam Negeri Turki mengumumkan akan mencabut jam malam yang diberlakukan di 31 provinsi, menurut laporan Anadolu. Akhir pekan ini, Turki memberlakukan perintah tinggal di rumah setelah jam malam selama 48 jam yang dilaksanakan pada 11-12 April. Senin lalu, Presiden Recep Tayyip Erdogan mengumumkan bahwa tindakan itu akan berlanjut "sesuai kebutuhan." Turki baru melaporkan pasien virus Corona pertama pada 10 Maret, tetapi telah melihat jumlah kasus yang dikonfirmasi meningkat tajam sejak itu. Sekarang Turki memiliki total kasus virus Corona tertinggi ketujuh di dunia, dan sejauh ini Turki telah menguji lebih dari 634.000 orang.




Suara.com - Seorang ahli biologi untuk Survei Antartika Inggris (BAS) telah mengungkapkan tentang kehidupan di satu-satunya benua bebas Covid-19 di Bumi.

Ahli biologi kelautan Nadescha Zwerschke telah menghabiskan 16 bulan di Stasiun Penelitian Rothera untuk BAS, mempelajari dampak perubahan iklim pada sistem makanan laut.

Antartika saat ini merupakan satu-satunya benua yang lolos dari penyebaran virus corona yang mematikan dan skrining telah dilakukan sejak kedatangannya pada Februari lalu.

Beberapa negara memiliki stasiun penelitian di daratan luas yang terikat es yang akan memasuki bulan-bulan musim dingin yang ekstrem.

Rothera terletak di Semenanjung Antartika lebih dari 800 mil dari ujung Amerika Selatan dan kira-kira jaraknya sama dengan London seperti Perth, Australia.

Ilustrasi virus corona. [Pixabay]/emmagrau] Nadescha (34), mengatakan dia dan rekan-rekannya di pangkalan itu berkomunikasi tentang apa yang terjadi di tengah pandemi Covid-19, dari tempat mereka terisolasi.

"Peristiwa dunia tampak sangat nyata ketika Anda begitu jauh. Sebagian besar dari kami telah melakukan kontak sehari-hari dengan teman dan keluarga, dan BAS memberi kami informasi tentang apa yang terjadi. Kami juga memiliki akses ke internet dan media sosial, dan ada surat kabar harian dengan berita utama. Saat ini, tidak ada virus corona di Antartika, dan BAS memiliki sejumlah langkah pencegahan untuk menjaga Antartika dan stasiun-stasiunnya bebas dari virus," ujarnya dilansir laman Mirror , Senin (20/4/2020).

Skrining dimulai pada awal Februari, dia menambahkan bahwa dengan orang-orang yang datang ke Antartika diskrining dari gejala virus corona.

"Jika mereka menunjukkan gejala, mereka akan diminta untuk karantina selama 14 hari," terang Nadescha.

Dia mengatakan, penurunan global dalam CO2 yang disebabkan oleh respons kuncian terhadap virus dapat terlihat oleh para ilmuwan di masa depan yang mengukur inti es dari Antartika.

“Pengurangan CO2 dan gas rumah kaca lainnya terlalu baru dan terlalu singkat untuk menunjukkan dampak abadi pada kondisi iklim di Antartika. Tapi mungkin dalam 100 tahun para ilmuwan akan mengambil inti es di Antartika dan menemukan tingkat CO2 yang sangat rendah dalam es yang terbentuk selama tahun ini," jelasnya.

Pemandangan di Antartika. [Shutterstock] Nadescha mengatakan, bekerja di Antartika berarti dia dan rekan-rekannya harus beradaptasi jauh sebelum isolasi Covid-19.

“Isolasi di Antartika sedikit berbeda dengan isolasi saat ini di rumah. Meskipun kami terisolasi dari seluruh dunia, masih ada 23 orang di stasiun selama musim dingin dan saya cukup beruntung untuk menjadi bagian dari tim yang brilian, di mana semua orang bekerja dengan sangat baik dan menghabiskan banyak waktu bersama," ceritanya.

“Jadi jelas, ketika kami tidak bekerja, kami menemukan beberapa cara berbeda untuk menghabiskan waktu bersama, termasuk turnamen tenis meja untuk merayakan Wimbledon, dan kompetisi panah atas Skype dengan stasiun penelitian lainnya. Kami juga menyelenggarakan malam kasino dengan uang Monopoli yang menjadi cukup kompetitif," beber Nadescha.



Total comment

Author

fw

0   comments

Cancel Reply