- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menghadapi proses pemakzulan. Bahkan, Rabu (18/12/2019), pasal-pasal yang didakwakan padanya disetujui mayoritas di DPR AS Dari hasil pemungutan suara, mayoritas DPR yang dikuasai Demokrat menyetujui dua artikel pemakzulan Trump. Namun sayangnya, pada saat kejadian besar itu berlangsung, presiden kontroversial itu tidak ada di lokasi.Trump malah berpidato dalam kampanye kepresidenannya di Battle Creek, Michigan. Ia berpidato di depan sekitar 7.000 pendukungnya.Saat DPR dipenuhi hiruk-pikuk pemakzulan, Trump justru dikerumuni teriakan pendukungnya."Kami ingin Trump, kami ingin Trump," kata mereka sebelum Trump muncul untuk berpidato, sebagaimana dilaporkan AFP.Trump bahkan terlihat seperti sedang tidak dihadapkan pada masalah pemakzulan. Ia masih menjadi Trump biasanya yang berenergi tinggi, suka marah, suka bercanda, dan penuh dengan konspirasi.Namun, dalam kesempatan itu ia menyelipkan sedikit masalah pemakzulannya sebagai candaan."Demokrat menyatakan kebencian dan penghinaan mereka yang mendalam bagi pemilih Amerika," kata Trump di tengah sorak-sorai."Mereka telah mencoba untuk memakzulkan saya sejak hari pertama. Mereka telah mencoba memakzulkan saya sebelum saya mencalonkan diri," katanya.Setelahnya, Trump melemparkan senyuman bahagia pada pendukungnya yang meneriakkan dukungan untuk pencalonannya dalam pemilu 2020."Aku lebih suka berada di sini. Massa di sini hebat," katanya kepada para pendukungnya. "Anda menginspirasi."Hasil pemungutan suara di DPR resmi menjadikan Trump sebagai presiden AS ketiga yang dimakzulkan setelah Andrew Johnson dan Bill Clinton.Sebelumnya, dalam kasus penyelidikan impeachment ini, Trump didakwa atas dua pasal. Yakni penyalahgunaan kekuasaan dan upaya obstruksi (menghalang-halangi) kongres.Dalam voting pasal penyalahgunaan kekuasaan, anggota parlemen yang setuju pasal ini sebanyak 230 orang. Sementara yang menolak sebanyak 197.Sementara untuk pasal kedua, sebanyak 229 anggota parlemen setuju Trump sudah menghalang-halangi kongres. Sementara sisanya 197 tidak setuju.Namun begitu, Trump tidak dikeluarkan dari jabatannya. Sebab, setelah ini, artikel impeachment masih harus diperdebatkan di Senat AS.Senat akan mengadakan sidang dan pemungutan suara artikel impeachment-nya. Apabila mayoritas tidak setuju, Trump bisa tetap menjabat.Apabila mayoritas setuju, Trump akan dilengserkan dan Wakil Presiden Mike Pence akan mengambil alih jabatan.Sebagai catatan, mayoritas senat saat ini adalah Republik, yang mana adalah orang-orang partai Trump. Trump merupakan presiden dari Partai Republik.Saat ini, dari 100 anggota senat atau senator AS, 53 orang berasal dari Partai Republik dan 47 sisanya berasal dari Partai Demokrat. Untuk bisa melengserkan Trump dari jabatannya, dibutuhkan minimum 2/3 (67%) suara dari Senat AS.
[Gambas:Video CNBC]
Jakarta, CNN Indonesia -- Keputusan Dewan Perwakilan Amerika Serikat memakzulkan Presidendisambut keriuhan di antara sineas dan insan Hollywood. Sebagian gembira, namun ada juga yang menilai pemakzulan Trump tak akan memperbaiki kondisi Amerika Serikat.Trump dimakzulkan oleh DPR AS lewat dua sebab. Sebab pertama, sebanyak 230 anggota Dewan Perwakilan setuju bahwa Trump dianggap menyalahgunakan kewenangan.Sedangkan sebab kedua, AFP menyebutkan, setelah berdebat selama 10 jam dalam rapat, 229 orang anggota Dewan Perwakilan sepakat memakzulkan Trump karena dinilai merendahkan kewenangan Kongres.Peristiwa ini serta merta menarik perhatian para selebriti dan sineas Hollywood. Aktris senior Bette Midler cukup bercuit dengan satu kata di Twitter untuk mengungkapkan pendapat."Pemakzulan," katanya, Kamis (19/12).Aktris Alyssa Milano berkata dirinya sedih melihat momen tersebut. Ia mengaku telah mengharapkan pemakzulan terjadi, namun dalam versi lebih ceria."Tapi saya sedih dan patah hati. Apa yang ia [Trump] tinggalkan tak dapat dihapus dengan voting ini. Kefanatikan dan xenofobia yang ia anut. Kebohongan," kata Milano, menambahkan bahwa akan membutuhkan bertahun-tahun untuk memulihkan hal itu.Sineas Rob Reiner mengungkapkan pemakzulan Trump ini tampak tidak tepat sasaran, karena sang presiden 'berkomitmen terhadap Kejahatan Tingkat Tinggi', bukan lantaran sejumlah tindakan lain yang dinilai sebagai kesalahan."Presiden dimakzulkan bukan karena dia seorang pembohong atau seorang yang tak bermoral atau misoginis atau seorang nasionalis berkulit putih atau tidak berkompeten atau bodoh. Dia dimakzulkan karena berkomitmen kepada Kejahatan Tingkat Tinggi Tentang Penyalahgunaan Kekuasaan," ujar Reiner.Komedian Hari Kondabolu menulis bahwa 'pemakzulan itu tidak benar-benar mengubah apapun tentang AS, namun lebih menyerupai sebuah simbol kemenangan yang disukai Demokrat'.Solois Victoria Monet pun tak dapat menahan diri. Ia ikut merayakan dengan bercuit, "Donald Trump telah dimakzulkan! Akhirnya! Semakin dekat untuk menyingkirkan orang berkulit oranye!"Sebagian besar anggota Dewan Perwakilan dari Demokrat pun disebut mendukung pemakzulan Trump. Mereka menyatakan bahwa kelakuan Trump selama di Gedung Putih sudah memenuhi syarat untuk dimakzulkan.Kejadian ini menempatkan Trump sebagai presiden ketiga AS yang menghadapi voting pemakzulan di Dewan Perwakilan. Trump selanjutnya akan disidang Senat. Senat, yang didominasi Partai Republik, membutuhkan suara minimal dua pertiga untuk benar-benar memakzulkan dan mendepak Trump dari Gedung Putih.
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump resmi dimakzulkan oleh DPR negaranya. Voting dilaksanakan pada Rabu, 18 Desember 2019, dan Partai Demokrat berhasil meloloskan dua pasal untuk pemakzulan Donald Trump.
Senator Partai Republik langsung ramai-ramai pasang badan agar Trump tidak lengser.
Para senator Partai Republik memberikan dukungan pada Presiden Trump via Twitter. Ada senator yang menyebut pemakzulan adalah sirkus dan motif Partai Demokrat dalam pemakzulan hanyalah kebencian.
Kasus pemakzulan ini akan diteruskan ke Senat agar Trump bisa lengser. Proses ini pun terancam gagal karena Senat dikuasai senator pendukung Trump.
"Sungguh memalukan bahwa sejak presiden ini terpilih, para Demokrat berusaha memakzulkan Presiden AS. Tindakan ini tidak perlu dan tidak produktif. Senat akan mengakhiri sandiwara ini!" ujar Senator Rand Paul dari Kentucky.
Senator Rick Scott dari Florida mengecam pemakzulan ini sebagai sirkus belaka. Fokus Partai Demokrat pun dianggap hanya kepentingan politik, bukan hal produktif untuk negara.
"Sirkus pemakzulan ini bukanlah apa-apa, melainkan politik partisan," ujar Scott. "Voting hari ini hanya memperkuat bahwa anggota Demokrat tidak terlalu peduli tentang apa yang benar-benar penting bagi rakyat Amerika."
Senator Josh Hawley dari Missouri sampai menyebut pemakzulan ini sebagai lelucon. Pemakzulan ini juga tak mendapat dukungan kedua partai. Ia juga menyindir Ketua DPR Nancy Pelosi yang belum menunjuk manajer pemakzulan yang bertugas mengawal kasus ini ke Senat.
"Sekarang mereka justru tak punya nyali untuk menguji tuduhan mereka? Apakah mereka membuat negara ini kacau hanya demi hiburan mereka sendiri?" tanya Hawley.
Liputan6.com, Jakarta Hasil Voting DPR AS memutuskan untuk memakzulkan Presiden Trump. Tapi Trump tidak langsung lengser dari posisinya, ia akan menjalani sidang Senat.
Presiden AS Donald Trump bersalaman dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. (AP/Martinez Monsivais)
Pesawat Sukhoi SU-35 yang rencananya dibeli dari Federasi Rusia tak kunjung tiba di Republik Indonesia. Pihak Rusia pun curiga ada intervensi pihak ketiga yang berupaya mempengaruhi keputusan pembelian pesawat itu.
Amerika Serikat (AS) diduga mencegah pembelian senjata dari Rusia lewat taktik pemberian sanksi. Beberapa negara pun sudah ditegur AS karena tertarik membeli senjata Rusia. Menurut pihak Rusia, hal tersebut adalah perkara bisnis karena AS juga menjual senjata.
"Seperti kasus Turki, kasus India, dan kasus China, Amerika Serikat mencoba mencegah negara-negara sahabat kami untuk bekerja sama dengan Rusia di ranah militer dan teknis," ujar Oleg V. Kopylov, Deputy Chief of Mission Kedutaan Besar Rusia untuk Republik Indonesia di Jakarta, Rabu (18/12/2019).
Simak selengkapnya di sini..
TEMPO.CO , Jakarta - Presiden Amerika Serikat Donald Trump bereaksi ketika pada Jumat, 13 Desember 2019 DPR menyetujui dua tuntutan untuk memakzulkannya. DPR Amerika Serikat dikuasai oleh rival politik, Partai Demokrat. “Pemakzulan itu berita bohong. Ini sebuah kepalsuan. Tidak ada hal salah yang saya lakukan. Menggunakan wewenang pemakzulan untuk hal tidak masuk akal ini sungguh memalukan bagi negara ini,” kata Trump dari Gedung Putih tak lama setelah pemungutan suara selesai dilakukan. Dikutip dari reuters.com, Presiden Amerika Serikat itu mengatakan masyarakat sudah jijik dengan segala proses permohonan pemakzulan ini yang tanpa disadari menguntungkan Trump. “Ini hal yang sungguh menyedihkan bagi negara kita, namun tampaknya ini bagus buat saya secara politik,” kata Trump.
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump (kanan), dan anggota DPR AS, Adam Schiff, kiri. Fox News Permohonan pemakzulan terhadap Trump muncul ketika pada Juli 2019 Trump melakukan pembicaraan per telepon dengan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskiy. Dalam pembicaraan itu, Trump meminta Zelenskiy menginvestigasi Biden. Dalam sidang sesi dengar di Washington, DPR yang dikuasai Partai Demokrat menuduh Presiden Trump telah membahayakan Konstitusi negara, membahayakan keamanan nasional dan merusak integritas pemilu 2020 lewat tindakannya itu. Hunter Biden, putra Joe Biden, pernah bekerja di sebuah perusahaan bidang energi di Ukraina. Dia dituduh telah mengambil keuntungan pribadi untuk keluarganya dari sejumlah peluang bisnis. Namun Hunter berkeras, tidak melakukan hal yang salah terkait pekerjaannya di Ukraina dan Cina. Sedangkan Joe Biden saat ini saingan terberat Trump dalam pemilu 2020.
Jakarta, CNN Indonesia -- Juara dunia kelas welter UFC Kamaru Usman berhasil membungkam Colby Covington yang merupakan petarung pendukung Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada UFC 245 , Minggu (15/12) siang WIB. Usman sukses mempertahankan gelar kelas welter UFC dengan kemenangan TKO atas Covington di ronde kelima. Ini adalah kemenangan ke-11 beruntun Usman di UFC, membuat petarung asal Nigeria itu mendekati rekor Khabib Nurmagomedov (12 kemenangan).
Kemenangan atas Covington membuat Usman berhasil membungkam petarung yang dianggap arogan dan banyak omong. Covington juga banyak mendapat kritikan karena secara terang-terangan mendukung Donald Trump. Petarung 31 tahun itu kembali menunjukkan dukungan terhadap Trump jelang melawan Usman. Mantan juara dunia interim kelas welter UFC itu sering memakai topi MAGA (Make America Great Again) dalam konferensi pers jelang pertarungan. Bahkan beberapa jam sebelum pertarungan melawan Usman, Covington mendapat dukungan dari dua putra Donald Trump: Eric Trump dan Donald Trump Jr. [Gambas:Twitter] Tidak hanya berhasil mengalahkan Covington, Usman juga membuat petarung asal Amerika Serikat itu terluka. Dikutip dari ESPN , Covington mengaku rahangnya retak kepada tim pelatih usai ronde ketiga berakhir. Covington dikabarkan langsung dibawa ke rumah sakit usai pertarungan UFC 245. Menariknya, Covington menganggap wasit Marc Goddard telah melakukan kesalahan dengan memberi kemenangan TKO kepada Usman. Covington mengaku belum menyerah melawan Usman meski sudah mendapat sasaran pukulan ketika terkapar di octagon.
Colby Covington menuduh wasit Marc Goddard telah merampoknya. (AP Photo/John Locher)
"Biasanya orang melakukan kebodohan di kamar, bukan di octagon. Saya dirampok. Kamu [Goddard] merusak pertarungan yang adil. Kamu harusnya malu. Wasit palsu," tulis Covington di Twitter.
Goddard mendapat dukungan Presiden UFC Dana White usai pertarungan. White mengatakan keputusan yang diambil wasit asal Inggris itu sudah tepat. "Goddard menghentikan pertarungan saat menyisakan 50 detik, dan juri juga sudah melihatnya. Covington bertarung positif dan mendominasi paruh pertama pertarungan. Tentu, keputusan [Goddard] bagus," ucap White. [Gambas:Video CNN] Usman sendiri mengaku senang bisa mengalahkan Covington. Petarung 32 tahun itu senang akhirnya bisa membungkam Covington yang dianggapnya banyak omong sepanjang jelang pertarungan.
"Ini alasan kenapa saya petarung terbaik di dunia, karena saya kuat secara mental. Ini kemenangan bukan hanya untuk saya, tapi untuk seluruh dunia," ujar Usman dikutip dari MMA Fighting . (har/bac)
Reporter: Non Koresponden
Presiden AS Donald Trump berfoto bersama tentara AS usai makan malam saat perayaan Thanksgiving di Bagram Air Base, Afganistan, 28 November 2019. REUTERS/Tom Brenner
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintahan Donald Tump berencana mengumumkan penarikan 4.000 pasukan AS di Afganistan.
Rencana pengumuman ini pertama kali dilaporkan NBC News, 15 Desember 2019. Penarikan 4.000 pasukan AS dari Afganistan akan menyisakan antara 8.000 sampai 9.000 pasukan di sana.
Kepada CNN, pejabat mengatakan pengumuman itu bisa datang paling cepat minggu depan, menurut pejabat, namun pejabat mengatakan waktunya masih bisa berubah.
Gedung Putih dan Pentagon tidak berkomentar terkait pengumuman ini.
Trump sebelumnya mengindikasikan bahwa ia bermaksud menarik beberapa ribu tentara dari Afganistan, di mana antara 12.000 hingga 13.000 tentara AS saat ini bertugas dalam perang berusia 18 tahun.
"Kami akan menurunkan jumlah pasukan ke angka 8.600 dan kemudian kami membuat keputusan dari sana tentang apa yang terjadi," kata Trump kepada Fox News Radio pada bulan Agustus. "Kami akan menurunkan jumlahnya."
Presiden AS Donald Trump berbincang sembari mengambil hidangan makan malam bersama tentara AS saat perayaan Thanksgiving di Bagram Air Base, Afganistan, 28 November 2019. REUTERS/Tom Brenner
Rencana itu akan diumumkan hanya beberapa hari setelah Perwakilan Khusus untuk Rekonsiliasi Afganistan Zalmay Khalilzad bergabung kembali dalam pembicaraan diplomatik dengan Taliban, yang telah gagal pada September. Pada hari Kamis, Duta Besar Khalilzad mengatakan AS mengambil jeda singkat dalam pembicaraan setelah serangan hari Rabu di dekat Lapangan Terbang Bagram menewaskan dua warga sipil Afganistan dan melukai 70 lainnya.
Para pejabat tidak akan mengatakan kapan penarikan akan dimulai, tetapi mencirikannya sebagai penarikan bertahap yang akan terjadi selama beberapa bulan. Dua pejabat AS mengatakan penarikan akan merupakan kombinasi dari penempatan kembali pasukan lebih awal dan yang lainnya tidak digantikan ketika mereka mundur.
Presiden Donald Trump telah mendorong untuk penarikan pasukan dari Afganistan untuk beberapa waktu, termasuk selama kunjungannya baru-baru ini ke Afganistan pada hari Thanksgiving, kunjungannya yang pertama sebagai panglima tertinggi.
Rencana penarikan datang tak lama setelah Washington Post menerbitkan "The Afghanistan Papers: A secret history of the war" pada 9 Desember, sebuah dokumen 2.000 lebih halaman berisi wawancara 400 orang yang terlibat dalam Perang Afganistan, mulai dari jenderal, diplomat, pekerja bantuan, dan pejabat Afganistan. Mereka mengatakan Amerika telah gagal memenangkan Perang Afganistan.
Donald Trump juga mengkritik kemajuan pasukan AS dalam Perang Afganistan selama beberapa tahun, tetapi ia enggan menyetujui menambah jumlah pasukan AS di sana.
Jakarta - Aktor Robert De Niro geram dengan tingkah laku anak-anak Donald Trump . Selama menghadiri sebuah acara dan bertemu dengan keluarga orang nomor satu di AS itu, De Niro menyebut anak-anak Trump berperilaku seperti gangster. "Saya tidak ingin anak-anak saya mengambil cara yang salah dalam hidupnya, tapi kalau anak-anak saya melakukan cara seperti mereka (anak-anak Trump), saya tidak ingin berhubungan lagi dengan mereka," ucap sang aktor dilansir dari FOX, Selasa (17/12/2019).
Bahkan ia menyebut perilaku anak-anak Trump seperti gangster, bukan masyarakat pada umumnya. "Mereka seperti ganster. Saya akan menolak mereka kalau itu adalah anak-anakku," katanya lagi. Sebelumnya ia juga pernah menyebutkan Presiden AS itu sebagai seorang badut yang akan menghandurkan negara ini. De Niro juga kerap blak-blakan mengenai opninya tentang Trump. Pada Juni 2018, ia juga pernah mendapat perhatian presiden dengan menyebutkan Trump punya IQ rendah. Ucapan itu dilontarkan De Niro lewat Twitter pribadinya.
Simak Video " Lambaian Tangan Trump ke Wartawan Usai Dimakzulkan DPR AS "
House Speaker Nancy Pelosi of Calif., announces the passage of the first article of impeachment, abuse of power, against President Donald Trump by the House of Representatives at the Capitol in Washington, Wednesday, Dec. 18, 2019. (House Television via AP)
House Speaker Nancy Pelosi of Calif., announces the passage of the first article of impeachment, abuse of power, against President Donald Trump by the House of Representatives at the Capitol in Washington, Wednesday, Dec. 18, 2019. (House Television via AP)
WASHINGTON (AP) — President Donald Trump was impeached by the U.S. House of Representatives Wednesday night, becoming only the third American chief executive to be formally charged under the Constitution’s ultimate remedy for high crimes and misdemeanors.
The historic vote split along party lines, much the way it has divided the nation, over a charge that the 45th president abused the power of his office by enlisting a foreign government to investigate a political rival ahead of the 2020 election. The House then approved a second charge, that he obstructed Congress in its investigation.
The articles of impeachment, the political equivalent of an indictment, now go to the Senate for trial. If Trump is acquitted by the Republican-led chamber, as expected, he still would have to run for reelection carrying the enduring stain of impeachment on his purposely disruptive presidency.
“The president is impeached,” Pelosi declared after the vote. She called it “great day for the Constitution of the United States, a sad one for America that the president’s reckless activities necessitated us having to introduce articles of impeachment.”
Trump, who began Wednesday tweeting his anger at the proceedings, pumped his fist before an evening campaign rally in Battle Creek, Michigan, boasting of “tremendous support” in the Republican Party.
“By the way,” he told the crowd, “it doesn’t feel like I’m being impeached.”
The mood in the House chamber shifted throughout the day as the lawmakers pushed toward the vote. Democrats spun lofty speeches, framing impeachment as what many said was their duty to protect the Constitution and uphold the nation’s system of checks and balances. Republicans mocked and jeered the proceedings, as t hey stood by their party’s leader, who has frequently tested the bounds of civic norms.
The start of Trump’s Michigan rally was delayed as the voting was underway in Washington but once he took the stage he boasted of accomplishments and complained bitterly about his foes for two hours, defiant rather than contrite. He called Pelosi names and warned the impeachment would be politically disastrous for Democrats. He has called the whole affair a “witch hunt,” a “hoax” and a “sham,” and sometimes all three.
Pelosi, once reluctant to lead Democrats into a partisan impeachment, gaveled both votes closed, seeing the effort to its House conclusion, even at risk to her majority and her speakership.
No Republicans voted for impeachment, and Democrats had only slight defections on their side. The votes for impeachment were 230-197-1 on the first charge, 229-198-1 on the second. To mark the moment, voting was conducted manually with ballots.
While Democrats had the majority in the House to impeach Trump, a vote of two-thirds is necessary for conviction in the Republican-controlled Senate. The trial is expected to begin in January, but Pelosi was noncommittal about sending the House articles over, leaving the start date uncertain. Senate leaders are expecting to negotiate details of the trial, but Democrats are criticizing Senate Majority Leader Mitch McConnell for saying he won’t be an impartial juror and already knows the outcome.
What Pelosi called a sad and solemn moment for the country, coming in the first year after Democrats swept control of the House, unfolded in a caustic daylong session that showcased the nation’s divisions.
The House impeachment resolution laid out in stark terms the articles of impeachment against Trump stemming from his July phone call when he asked the Ukrainian president for a “favor” — to announce he was investigating Democrats including potential 2020 rival Joe Biden.
At the time, Zelenskiy, new to politics and government, was seeking a coveted White House visit to show backing from the U.S. as he confronted a hostile Russia at his border. He was also counting on $391 million in military aid already approved by Congress. The White House delayed the funds, but Trump eventually released the money once Congress intervened.
Narrow in scope but broad in its charges, the impeachment resolution said the president “betrayed the nation by abusing his high office to enlist a foreign power in corrupting democratic elections,” and then obstructing Congress’ oversight like “no president” in U.S. history.
“President Trump, by such conduct, has demonstrated that he will remain a threat to national security and the Constitution if allowed to remain in office,” it said.
Republicans argued that Democrats were impeaching Trump because they can’t beat him in 2020.
Said Rep. Chris Stewart of Utah: “They want to take away my vote and throw it in the trash.”
But Democrats warned the country cannot wait for the next election to decide whether Trump should remain in office because he has shown a pattern of behavior, particularly toward Russia, and will try to corrupt U.S. elections again.
“The president and his men plot on,” said Chairman Adam Schiff, D-Calif., of the Intelligence Committee that led the inquiry. “The danger persists. The risk is real.”
The outcome brings the Trump presidency to a milestone moment that has been building almost from the time the New York businessman-turned-reality-TV host unexpectedly won the White House in 2016 amid questions about Russian interference in the U.S. election.
Democrats drew from history, the founders and their own experiences, including as minorities, women and some immigrants to the U.S., who spoke of seeking to honor their oath of office to uphold the Constitution. Rep. Lou Correa of California delivered his comments in English and Spanish asking God to unite the nation. “In America,” said Hakeem Jeffries of New York, “no one is above the law.”
Republicans aired Trump-style grievances about what Arizona Rep. Debbie Lesko called a “rigged” process.
“We face this horror because of this map,” said Rep. Clay Higgins of Alabama before a poster of red and blue states. “They call this Republican map flyover country, they call us deplorables, they fear our faith, they fear our strength, they fear our unity, they fear our vote, and they fear our president.”
The political fallout from the vote will reverberate across an already polarized country with divergent views of Trump’s July phone call when he asked Zelenskiy to investigate Democrats in the 2016 election, Biden and Biden’s son Hunter, who worked on the board of a gas company in Ukraine while his father was the vice president.
Trump has repeatedly implored Americans to read the transcript of the call he said was “perfect.” But the facts it revealed, and those in an anonymous whistleblower’s complaint that sparked the probe, are largely undisputed.
More than a dozen current and former White House officials and diplomats testified for hours in impeachment hearings. The open and closed sessions under oath revealed what one called the “irregular channel” of foreign policy run by Trump’s personal lawyer Rudy Giuliani, which focused on investigating the Bidens and alternative theories of 2016 election interference.
The question for lawmakers was whether the revelations amounted to impeachable offenses.
Few lawmakers crossed party lines.
On the first article, abuse of power, two Democrats, Jeff Van Drew of New Jersey, who is considering switching parties to become a Republican, and Collin Peterson of Minnesota voted against impeaching Trump. On the second article, obstruction, those two and freshman Rep. Jared Golden of Maine voted against. Democratic Rep. Tulsi Gabbard of Hawaii, who is running for president, voted “present” on both.
Van Drew sat with Republicans. And Rep. Justin Amash, the Michigan conservative who left the Republican party and became an independent over impeachment, voted with Democrats. “I come to this floor, not as a Republican, not as a Democrat, but as an American,” he said.
Beyond the impeachments of Andrew Johnson and Bill Clinton, this first impeachment of the 21st century is as much about what the president might do in the future as what he did in the past. The investigation of Richard Nixon ended when he resigned rather than face the House vote over Watergate.
Rank and file Democrats said they were willing to lose their jobs to protect the democracy from Trump. Some newly elected freshmen remained in the chamber for hours during the debate.
Top Republicans, including Rep. Devin Nunes on the Intelligence Committee, called the Ukraine probe little more than a poor sequel to special counsel Robert Mueller’s investigation of Russian interference in the 2016 election.
Mueller spent two years investigating the potential links between Moscow and the Trump campaign but testified in July that his team could not establish that Trump conspired or coordinated with Russia to throw the election. Mueller did say he could not exonerate Trump of trying to obstruct the investigation, but he left that for Congress to decide.
The next day, Trump called Ukraine. Not quite four months later, a week before Christmas, Trump was impeached.
__
Associated Press writers Laurie Kellman, Matthew Daly, Alan Fram and Andrew Taylor in Washington and Darlene Superville in Battle Creek, Michigan, contributed to this report.