Beijing - Peneliti dan wartawan sejak awal berspekulasi, bagaimana caranya virus corona jenis baru SARS-CoV-2 tiba-tiba muncul di Wuhan. Dugaan pertama, virus berasal dari pasar ikan yang juga menjual hewan liar. Tapi sejumlah media barat kini memberitakan, kemungkinan virusnya bocor dari Wuhan Institute of Virology yang berlokasi tidak jauh dari pasar ikan Wuhan. Teori mengenai kemungkinan kebocoran dari laboratorium di Wuhan sudah menyebar lewat media sosial sejak bulan Januari silam. Tapi teori ini dicampur dengan teori konspirasi tentang riset rahasia senjata biologis oleh militer Cina. Ketika itu, harian Washington Post membantah teori kemungkinan virusnya adalah hasil rekayasa manusia. Wawancara dengan sejumlah pakar virologi menyebutkan, melihat sifat virusnya, tertutup kemungkinan bahwa itu mutasi buatan manusia. Ini diperkuat dengan riset dari tim peneliti di bawah pimpinan Kristian G. Andersen, yang dilansir dalam jurnal ilmiah Nature Medicine terbitan 17 Maret.
Tambahan lagi, apa yang dikerjakan institut virologi di Wuhan tidak dirahasiakan dan hasil riset virus kelelawar yang dilakukan di sana, juga dipublikasikan dalam sejumlah jurnal ilmiah. Mitra peneliti barat juga terlibat dalam sejumlah topik penelitian. Galveston National Laboratory dari University of Texas juga merupakan mitra erat institut riset di Wuhan. Bahkan Amerika Serikat membiayai sejumlah penelitian di Wuhan, demikian lapor harian Inggris Daily Mail. Dari mana datangnya pasien infeksi pertama? Namun semua fakta itu tidak menutup kemungkinan bahwa lewat penelitian di Wuhan itu ada virus yang terlepas dari laboratorium. Dalam jurnal ilmiah Science edisi akhir Januari, ada artikel yang meragukan tesis bahwa virus bisa menulari manusia di pasar ikan. Salah satu penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal limiah The Lancet menunjukkan, dari 41 pasien pertama yang terinfeksi Covid-19, sebanyak 13 di antaranya tidak punya akses sama sekali ke pasar ikan. Selain itu, sangat mungkin bahwa pasien zero atau pasien pertama yang terinfeksi sudah tertular virusnya pada bulan November 2019. Kasus-kasus pertama infeksi virus corona, sama sekali tidak punya kontak dengan pasar ikan, juga ditegaskan oleh Daniel Lucey, guru besar penyakit infeksi di Georgetown University Medical Center dalam wawancara untuk Science ketika itu. Riset ikut bertanggung jawab? Hal tersebut memicu pertanyaan, bagaimana virus datang ke Wuhan? Salah satu penjelasannya mengarah kepada pakar virologi, Profesor Shi Zhengli, yang melakukan penelitian virus kelelawar di Institut Wuhan. Terakhir awal Februari lalu, ia mempublikasikan artikel ilmiah tentang virus kelelawar dalam jurnal ilmiah Nature. Artikel tentang potret ilmuwan ini muncul di harian South China Morning Post edisi 6 Februari. Disebutkan, periset ini melakukan pengambilan sampel kotoran kelelawar di gua-gua di 28 provinsi Cina. Di Wuhan, Pofesor Shi membangun arsip lengkap untuk virus kelelawar, seperti dilansir Spektrum dan Scientific American. Awal 2019 Shi bersama timnya mempublikasikan hasil penelitian ekstensif tentang virus corona pada kelelawar. Laporan menyebut, kelelawar tapal kuda sebagai inang strain virus corona yang serupa dengan virus yang muncul kemudian di Wuhan. Berkat kerja team yang dia pimpin itulah, para ilmuwan dapat melakukan sekuensi cepat genom virusnya, juga mempublikasikannya dengan cepat. Hal ini menciptakan peluang bersejarah yang tidak diduga sebelumnya, untuk mempercepat penelitian dan pembuatan vaksinnya. Walau begitu, hingga beberapa minggu terakhir ini, Profesor Shi Zhengli terus menjadi sasaran serangan terus-menerus di media sosial di Asia maupun di kawasan lainnya di dunia. Hal tersebut memicu pembelaan dari rekan penelitinya, Peter Daszak pimpinan the EcoHealth Alliance, NGO di New Yorkm yang berfokus pada riset ilmiah dan pencegahan pandemi. Daszak mengatakan dalam sebuah wawancara dalam acara Democracy Now di National Public Radio, sebuah lembaga penyiaran publik di AS, bahwa tudingan virusya bocor dari laboratorium di Wuhan adalah tidak berdasar. Ia menyebutkan, bekerja selama 15 tahun bersama laboratorium dan sama sekali tidak menyimpan virus SARS-CoV-2. "Ini politisasi asal mula pandemi, yang sangat tidak menyenangkan, mengkaitkan asal-usul pandemi dengan laboratorium," ujar Daszak. Juga yang belakangan patut dicatat, pemerintah di Beijing melakukan pembatasan ketat pemberitaan tentang asal-usul virus corona. Bahkan kedutaan besar Cina di London bereaksi berang, menanggapi artikel Daily Mail, dan menuduhnya "tidak berdasar." "Penelitian asal mula virus Covid-19 saat ini masih berjalan," demikan kedutaan dalam pernyataan resmi. (as/ae)
Pantau Data dan Informasi terbaru Covid-19 di Indonesia pada microsite Katadata ini. Pemerintah mencatat penambahan kasus positif corona pada Kamis (23/4) sebanyak 357 orang sehingga total kasus di Indonesia kini mencapai 7.775 orang. Penambahan kasus kini tersebar di 24 provinsi, paling banyak masih berasal dari Jakarta. Juru bicara nasional penanganan virus corona, Achmad Yurianto mengatakan, virus corona telah berdampak ke 34 provinsi. "Seluruh provinsi telah terdampak dan 267 kabupaten/kota terdampak," kata Yurianto di Gedung BNPB, Jakarta, Kamis (23/4). Berdasarkan data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, penambahan kasus positif corona terjadi di 24 provinsi pada hari ini. Kasus baru Covid-19 paling banyak masih terjadi di wilayah Jakarta mencapai 133 orang. Posisi tersebut disusul Jawa Tengah sebanyak 59 orang, Jawa Timur 26 orang, Jawa Barat 22 orang, dan Kalimantan Barat 19 orang. Ada pula tambahan kasus positif corona di Bali sebanyak 15 orang, Sulawesi Utara 11 orang, Lampung 11 orang, Sulawesi Selatan 10 orang. (Baca: Positif Corona RI Capai 7.775 Orang, Hampir 1.000 Pasien Telah Pulih ) Ada tujuh kasus positif corona baru masing-masing di Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara barat, dan Papua. Tambahan lima kasus positif corona berada di Kalimantan Timur, Sumatera Barat, dan Papua Barat. Kemudian, empat kasus baru tercatat di Sumatera Selatan. Sebanyak dua kasus masing-masing tercatat di Kepulauan Riau, Sumatera Utara, dan Maluku Utara. Ada satu kasus baru masing-masing di Bangka Belitung, Yogyakarta, Jambi, Kalimantan Tengah, dan Riau. Lebih lanjut, Yurianto juga mengumumkan tambahan kasus kematian akibat corona sebanyak 11 orang pada hari ini. Dengan demikian, total orang yang meninggal karena mengidap penyakit tersebut berjumlah 647 orang. (Baca: WHO Peringatkan Dunia Akhir Pandemi Virus Corona Masih Jauh ) Secara perinci, tambahan kasus kematian paling banyak berasal dari Sulawesi Selatan, yakni empat orang. Terdapat tambahan kasus kematian akibat corona sebanyak tiga orang di Jawa Barat, dua orang di Jawa Timur, satu orang di Sumatera Barat, dan satu orang di Sumatera Utara. Yurianto pun menyatakan pasien yang telah sembuh dari corona bertambah 47 orang pada hari ini. Secara total, ada 960 orang yang telah sembuh dari corona. Penambahan pasien yang telah sembuh paling banyak berasal dari Jawa Timur, yakni 11 orang. Penambahan kasus sembuh juga terjadi di Bali 8 orang, Jawa Barat 8 orang, Sulawesi Selatan 5 orang, Jakarta 4 orang, Papua 4 orang, Sumatera Barat 3 orang, Yogyakarta 2 orang, dan Nusa Tenggara Barat 2 orang. Reporter: Dimas Jarot Bayu Email sudah ada dalam sistem kami, silakan coba dengan email yang lainnya. Maaf Telah terjadi kesalahan pada sistem kami. Silahkan coba beberapa saat lagi
TEMPO.CO, Jakarta - Prancis dan Inggris mengkonfirmasi bahwa mereka telah menerima ajakan Australia untuk menginvestigasi asal virus Corona (COVID-19). Namun, perwakilan kedua negara enggan melakukan investigasi asal usul virus Corona pada saat ini. Dari Prancis, Presiden Emmanuel Macron mengatakan bahwa saat ini bukan momen yang tepat untuk melakukan investigasi. Menurutnya, ada hal yang lebih darurat untuk dilakukan yaitu mengendalikan pandemi di negara masing-masing. "Dia (Macron) setuju bahwa ada masalah, namun belum terlalu mendesak untuk menginvestigasinya karena saat ini bukan waktu yang tepat," ujar pernyataan pers Pemerintah Prancis sebagaimana dikutip dari kantor berita Reuters, Rabu, 22 April 2020. Meski tidak setuju perihal investigasi asal usul virus Corona dilakukan saat ini, Macron setuju perihal perlu ditingkatkannya transparasi terkait penanganan virus Corona. Hal itu, menurut Macron, tidak terbatas pada kerja Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) saja.
Hal senada disampaikan oleh Pemerintah Inggris. Juru bicara Perdana Menteri Boris Johnson sepakat bahwa asal usul virus Corona harus diselidiki untuk mencegah pandemi serupa terulang. Namun, Johnson ingin hal tersebut dilakukan di lain waktu ketika pandemi virus Corona sudah terkendali. "Para menteri (Inggris) sedang sibuk menghadapi pandemi virus Corona," sebagaimana dikutip dari kantor berita Reuters. Jerman, salah satu negara yang juga diajak Australia, belum memberikan jawaban tegas. Pemerintah setempat hanya menyatakan bahwa virus Corona pertama kali muncul di Cina. Mereka tidak menyebut Cina sebagai sumber virus Corona. "Virus Corona berasal dari Cina. Cina sudah menderita banyak karena virus tersebut, namun mereka juga sudah berusaha untuk menekan penyebarannya," ujar keterangan pers Pemerintah Jerman. Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Perdana Menteri Australia, Scott Morrison, mengajak empat negara untuk sama-sama menginvestigasi asal usul virus Corona. Menurut Morrison, hal tersebut diperlukan untuk mengetahui secara pasti dari mana virus Corona berasal dan bagaimana penyebarannya bisa terjadi. Morisson mengaku sudah mendapatkan diskusi yang konstruktif dengan berbagai negara. Namun, ia tidak menyatakan respon mereka seperti apa. Sementara itu, Cina, mengkritik langkah yang diambil Australia. Menurut mereka, Australia telah bertindak seperti antek Amerika dalam pengajuan investigasi itu. Sebab, selama ini, desakan untuk menginvestigasi asal usul virus Corona, terutama di Cina, berasal dari Presiden Amerika Donald Trump. Sebagai catatan, mengacu pada data WHO, total kasus virus Corona (COVID-19) di dunia sudah mencapai 2.566.861 kasus. Sementara itu, untuk korban meninggal, ada 177.802 yang kemudian diikuti dengan pasien sembuh sebanyak 697.107 orang. ISTMAN MP | REUTERS
Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Kesehatan Singapura melaporkan lonjakan kasus baru virus corona dalam sehari sebanyak 1.037 pasien. Sejauh ini jumlah tersebut merupakan lonjakan tertinggi kasus baru Covid-19 dalam sehari. Lonjakan kasus kali ini terjadi dalam empat hari berturut-turut saat Singapura melaporkan penambahan kasus baru di atas 1.000 pasien. Mayoritas kasus baru virus corona kali ini masih berasal dari asrama pekerja migran. Sementara kasus yang berasal dari warga Singapura dan penghuni permanen hanya sebanyak 21 kasus baru.
Mengutip Channel News Asia , lonjakan kali ini membuat total pasien Covid-19 di Singapura mencapai 11.178 orang. Dengan begitu Singapura saat ini menjadi negara dengan pasien virus corona tertinggi di Asia Tenggara.
Sehari sebelumnya Singapura mencatat 10.141 kasus dengan 12 korban jiwa dan 896 pasien dinyatakan sembuh. Sekitar 2,51 persen dari 323 ribu pekerja migran yang berada di asrama dinyatakan positif terinfeksi virus corona. Jumlah tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan pekerja migran yang tidak tinggal di asrama yakni sebanyak 0,061 persen dari 664 ribu dan 0,023 persen yang berada di komunitas.
Dilansir Strait Times , kebanyakan pekerja migran yang dinyatakan positif Covid-19 memiliki gejala ringan hingga tanpa gejala. Saat ini ada 21 asrama yang dinyatakan sebagai area isolasi lantaran penghuninya diharuskan melakukan karantina selama 14 hari. Selain Singapura, di urutan kedua pasien virus corona terbanyak di Asia Tenggara berasal dari Indonesia. Data yang dirilis BNPB hingga Rabu ada 7.418 kasus dengan 635 orang meninggal dan 913 sembuh.
Mengutip data statistik Worldometers , Filipina saat ini memiliki 6.981 kasus atau bertambah 271 kasus baru Sekitar 462 meninggal, bertambah 16 korban jiwa dan 722 orang sembuh. Presiden Rodrigo Duterte telah memperpanjang lockdown di sebagian negara hingga 30 April. Sementara Malaysia kini memiliki 5.532 kasus dengan 93 orang meninggal dan 3.452 pasien sembuh. Pemerintah Malaysia mengumumkan untuk memperpanjang lockdown untuk menekan penyebaran virus corona hingga 28 April. (evn)
Panas Soal Asal Usul Virus Corona, WHO Cukup Ucap: Kami Punya Kok Bukti Sumber Virus dari...
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bahwa semua bukti yang ada menunjukkan bahwa virus Corona baru, COVID-19, berasal dari hewan di China dan tidak dimanipulasi atau diproduksi di laboratorium.
"Semua bukti yang ada menunjukkan bahwa virus tersebut berasal dari hewan dan bukan rekayasa atau dibuat di laboratorium atau di tempat lain," kata juru bicara WHO, Fadela Chaib, dalam jumpa pers di Jenewa, Swiss.
Baca Juga: Gerah dengan Bahasan Asal Virus Corona oleh Sejumlah Negara, Begini Reaksi Tegas WHO
"Kemungkinan besar, mungkin, virus itu berasal dari hewan," imbuhnya seperti dilansir dari 9News, Selasa (21/4/2020).
Tidak jelas, tambah Chaib, bagaimana virus itu melompati penghalang spesies bagi manusia, tetapi tentu saja ada inang hewan perantara.
"Kemungkinan besar memiliki reservoir ekologis pada kelelawar, tetapi bagaimana virus menular dari kelelawar ke manusia masih harus dilihat dan ditemukan," ujarnya.
Ia tidak menanggapi permintaan untuk menjelaskan apakah ada kemungkinan virus tersebut lolos dari laboratorium Wuhan secara tidak sengaja.
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pekan lalu mengatakan bahwa pemerintahnya berusaha untuk menentukan apakah virus tersebut berasal dari laboratorium di kota Wuhan di Cina tengah, tempat pandemi virus Corona muncul pada bulan Desember.
Institut Virologi Wuhan sendiri telah menepis desas-desus bahwa laboratorium itu mensintesis virus atau membiarkannya lolos.
Saat ditanya tentang dampak keputusan Trump untuk menghentikan pendanaan ke badan PBB atas penanganan pandemi virus Corona, Chaib mengatakan: "Kami masih menilai situasi tentang pengumuman oleh Presiden Trump dan kami akan menilai situasinya dan kami akan bekerja dengan mitra kami untuk mengisi celah apa pun."
"Sangat penting untuk melanjutkan apa yang kita lakukan tidak hanya untuk COVID tetapi untuk banyak, banyak, banyak, banyak program kesehatan lainnya," tambahnya, merujuk pada tindakan melawan polio, HIV dan malaria di antara penyakit lainnya.
Ia mengatakan bahwa 81 persen dana WHO untuk dua tahun ke depan pada akhir Maret, mengacu pada anggaran dua tahunan USD 4,8 miliar.
Pada pekan lalu, Trump memerintahkan penghentian sementara pendanaan AS sambil menunggu peninjauan atas dugaan kesalahan langkah WHO dalam mengelola dan merespons wabah COVID-19. Trump menilai WHO terlalu China sentris dalam menangani wabah virus Corona dengan terlalu mempercayai data yang diberikan oleh Beijing.
AS adalah donor terbesar badan yang bermarkas di Jenewa itu. Sementara kontributor besar lainnya adalah Gates Foundation dan Inggris.
Ada jutaan anak yang terkendala belajar online karena keterbatasan akses internet. Ada banyak tenaga medis yang tidak dibekali APD lengkap. Mari kita sama-sama sukseskan kampanye #AmanDiRumah untuk mencegah penyebaran Covid-19. Donasi Anda akan disalurkan untuk membantu pengadaan APD dan fasilitas pendidikan online anak-anak Indonesia. Informasi soal donasi klik di sini.
Partner Sindikasi Konten: SINDOnews
Sejumlah pendemo ikut ambil bagian dalam demonstrasi anti-lockdown di Kansas City, Missouri
Negara Bagian Missouri di Amerika Serikat menggugat China atas penanganan terhadap wabah virus corona yang menyebabkan kerugian besar dalam ekonomi. Dalam dokumen pengadilan yang diserahkan pada hari Selasa kemarin, Jaksa Agung Missouri Eric Schmitt menuding China tidak berbuat banyak dalam menghentikan penyebaran Covid-19 di seluruh dunia sehingga menyebabkan wabah yang "tidak perlu dan bisa dicegah". Gugatan federal itu mengincar ganti rugi atas "hilangnya banyak nyawa, penderitaan manusia, dan kekacauan ekonomi" yang telah terjadi di negara bagian itu. "Pemerintah China berbohong kepada dunia mengenai bahaya dan sifat penyebaran Covid-19, membungkam orang-orang yang berupaya memperingatkan, dan tidak berbuat banyak menghentikan penyebaran penyakit. Mereka harus dimintai pertanggungjawaban atas tindakan mereka," sebut Schmitt dalam pernyataannya. Secara terpisah, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, justru mendorong spekulasi mengenai asal-usul virus Covid-19. Ia menekankan bahwa virus corona muncul di tengah perang dagang Amerika Serikat dengan China, dan mengatakan bahwa tidak ada yang lebih keras terhadap China ketimbang dirinya. "Dan tiba-tiba, entah dari mana, muncul musuh yang tidak kelihatan," ujarnya, mengacu pada pandemi itu, dalam jumpa pers di Gedung Putih. Trump juga berkata kepada wartawan: "Kami pikir kami tahu dari mana ia [virus corona] berasal. Kami mungkin akan banyak bicara soal itu." Sejumlah media AS sebelumnya melaporkan bahwa lembaga intelijen AS meyakini virus tersebut berasal dari sebuah lembaga penelitian virus di Wuhan dengan protokol keamanan yang kurang baik, tudingan yang telah dibantah China. Trump mengatakan kepada para jurnalis bahwa ia tidak akan membicarakan laporan intelijen.
WHO: Tidak ada bukti virus berasal dari laboratorium Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bukti-bukti yang ada mengindikasikan bahwa virus corona berasal dari hewan, dan menepis laporan yang menyebut virus itu diciptakan di laboratorium penelitian virus di Wuhan, China. Hari Selasa kemarin, juru bicara WHO, Fadela Chaib, mengatakan semua bukti menunjukkan virus tersebut "tidak dimanipulasi atau dikonstruksi di laboratorium atau tempat lain." "Kemungkinan, sangat mungkin, virus itu berasal dari hewan," ujarnya dalam jumpa pers WHO di Jenewa, Swiss. Proses transmisi virus Covid-19 dari hewan ke manusia belum jelas, ia menambahkan.
Seorang ilmuwan melakukan tes virus corona di sebuah laboratorium di Yunani.
"Kemungkinan besar ia berkembang biak di kelelawar — tapi bagaimana virus tersebut menular dari kelelawar ke manusia belum diketahui," ujarnya. Tak lama setelah isu virus corona ini mengemuka, muncul berbagai spekulasi - kebanyakan tidak berdasar - mengenai asal-usulnya. Satu teori yang sempat menjadi viral di dunia maya mengatakan SARS CoV-2 diciptakan di laboratorium sebagai senjata biologis. Tudingan ini telah berkali-kali dibantah oleh para ilmuwan, yang menekankan bahwa berbagai penelitian menunjukkan virus tersebut berasal dari hewan - kemungkinan besar dari kelelawar. Virus memang bisa diciptakan untuk tujuan penelitian. Contohnya, penelitian gain-of-function (GOF) melibatkan percobaan yang bisa meningkatkan kemampuan suatu patogen untuk menyebabkan penyakit, untuk memprediksi mutasi virus di masa depan. Namun penelitian tentang genom virus corona di AS, yang dipublikasikan pada bulan Maret, tidak menemukan tanda bahwa virus tersebut direkayasa.
Sejumlah kasus di awal pandemi dikaitkan dengan pasar makanan laut di Wuhan.
"Dengan membandingkan data sekuens genom untuk galur virus corona yang telah diketahui, kami bisa dengan tegas memastikan bahwa Sars-CoV-2 berasal dari proses alami," kata salah satu penelitinya, Kristian Andersen, dari Scripps Research di California. Teori lainnya menuding virus tersebut alami, namun tak sengaja lepas dari laboratorium. Kedekatan pasar makanan laut Wuhan, tempat wabah tersebut pertama kali dideteksi, dengan setidaknya dua lembaga yang melakukan penelitian penyakit menular menimbulkan spekulasi mengenai kaitan. Bahwa Wuhan Institute of Virology (WIV) memang pernah melakukan riset tentang virus corona di kelelawar. Penelitian tersebut sah dan diterbitkan di jurnal-jurnal ilmiah internasional. Mengingat pengalaman China dengan wabah Sars pada awal 2000-an, ini bukan hal mengejutkan. Pakar keamanan hayati di King's College London, Dr. Filippa Lentzos, mengatakan persoalan asal-usul virus corona baru adalah "pertanyaan yang sangat sulit". Ia menambahkan bahwa "ada diskusi diam-diam, di balik layar, di komunitas pakar keamanan hayati, mempertanyakan asal-usul pasar makanan laut yang telah muncul begitu kuat dari China." Namun hingga saat ini belum ada bukti bahwa lembaga riset manapun di Wuhan merupakan sumber Sars-Cov-2. Pemerintah China digugat Dalam gugatan terhadap China, Partai Komunis China, dan pejabat pemerintahan lainnya, Jaksa Agung Missouri Eric Schmitt mengklaim warag Missouri menderita kerugian ekonomi yang bisa mencapai miliaran dollar. "Di Missouri, dampak virus ini begitu nyata—ribuan orang telah terinfeksi dan banyak yang meninggal dunia, sejumlah keluarga terpisah dari orang-orang tercinta yang meninggal dunia, usaha kecil menutup bisnis, dan mereka yang hidup dari gaji ke gaji kesulitan menempatkan makanan di meja," kata Schmitt. Gugatan federal itu mengincar ganti rugi untuk "hilangnya banyak nyawa, penderitaan manusia, dan kekacauan ekonomi" yang telah terjadi di negara bagian itu. Juru bicara kantor jaksa agung menyebut langkah ini "bersejarah". Tapi wartawan BBC di AS, Anthony Zurcher, mengatakan gugatan tersebut akan menghadapi hambatan legal dan prosedur yang cukup besar. Hukum di AS, misalnya, memberi pemerintahan asing kekebalan dari gugatan di pengadilan AS. Untuk menggugat China, pemerintah Negara Bagian Missouri juga harus membiayainya dengan merogoh uang dari kas pemda. Namun Missouri mungkin tidak terlalu peduli dengan ganti rugi uang, dibandingkan mendapatkan pamor politik dan menyalahkan China atas kerusakan kesehatan dan ekonomi dari pandemi.
KOMPAS.com – Virus corona, termasuk SARS-CoV-2 yang menyebabkan penyakit Covid-19, ditularkan dari satwa ke manusia. Satwa liar memang menjadi sumber penyakit menular baru (Emerging Infectious Disease/ EID) terbanyak.
Publikasi ilmiah menyebutkan 60 persen EID berasal dari hewan dan 70 persen EID berasal dari satwa liar. Sebagai contoh, HIV diketahui berasal dari simpanse.
Hal itu diungkapkan oleh Matthew Burton selaku Direktur Kantor Lingkungan Hidup USAID Indonesia.
“Virus corona adalah contoh lain dari patogen yang berasal dari hewan, dan bisa menular ke manusia. Sebagian besar virus tersebut menginfeksi hewan, tapi beberapa virus lain ditransmisikan pada manusia. Hal ini menyebabkan wabah penyakit seperti SARS atau MERS,” tutur Matthew dalam diskusi online yang dilakukan USAID dan KLHK bertajuk “Covid-19 and Our Relationship with Wildlife”, Rabu (22/4/2020).
Baca juga: Ilmuwan Temukan 6 Jenis Baru Virus Corona pada Kelelawar
Jumlah EID, lanjut Matthew, meningkat sebanyak empat kali lipat dalam kurun waktu 60 tahun terakhir. Sebagai contoh, wabah Ebola berkaitan dengan kebiasaan berburu atau pemanfaatan beberapa spesies kelelawar yang membawa virus. Deforestasi juga berkaitan dengan virus Ebola, karena kontak manusia yang semakin dekat dengan satwa liar.
Di hutan Amazon, deforestasi meningkatkan prevalensi penyakit malaria karena hutan gundul menjadi habitat ideal untuk nyamuk.
“Bukanlah kebetulan kalau kerusakan ekosistem berkaitan dengan peningkatan yang signifikan terhadap jumlah penyakit menular. Ekosistem yang utuh memberikan perlindungan terhadap manusia. Penyakit menular baru seringkali disebabkan oleh kerusakan ekosistem alam dan perubahan aktivitas manusia,” paparnya.
dok IAR Indonesia Ibu dan anak orangutan korban kebakaran hutan dan lahan di Ketapang dilepasliarkan. Ibu dan anak orangutan korban kebakaran hutan dan lahan di Ketapang dilepasliarkan.
Dr drh Joko Pamungkas, Pengajar Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan Peneliti PSSP-IPB, menyebutkan ada beberapa hal yang menjadi pemicu penularan penyakit dari satwa liar ke manusia.
“Antara lain deforestasi, perubahan industri pertanian, degradasi habitat, dan fragmentasi habitat. Semuanya mendekatkan satwa liar pada manusia. Ini berkaitan dengan naluri mereka untuk bertahan sehingga menginvasi lingkungan lain dan pemukiman,” papar Joko dalam kesempatan yang sama.
Baca juga: Kebakaran Hutan Amazon Akibat Deforestasi, Ini Efeknya secara Global
Berdasarkan penelitian yang dimuat dalam jurnal Nature dari pemantauan selama 50 tahun (1950-2000), terdapat tiga kelompok satwa yang menularkan paling banyak penyakit pada manusia.
Tiga kelompok tersebut adalah kelelawar, hewan pengerat (tikus), dan primata.
Joko menyebutkan salah satu fokus permasalahan di Indonesia ada pada konsumsi satwa liar, seperti yang dilakukan di Sulawesi Utara.
“Mengonsumsi kelelawar, tikus, bahkan mengonsumsi macaca nigra (monyet hitam Sulawesi). Nilai ekonomis macaca nigra tidak mahal, sekitar Rp 50-60 ribu per kilogram. Ironis sekali, karena tidak sejalan dengan nilai konservasinya yang sangat tinggi,” papar ia.
Ketidakseimbangan ekosistem dan ulah manusia
Ir Wiratno M.Sc selaku Dirjen KSDAE Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan bahwa pandemi bisa terjadi akibat keseimbangan ekosistem.
Luc Montagnier, seorang ahli virologi asal Prancis pemenang Nobel pada 2008, pekan lalu mengatakan kepada media Prancis bahwa "ada manipulasi di sekitar virus ini ... Itu tidak alami. Ini adalah pekerjaan para profesional, ahli biologi molekuler."
Namun, menurut Olivier Schwartz, Kepala Departemen Virus dan Imunitas Institut Pasteur Prancis, penelitian menunjukkan dengan jelas bahwa Virus Corona baru bukan buatan manusia di laboratorium.
"Profesor Montagnier menyebarkan teori yang janggal," ujarnya kepada majalah mingguan Prancis L'Obs, yang sebelumnya dikenal sebagai Le Nouvel Observateur.
"SARS-CoV-2, virus yang menyebabkan penyakit COVID-19, tidak dibuat di laboratorium. Kami melihat ini dengan mempelajari warisan genetik virus itu, yang telah diurutkan oleh tim China dan kemudian diverifikasi di banyak laboratorium lain, termasuk Institut Pasteur," kata Schwartz.
"Virus ini jelas merupakan bagian dari pohon keluarga Virus Corona. Dia mirip dengan SARS-CoV-1, yang memiliki 80 persen homologi," jelasnya.
"Selain itu, virus serupa ditemukan pada sejumlah hewan yang berbeda, khususnya trenggiling dan kelelawar. Dan di sana, persentase kemiripannya lebih besar dari 95 persen. Jadi, dengan menyusun pohon keluarga dari virus ini, kita tahu bahwa itu berasal dari virus yang beredar di alam," katanya.
Ilustrasi virus corona yang ditemukan di Cina. (Shutterstock)
JAKARTA, AYOCIREBON.COM -- Peneliti dan wartawan sejak awal berspekulasi, bagaimana caranya virus corona jenis baru SARS-CoV-2 tiba-tiba muncul di Wuhan. Dugaan pertama, virus berasal dari pasar ikan yang juga menjual hewan liar. Tapi sejumlah media barat kini memberitakan, kemungkinan virusnya bocor dari Wuhan Institute of Virology yang berlokasi tidak jauh dari pasar ikan Wuhan.
Dilansir Republika, Rabu (22/4/2020), teori mengenai kemungkinan kebocoran dari laboratorium di Wuhan sudah menyebar lewat media sosial sejak bulan Januari silam. Tapi teori ini dicampur dengan teori konspirasi tentang riset rahasia senjata biologis oleh militer Cina.
Ketika itu, harian Washington Post membantah teori kemungkinan virusnya adalah hasil rekayasa manusia. Wawancara dengan sejumlah pakar virologi menyebutkan, melihat sifat virusnya, tertutup kemungkinan bahwa itu mutasi buatan manusia. Ini diperkuat dengan riset dari tim peneliti di bawah pimpinan Kristian G. Andersen, yang dilansir dalam jurnal ilmiah Nature Medicine terbitan 17 Maret.
Tambahan lagi, apa yang dikerjakan institut virologi di Wuhan tidak dirahasiakan dan hasil riset virus kelelewar yang dilakukan di sana, juga dipublikasikan dalam sejumlah jurnal ilmiah. Mitra peneliti barat juga terlibat dalam sejumlah topik peelitian. Galveston National Laboratory dari University of Texas juga merupakan mitra erat institut riset di Wuhan. Bahkan Amerika Serikat membiayai sejumlah penelitian di Wuhan, demikian lapor harian Inggris Daily Mail.
Namun semua fakta itu tidak menutup kemungkinan bahwa lewat penelitian di Wuhan itu ada virus yang terlepas dari laboratorium. Dalam jurnal ilmiahScience edisi akhir Januari, ada artikel yang meragukan tesis bahwa virus bisa menulari manusia di pasar ikan.
Salah satu penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal limiah The Lancet menunjukkan, dari 41 pasien pertama yang terinfeksi Covid-19, sebanyak 13 di antaranya tidak punya akses sama sekali ke pasar ikan.
Selain itu, sangat mungkin bahwa pasien zero atau pasien pertama yang terinfeksi sudah tertular virusnya pada bulan November 2019. Kasus-kasus pertama infeksi virus corona, sama sekali tidak punya kontak dengan pasar ikan, juga ditegaskan oleh Daniel Lucey, guru besar penyakit infeksi di Georgetown University Medical Center dalam wawancara untuk Science ketika itu.
Hal tersebut memicu pertanyaan, bagaimana virus datang ke Wuhan? Salah satu penjelasannya mengarah kepada pakar virologi, Profesor Shi Zhengli, yang melakukan penelitian virus kelelawar di Institut Wuhan. Terakhir awal Februari lalu, ia mempublikasikan artikel ilmiah tentang virus kelelawar dalam jurnal ilmiah Nature.
Artikel tentang potret ilmuwan ini muncul di harian South China Morning Post edisi 6 Februari. Disebutkan, periset ini melakukan pengambilan sampel kotoran kelelawar di gua-gua di 28 provinsi Cina. Di Wuhan, Pofesor Shi membangun arsip lengkap untuk virus kelelawar, seperti dilansir Spektrum dan Scientific American.
Awal 2019 Shi bersama timnya mempublikasikan hasil penelitian ekstensif tentang virus corona pada kelelawar. Laporan menyebut, kelelawar tapal kuda sebagai inang strain virus corona yang serupa dengan virus yang muncul kemudian di Wuhan.
Berkat kerja team yang dia pimpin itulah, para ilmuwan dapat melakukan sekuensi cepat genom virusnya, juga mempublikasikannya dengan cepat. Hal ini menciptakan peluang bersejarah yang tidak diduga sebelumnya, untuk mempercepat penelitian dan pembuatan vaksinnya.
Walau begitu, hingga beberapa minggu terakhir ini, Profesor Shi Zhengli terus menjadi sasaran serangan terus-menerus di media sosial di Asia maupun di kawasan lainnya di dunia. Hal tersebut memicu pembelaan dari rekan penelitinya, Peter Daszak pimpinan the EcoHealth Alliance, NGO di New York, yang berfokus pada riset ilmiah dan pencegahan pandemi.
Daszak mengatakan dalam sebuah wawancara dalam acara Democracy Now di National Public Radio, sebuah lembaga penyiaran publik di AS, bahwa tudingan virus bocor dari laboratorium di Wuhan adalah tidak berdasar. Ia menyebutkan, bekerja selama 15 tahun bersama laboratorium dan sama sekali tidak menyimpan virus SARS-CoV-2.
“Ini politisasi asal mula pandemi, yang sangat tidak menyenangkan, mengkaitkan asal-usul pandemi dengan laboratorium,” ujar Daszak.
Juga yang belakangan patut dicatat, pemerintah di Beijing melakukan pembatasan ketat pemberitaan tentang asal-usul virus corona. Bahkan kedutaan besar Cina di London bereaksi berang menanggapi artikel Daily Mail, dan menuduhnya “tidak berdasar.”
“Penelitian asal mula virus Covid-19 saat ini masih berjalan,” demikan kedutaan dalam pernyataan resmi.
Ilmuwan Sampai Lelah Menjelaskan Virus Corona Bukan Diciptakan di Laboratorium
Merdeka.com - Isu ini tidak akan hilang begitu saja. Ketika ditanya apakah virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan penyakit Covid-19 diciptakan di laboratorium, para ilmuwan sudah mengatakan "tidak", tapi masalah asal mula virus corona ini rupanya tidak bisa lenyap dengan mudah.
Pembahasan soal ini tampaknya makin ramai setelah intelijen pemerintah Amerika Serikat dilaporkan tengah menyelidiki dari mana sumber pandemi ini dengan menyoroti teori yang menyebut virus ini kemungkinan diciptakan di sebuah laboratorium, meski berbagai bukti menyatakan SARS-CoV-2 bukan buatan manusia.
"Semua bukti sejauh ini menyatakan fakta bahwa virus Covid-19 itu alamiah dan bukan buatan manusia," kata immunolog Nigel McMillan dari Institut Kesehatan Menzies, Queensland, seperti dilansir laman Science Alert, Senin (20/4).
"Jika Anda ingin merancangnya di sebuah laboratorium, perubahan rangkaian (kode genetik) menjadi tidak masuk akal karena semua bukti sebelumnya mengatakan hal itu bisa membuat virus menjadi lebih berbahaya. Tidak ada sistem di laboratorium yang bisa mengubah rangkaian itu."
Akhir Maret ada sebuah penelitian yang dipublikasikan di Nature Medicine. Para peneliti sedang menyelidiki data genom SARS-CoV-2, khususnya bagian domain pengikat reseptor (RBD) dari virus itu untuk mengetahui bagaimana virus corona ini bermutasi menjadi lebih mematikan seperti yang sedang kita alami saat ini. 1 dari 3 halaman
Hasil dari penelitian itu bisa menentukan bahwa SARS-CoV-2 tidak bisa dimanipulasi secara genetik.
"Dengan membandingkan rangkaian genom yang tersedia dari jenis virus corona yang ada, kita bisa dengan yakin mengatakan SARS-CoV-2 berasal dari proses alamiah," kata salah seorang peneliti, imunolog dari Scripps Research, Kristian Andersen, kala itu.
"Dua fitur dari virus corona, proses mutasinya pada saat RBD dari mahkota protein dan penyangganya yang cukup jelas, membantah soal manipulasi laboratorium sebagai asal mula SARS-CoV-2."
Meski sudah jelas virus corona ini tidak diciptakan di lab, namun muncul kekhawatiran virus ini 'kabur' dari sebuah fasilitas penelitian, dengan dugaan paling kuat dari Institut Virologi Wuhan (WIV). Namun hal itu masih sebatas spekulasi. Harian the Washington Post belum lama ini melaporkan, pejabat kedutaan AS menyoroti tentang faktor keselamatan di lab WIV pada 2018 dan WIV pada saat itu memang tengah meneliti virus kelelawar--namun hal itu masih jauh dari spekulasi.
"Kerabat dekat yang paling diketahui dari SARS-CoV-2 adalah virus kelelawar yang bernama RaTG13 dan itu disimpan di WIV. Ada spekulasi tak berdasar yang menyebut virus ini adalah asal dari SARS-CoV-2," jelas Edward Holmes, virolog ahli evolusi dari Universitas Sydney.
"Namun sampel RaTG13 itu diperoleh dari provinsi yang berbeda di China (Yunnan), bukan Hubei, lokasi pertama kali Covid-19 ditemukan dan perbedaan level rangkaian genom antara SARS-CoV-2 dengan RaTG13 itu setara dengan 50 tahun (paling sedikit 20 tahun) untuk proses perubahan evolusi."
Saat ini perlu dipahami bahwa virus corona ini bisa bermutasi secara alamiah di mana pun, baik di inang hewan, manusia, atau bahkan di lingkungan sel laboratorium. Sayangnya, sulit untuk mengetahui di mana dan bagaimana virus itu bisa bermutasi, meski para peneliti berpendapat proses itu melibatkan hewan sebagai inangnya.
Tak hanya itu, para peneliti juga masih menyelidiki proses mutasi yang menyebabkan pandemi ini terjadi sebelum atau setelah SARS-CoV-2 masuk ke tubuh manusia.
WIV yang menjadi pemicu kontroversi ini sudah berulang kali membantah sebagai sumber awal pandemi. Maret klalu kepala peneliti virus kelelawar di WIV, Shi Zhengli, menjelaskan kapan pertama kali dia menerima sampel dari pasien awal Covid-19, dia kemudian segera melakukan penyelidikan di laboratoriumnya dan tidak menemukan kesamaan antara virus di lab yang tengah ditelitinya dengan virus dari pasien Covid-19.
"Itu sangat membebani pikiran saya," kata dia kepada Scientific American. "Saya tidak tidur sekejap pun sampai berhari-hari."
Yang disepakati para ahli mengenai pandemi ini adalah kejadian ini bukanlah yang pertama kali. Para ilmuwan sudah bertahun-tahun memperingatkan pemerintah bahwa penyakit baru sudah di ambang mata dan banyak negara yang tidak siap sama sekali.
Contohnya, Direktur Institut Nasional Penyakit Alergi dan Menular AS, Anthony Fauci yang memperingatkan pemerintah AS pada Januari 2017 bahwa sebuah wabah mengejutkan akan tiba dan dia mendesak pemerintah melakukan persiapan.
"Kami sudah mengetahui bahwa akan ada virus corona lain, seperti SARS dan MERS sebelumnya, yang bisa menimbulkan pandemi dan karena itu kemunculan virus corona baru ini dengan potensi pandeminya sudah tidak aneh lagi," kata epidemolog Hassan Vally dari Universitas La Trobe.
"Kita harus hati-hati untuk tidak membantu mereka yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan krisis global ini untuk kepentingan politik dengan cara memberi mereka rumor-rumor semacam ini." [pan] Baca juga: Pemerintah di ASEAN Disebut Cenderung Otoriter dan Represif Merespons Pandemi Corona Ini Ramuan Herbal dari Madagaskar yang Diklaim Bisa Cegah Covid-19 WNI di Luar Negeri Juga Dilarang Mudik ke Tanah Air Ada Pendukung Trump di Balik Aksi Penolakan Lockdown di AS Ilmuwan China: Virus Corona Bermutasi Jadi 33 Jenis dan Lebih Mematikan Korea Utara Siaga Hadapi Corona Raja Salman Setuju Pembatasan Salat Tarawih di Masjidil Haram dan Nabawi Ulama Al-Azhar: Muslim Tidak Boleh Tinggalkan Puasa Meski Ada Pandemi Corona Hasil Penelitian: Hydroxychloroquine Tidak Terlalu Efektif Obati Covid-19 Cerita Bagaimana Seseorang Menulari Corona ke 9 Orang Lain di Sebuah Restoran China