Liputan6.com, Jakarta - Video berjudul ' Prabowo Tidak Akan Menang Pemilu di MK' milik Wasekjen Partai Amanat Nasional (PAN) Faldo Maldini menjadi sorotan. Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno pun bereaksi soal itu.
Wakil Ketua BPN Prabowo -Sandiaga, Priyo Budi Santoso menyatakan menghormati pendapat Faldo Maldini dalam video tersebut.
Namun Priyo memilih tidak berkomentar lebih lanjut mengenai video itu, dan menyerahkan sepenuhnya soal Faldo dari segi etika dan tata krama sebagai anggota sesama koalisi kepada publik.
"Faldo dari PAN adalah andalan juru bicara dari 02. Sekarang komentarnya seperti itu ya terserah, saya enggak ikut-ikutan, saya menghormati," ujar Priyo seperti dikutip Antara, Senin 17 Juni 2019.
Faldo dalam video berdurasi 8 menit 40 detik, memprediksi pasangan calon nomor urut 02 Prabowo -Sandi tidak akan memenangkan sidang sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK).
Video tersebut dibagikannya dan diunggahnya ke kanal Youtube serta media sosial Twitter miliknya.
JAKARTA, KOMPAS.com — Sidang pendahuluan sengketa pilpres telah digelar pada Jumat (14/6/2019) pekan lalu.
Dalam sidang tersebut, sebagai pemohon, tim hukum pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno membacakan permohonan gugatan.
Komisi Pemilihan Umum sebagai termohon dan tim hukum paslon nomor urut 01 Jokowi-Ma'ruf sebagai pihak terkait juga hadir dalam persidangan tersebut.
Pada sidang perdana, KPU dan tim hukum 01 belum mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan jawaban atas isi permohonan tim hukum 02.
Sejak awal, banyak dinamika yang terjadi dalam persidangan.
Dinamika persidangan ini bahkan berujung pada berubahnya jadwal sidang lanjutan.
Berikut ini sejumlah hal menarik yang terjadi pada sidang pendahuluan sengketa pilpres:
Saat membuka persidangan, Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman menyampaikan dengan tegas bahwa sembilan hakim konstitusi tidak pernah takut dan tunduk kepada siapa pun. MK tidak dapat diintervensi oleh siapa pun.
"Seperti yang pernah kami sampaikan bahwa kami tidak tunduk pada siapa pun dan tidak takut pada siapa pun," ujar Anwar.
Menurut Anwar, MK merupakan lembaga independen yang terpisah dari tiga lembaga kekuasaan lain, seperti Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung.
Anwar meyakinkan bahwa dalam memutus perkara hasil pemilihan umum, MK akan bersikap independen dan memutus sesuai konstitusi.
Baca juga: Ketua MK: Kami Tidak Tunduk dan Takut Siapapun
Pakar hukum tata negara Bayu Dwi Anggono mengatakan pernyataan itu seolah ditujukan kepada tim hukum 02. Sebab, tim hukum 02 pada awal pendaftaran sempat meminta MK bisa menempatkan diri agar tidak jadi bagian dari rezim korup.
"Pernyataan kuasa hukum 02 bahwa MK bagian rezim tertentu itu dijawab tuntas, cash , oleh majelis hakim," ujar Bayu.
Apalagi di media sosial sudah mulai muncul tuduhan untuk para hakim MK. Bayu mengaku pernah melihat unggahan di medsos berupa foto Ketua MK sedang bersalaman dengan Presiden Jokowi saat disumpah. Kemudian, muncul anggapan bahwa MK tunduk kepada pemerintah.
"Ini yang dijawab hakim bahwa MK adalah kekuasaan yang mandiri dan tidak tunduk pada siapa pun," kata Bayu.
Ketua MK Anwar Usman mempersilakan tim hukum 02 membacakan isi permohonannya, bertolak pada dokumen yang didaftarkan ke MK pertama kali, yaitu pada 24 Mei 2019.
Namun, pada kenyataannya, tim hukum 02 membacakan isi permohonan perbaikan yang mereka serahkan ke MK pada 10 Juni.
Dua dokumen tersebut berbeda jauh. Pada dokumen permohonan yang pertama, isinya hanya 37 halaman, sedangkan permohonan yang baru isinya mencapai 147 halaman.
Baca juga: Yusril: Yang Dibacakan Tim 02 Bukan Perbaikan Gugatan, tetapi Permohonan Baru
Jumlah petitumnya yang semula hanya tujuh kini menjadi 15 poin. Termohon dan pihak terkait telah mencoba menyampaikan interupsi di tengah persidangan.
Namun, hakim memutuskan untuk menolak dan mempersilakan tim hukum 02 menyelesaikan penyampaian permohonannya.
Hal menarik lain adalah isi petitum dari permohonan gugatan tim hukum 02 salah satunya adalah meminta MK menetapkan Prabowo-Sandiaga sebagai pemenang pilpres.
Kemudian, menetapkan bahwa hasil suara yang sah adalah versi pemohon, yaitu 52 persen untuk Prabowo-Sandi dan 48 persen untuk Jokowi-Ma'ruf.
Namun, pada dua jam pertama, tim hukum 02 justru fokus membacakan tuduhan soal kecurangan pemilu yang terstruktur, sistematis, dan masif.
Baca juga: Tim Hukum Minta MK Nyatakan Suara Prabowo-Sandiaga 52 Persen, Jokowi-Maruf 48 Persen
Hal ini dianggap tidak wajar oleh pakar hukum tata negara Bayu Dwi Anggono. Menurut dia, seharusnya konstruksi permohonan dimulai dari penjelasan soal kesalahan penghitungan yang dilakukan termohon terlebih dahulu.
"Harusnya itu yang diulang panjang lebar. Tetapi saya amati ternyata hampir dua jam pertama bukan malah bicara bagaimana kesalahan hitung terjadi dan kenapa yang benar itu penghitungan pemohon. Tapi malah kenapa MK itu berwenang mengurus kecurangan pemilu," ujar Bayu.
Sementara itu, argumen mengenai kesalahan hitung oleh KPU hanya dijelaskan selama 30 menit.
Pembacaan permohonan versi 10 Juni yang dilakukan oleh tim hukum 02 menimbulkan perdebatan pada akhir persidangan.
Pengacara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan juga pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 01 Jokowi-Ma'ruf protes meminta hakim untuk memutuskan status perbaikan gugatan yang diajukan tim hukum Prabowo-Sandiaga.
Keduanya mempertanyakan apakah dokumen perbaikan itu bisa dijadikan acuan dalam proses sidang sengketa pilpres ini.
"Kami paham majelis akan putuskan perkara ini sebijaksana mungkin. Tetapi kalau boleh, ada baiknya sekarang ada musyawarah majelis untuk memutuskan yang mana (yang dipakai)? Yang awal atau yang kedua supaya ada kejelasan," ujar Ketua Tim Hukum 01 Yusril Ihza Mahendra.
Baca juga: Hakim MK Minta Perbaikan Permohonan Prabowo-Sandi Tak Dipersoalkan
Sebab, hal ini berkaitan dengan jawaban tim hukum 01 sebagai pihai terkait. Yusril mengatakan, pihaknya harus memastikan gugatan mana yang harus dijawab.
Hal yang sama disampaikan oleh pengacara KPU, Ali Nurdin. Ia mengatakan kepastian mengenai status perbaikan gugatan ini penting untuk KPU. Sebab, KPU harus menyiapkan bukti serta saksi sesuai yang tercantum dalam gugatan Prabowo-Sandi.
Persiapan saksi ini butuh kepastian karena saksi didatangkan dari seluruh Indonesia.
"Kami percaya MK bisa memutuskan secara adil. Tetapi lebih baik keputusan itu dilakukan di depan karena menyangkut persiapan kami terkait saksi dari seluruh kota di Indonesia karena cakupannya sangat banyak," kata Ali.
KPU pun sempat meminta waktu yang lebih panjang untuk menyampaikan jawaban atas permohonan 02. Sidang sempat diskors setelah perdebatan itu.
Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengabulkan sebagian permohonan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pihak terkait dalam sidang pendahuluan sengketa hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019.
Awalnya, kuasa hukum KPU sebagai termohon meminta pihaknya dapat memberikan jawaban atas dalil permohonan yang diajukan tim hukum pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno selaku pihak pemohon pada Rabu (19/6/2019).
Sementara sidang lanjutan dengan agenda mendengar jawaban dari KPU dan tim hukum pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin dijadwalkan pada Senin (17/6/2019).
Baca juga: Selasa Pekan Depan, KPU dan Tim Hukum Jokowi Berikan Jawaban atas Sengketa Pilpres
Terkait hal itu majelis hakim MK akhirnya memutuskan untuk menggelar sidang lanjutan pada Selasa ( 18/6/2019).
"Permohonan termohon dikabulkan sebagian. Artinya tidak perlu hari Senin tapi hari Selasa," ujar Ketua MK Anwar Usman.
Dengan demikian, jawaban dari KPU harus diserahkan paling lambat sebelum MK menggelar sidang lanjutan pukul 09.00 WIB.
Akibat pengunduran jadwal tersebut, kata Anwar, akan terjadi perubahan jadwal sidang berikutnya.
Jadwal sidang berikutnya akan segera dikirimkan ke seluruh pihak yang berperkara melalui kepaniteraan MK.
"Dengan adanya pengunduran persidangan hari Senin itu jadi hari Selasa, jadwal bergeser semua dan nanti oleh kepaniteraan akan diserahkan kepada para pihak perubahan jadwal keseluruhannya, pembuktian dan lain-lain," kata Anwar.
Infografik: Jadwal Sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi
KPU mempertanyakan sikap Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perbaikan berkas gugatan tim hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dalam sengketa Pilpres 2019. KPU menyebut MK tidak memberikan kejelasan terkait aturan yang digunakan. "Jelas-jelas peraturan MK nya menentukan tidak ada masa perbaikan, nah kalau seperti ini kan kita jadi bingung. MK ini mengikuti aturan apa? Hukum acaranya, hukum acara apa? Hukum acara yang disusun MK sendiri mengatakan begitu, tetapi ini sampai dengan sidang pendahuluan kemarin MK tidak memberikan kejelasan di mana," ujar komisioner KPU Hasyim Asyari di kantor KPU, Jl Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Senin (17/6/2019). Menurut Hasyim, MK tidak memberikan ketegasan terkait permohonan gugatan mana yang digunakan dalam persidangan. Hasyim menyebut hal ini menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian.
"MK-nya nggak pernah memberikan ketegasan tentang apakah menggunakan permohonan 24 Mei atau 10 Juni, ini kan bagi KPU membingungkan, menimbulkan ketidakpastian hukum," kata Hasyim. Hasyim mengatakan, dalam hukum acara MK, ditentukan batas daftar gugatan, yaitu selama 3 x 24 jam. Hal ini berarti batas disampaikannya gugatan pada 24 Mei 2019. "Ini yang di bagian awal KPU mengajukan komplain keberatan, ini hukum acara yang sudah diatur peraturan Mahkamah Konstitusi itu ditentukan bahwa yang namanya pendaftaran gugatan itu 3 x 24 jam," ujar Hasyim. "Terhitung sejak apa? Penetapan hasil pemilu secara nasional oleh KPU, nah faktanya yang dilakukan KPU tanggal 21 Mei 2019 penetapan hasil pemilu secara nasional, mestinya batas pendaftaran 24 Mei 2019," sambungnya. Selain itu, menurutnya, dalam aturan MK tidak ada jadwal perbaikan permohonan. Hasyim menyebut perbaikan hanya diperbolehkan dalam gugatan DPR/DPRD. "Di peraturan MK nggak ada jadwal untuk perbaikan permohonan, beda dengan pemilu DPR. Kalau DPR/DPRD itu ada dijadwalkan khusus kapan perbaikannya, perbaikan itu paling lambat 31 Mei 2019," kata Hasyim. Simak juga video Hanya Diberi 3 Hari Untuk Siapkan Jawaban, KPU: Tidak Adil: [Gambas:Video 20detik]
JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Tim Hukum pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Nicholay Aprilindo mengungkapkan, pihaknya berupaya mencegah potensi munculnya ancaman terhadap seluruh saksi yang diajukan pada sidang sengketa hasil Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut Nicholay, pada sidang sengketa hasil Pilpres 2014 lalu, banyak saksi yang tidak bersedia hadir karena mengaku menerima ancaman dan tekanan.
Saat itu pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Hatta Radjasa menggugat hasil pemilu yang dimenangkan rivalnya, pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Baca juga: Bantah Prabowo-Sandi, Menteri Basuki Tegaskan Peresmian Tol Bukan Dikebut untuk Pemilu
"Perihal masalah saksi-saksi, kenapa minta ke MK untuk memberikan perlindungan saksi. Pada tahun 2014 lalu, banyak saksi-saksi yang tidak dapat dan bersedia hadir karena memang berada di bawah ancaman dan tekanan," ujar Nicholay dalam sebuah diskusi di media center pasangan Prabowo-Sandiaga , di Jalan Sriwijaya, Jakarta Selatan, Senin (17/6/2019).
Dengan demikian, lanjut Nicholay, belajar dari Pilpres 2014, tim hukum Prabowo-Sandiaga mengajukan permohonan perlindungan saksi.
Namun, Nicholay mengaku saat ini belum ada ancaman atau tekanan yang diterima para saksi pasangan Prabowo-Sandiaga.
Ia mengatakan, permohonan perlindungan saksi merupakan bentuk antisipasi agar ancaman pada Pilpres 2014 tidak terulang.
"Sehingga mau tidak mau pada 2019 ini kami harus menempuh langkah hukum untuk menjamin keberadaan saksi-saksi," kata Nicholay.
"Ini kan pencegahan. Istilahnya deteksi dini untuk menghindari ancaman dan tekanan terjadi saat ini," ucapnya.
Baca juga: BPN Prabowo-Sandiaga Harap MK Kabulkan Permintaan Perlindungan Saksi
Sebelumnya, tim kuasa hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mendatangi LPSK untuk meminta perlindungan terhadap saksinya dalam sidang sengketa pemilu di MK.
Namun, LPSK ternyata tidak bisa memberi perlindungan tersebut dengan alasan terbentur undang-undang.
Ketua tim hukum, Bambang Widjojanto, akan mengirimkan surat kepada MK, meminta agar hakim mahkamah memerintahkan LPSK memberikan perlindungan bagi saksi dan ahli yang akan dihadirkan.
Tim kuasa hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menyerahkan alat bukti tambahan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Alat bukti diserahkan langsung oleh Bambang Widjojanto dan Denny Indrayana. Alat bukti itu dibawa menggunakan 3 truk, tiba di MK sekitar pukul 16.20 WIB. Terlihat hadir Ketua Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi, Bambang Widjojanto, beserta Denny Indrayana di lokasi. Setelah diturunkan, puluhan kontainer itu kemudian dibawa ke lobi MK. Anggota tim kuasa hukum Prabowo-Sandi, Luthfi Yazid, mengatakan saat ini baru tiba tiga truk, satu lainnya masih dalam perjalanan.
"Yang datang ini 3 truk, kemudian ada satu lagi sebetulnya. Tapi MK kan memberikan batasan sampai pukul 17.00 WIB, dan kita juga ada keterbatasan orang untuk mengangkat, baik menaikkan barang, ke dalam truk kita maupun menurunkannya dan membawa lagi. Oleh karena ini, kita baru tiga," ujarnya di gedung MK, Jl Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (17/6/2019). Luthfi mengatakan masih banyak sisa alat bukti yang akan diserahkan ke MK. Namun, menurutnya, alat bukti itu akan diserahkan secara bertahap. "Kita akan koordinasi dengan MK. Pastinya akan kita sampaikan bukti-bukti yang kita miliki," ucapnya. Luthfi meyakini semua berkas yang diserahkan itu cukup signifikan sebagai bukti. Ia menganggap Pemilu 2019 tidak bersifat jujur dan adil. "Saya kira signifikan, bahwa kami ini sebagai pemohon, kami mengklaim bahwa pemilu yang dilaksanakan saat ini adalah pemilu yang tidak jujur dan adil. Kalau KPU berpendapat yang lain buktikan saja," katanya. "Nah, ini kan hampir separuh rakyat Indonesia percaya dengan KPU. Nah jadi buktikan saja. Kan sederhana, karena bukan semata mata hasil atau angka. Yang penting adalah angka itu dibangun atas prinsip apa. Karena dalam konstitusi, pasal 22 E ayat 1 itu prinsipnya adalah jujur dan adil. Maka pemilu itu harus dilaksanakan secara jujur dan adil," imbuh Luthfi. Tonton juga video Wiranto: Kalau Ada Aksi di MK Berarti Bukan Pendukung Prabowo-Sandi: [Gambas:Video 20detik]
Mahkamah Konstitusi (MK) mengatur jumlah saksi yang diajukan pihak pemohon gugatan Pilpres yakni Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dan KPU sebagai pihak termohon. Sesuai keputusan rapat permusyawaratan hakim (RPH), masing0masing pihak dibatasi untuk mengajukan 17 orang saksi "Total yang diberi kesempatan itu 17 saksi. 15 saksi keterangan dengan 2 saksi ahli," ujar Juru Bicara MK Fajar Laksono, di gedung MK, Jl Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (17/6/2019. Pembatasan jumlah saksi menurut Fajar sudah diputuskan dalam RPH sebelum digelarnya sidang perdana. Namun, jika ada pihak yang ingin mengajukan jumlah saksi yang lebih, hal itu akan dibahas dalam sidang hakim.
"Sementara ini yang diatur dalam RPH itu 17. Kalau ingin lebih ya silakan disampaikan. Tapi nanti majelis hakim yang memutuskan," katanya. MK sambung Fajar belum menerima daftar saksi yang diajukan pihak pemohon dan termohon gugatan Pilpres 2019. "Belum ada sama sekali," jelasnya. Sebelumnya Tim Hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sudah mempersiapkan 30 orang saksi yang bersedia menjadi saksi dalam sengketa pilpres . Tim hukum Prabowo-Sandi juga sudah mendatangi LPSK untuk meminta jaminan keselamatan para saksi. "Sejauh ini sudah ada lebih kurang 30 saksi yang sudah bersedia, tapi pertanyaannya rata-rata dari mereka adalah 'apa jaminan keselamatan kami saat datang ke Jakarta? Kemudian ketika dalam proses persidangan dan setelah pulang ke daerah masing-masing," ujar anggota tim hukum Prabowo-Sandiaga, Iwan Satriawan, di gedung LPSK, Jalan Raya Bogor, Ciracas, Jakarta Timur, Sabtu (15/6). Ahli Sebut 9 Hakim MK Tangani Sengketa Pemilu Dapat Dipercaya: [Gambas:Video 20detik]
JAKARTA, KOMPAS.com - Pengacara pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin, I Wayan Sudhirta menyebut, Tim Kuasa Hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno telah menentang perintah Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi ( MK ) pada sidang perdana sengketa hasil pilpres yang digelar Jumat (14/6/2019).
Pasalnya, pada saat persidangan, Ketua Majelis Hakim Usman Anwar memerintahkan Kuasa Hukum untuk membacakan berkas permohonan awal yang diserahkan pada 24 Mei 2019.
Namun, Ketua Tim Hukum Prabowo-Sandi, Bambang Widjojanto justru membacakan perbaikan permohonan yang disampaikan pada 10 Juni 2019 kemarin.
Baca juga: Pengacara Jokowi-Maruf: Gugatan Prabowo Ramai di Luar Sidang, Sepi Pembuktian
"Saya ini umur 69 tahun beracara berpuluh-puluh tahun, belum ada perintah hakim dilanggar di depan hakim itu sendiri," kata Wayan di Posko Cemara, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (17/6/2019).
"Kalau kuasa pemohon, dengan lantang berapi-api menggunakan panggung persidangan itu secara kasat mata melanggar perintah majelis dengan cara membacakan berlembar-lembar permohonan baru kami sebut, berbeda dengan permohonan tanggal 24 Mei," sambungnya.
Wayan mengatakan, dalam peraturan perundang-undangan maupun Peraturan MK, tidak disebutkan ketentuan tentang perbaikan berkas sengketa hasil pilpres.
Oleh karenanya, ia yakin, Majelis Hakim MK tidak akan mengakomodasi perbaikan permohonan sengketa hasil pilpres yang diajukan Tim Hukum Prabowo-Sandi.
Tim Hukum Jokowi yakin, hakim akan mengambil keputusan berdasarkan permohonan sengketa awal.
"Kami yakin bahwa putusan akhir akan dibahas dan diputuskan adalah permohonan tanggal 24 Mei," ujar Wayan.
Namun demikian, tim hukum Jokowi-Ma'ruf menyerahkan keputusan sepenuhnya pada Majelis Hakim.
Baca juga: Tim Hukum Jokowi Bakal Sanggah Seluruh Dalil Prabowo di MK
Untuk diketahui, Tim Hukum Prabowo-Sandi mengajukan permohonan gugatan sengketa hasil pilpres ke MK pada Jumat (24/5/2019). Kemudian, mereka mengajukan perbaikan permohonan gugatan pada Senin (10/6/2019).
Dalam persidangan perdana sengketa hasil pilpres yang digelar MK Jumat (14/6/2019), Majelis Hakim meminta Tim Hukum Prabowo-Sandi untuk membacakan materi permohonan gugatan awal. Namun, Bambang Widjajanto cs justru membacakan materi permohonan perbaikan.
JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno (BPN) Fadli Zon yakin sembilan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) akan mempertimbangkan seluruh alat bukti yang diajukan oleh tim hukum terkait permohonan sengketa hasil Pilpres 2019. Hal itu ia katakan dalam menanggapi argumen lemahnya alat bukti dalam dalil permohonan yang diajukan oleh tim hukum pasangan Prabowo-Sandiaga. "Kita enggak bisa berspekulasi. Hakim Konstitusi yang sembilan orang itulah yang nanti akan memutuskan tentu semua alat bukti kesaksian itu akan menjadi pertimbangan," ujar Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (17/6/2019).
Selain itu, Fadli meyakini MK tak akan menjadi "mahkamah kalkulator" atau hanya memeriksa selisih jumlah perolehan suara antara kedua pasangan calon.
Baca juga: Tim Hukum 02 Kutip Artikel Guru Besar Australia di Sidang MK, Ini Kata Mahfud MD Ia mengatakan, MK akan memutus perkara tersebut berdasarkan substansi permohonan, yakni adanya dugaan kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif selama proses pemilu. "Dan juga saya yakin para hakim juga bukan seperti yang dianggap sebagai hakim kalkulator gitu ya tapi bagaimana mencari esensi-esensi, substansi2-substansi dari persoalan yang berkembang. Nah jadi saya kira kita lihat saja nanti bagaimana perjalanan dari sidang ini," kata Fadli. Sebelumnya MK telah menggelar sidang pendahuluan sengketa hasil pilpres, Jumat (14/6/2019). Ketua Tim Hukum pasangan Prabowo-Sandiaga, Bambang Widjojanto, menilai bahwa MK berwenang memeriksa seluruh tahapan proses Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019 terkait permohonan sengketa yang diajukan oleh pihaknya.
Baca juga: Usul LPSK, Saksi di Sidang MK Bisa Diperiksa Jarak Jauh hingga Ditutup Tirai Artinya, MK dapat memeriksa seluruh alat bukti yang diajukan terkait dugaan adanya kecurangan terstruktur, sistematis dan masif selama pilpres. Menurut Bambang, wewenang MK tidak hanya sebatas pada memeriksa proses hasil penghitungan dan rekapitulasi suara. "Pemohon ingin menegaskan posisinya, bahwa Mahkamah Konstitusi harus dihargai untuk tidak hanya melakukan kerja teknis mengecek salah-benar penghitungan suara saja," ujar Bambang dalam sidang pendahuluan sengketa hasil pilpres, di gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat (14/6/2019). "Pemohon tetap berpandangan bahwa MK harus diberikan kewenangan utamanya sebagai pengawal konstitusi dan karenanya perlu memastikan, memeriksa, dan mengadili bahwa pemilu memang dilaksanakan sesuai asas-asas pemilu yang luber, jujur dan adil," ucapnya.
JAKARTA, KOMPAS.com - Tim hukum Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Taufik Basari, berharap calon presiden Prabowo Subianto mengulangi kembali imbauan kepada pendukungnya untuk tidak menggelar aksi massa selama persidangan sengketa perselisihan hasil pemilu (PHPU) pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Pertama saya mengapresiasi dulu imbuan pertama Pak Prabowo. Tapi, sayangnya imbauannya tidak didengar oleh sebagian pendukungnya. Oleh karena itu, ada baiknya Prabowo mengulang kembali imbaunnya," ujar Taufik saat ditemui dalam sebuah diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (15/6/2019).
Masa persidangan di MK, tuturnya, sudah transparan dengan adanya siaran langsung di sebagian televisi nasional dan kanal media lainnya. Sehingga, tak perlu ada massa yang datang ke Gedung MK.
Baca juga: Datang ke Sekitar Gedung MK, FPI: Kita Mau Dukung MK
Ia menuturkan, dalam sidang pertama sengketa pilpres yang digelar pada Jumat (14/6/2019), masih terdapat sekelompok orang yang melakukan aksi massa.
"Imbauan pertama Pak Prabowo ini tidak diikuti sebagian pendukungnya. Prabowo harus ulangi lagi imbauanya, kalau perlu berkali-kali menjelang persidangan, sehari sebelumnya, lalu sore harinya imbau lagi, supaya pendukungnya benar-benar mendengar," ujar dia.
Dengan imbauan yang disampaikan berulang kali, seperti diungkapkan Taufik, dirinya yakin pendukung Prabowo tak akan menggelar aksi massa selama persidangan di MK.
Tak hanya Prabowo, ia juga berharap elite politik lainnya memberikan arahan seperti yang dilakukan Prabowo.
Sebelumnya, Prabowo Subianto meminta para pendukungnya agar tidak menggelar aksi unjuk rasa atau demonstrasi di MK saat sidang sengketa hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019.
Prabowo mengatakan, sudah ada delegasi yang mendampingi tim hukum pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dalam sidang tersebut. Selain itu, ia juga ingin menghindari provokasi dan fitnah.
"Kami putuskan selesaikan (sengketa) melalui jalur hukum dan konstitusi, karena itu saya dan Sandiaga memohon agar pendukung kami untuk tidak berbondong-bondong hadir di MK pada hari-hari mendatang," ujar Prabowo melalui video yang diterimaKompas.com, Selasa (11/6/2019).
"Saya mohon sami'na wato'na, percayalah pada pimpinan dan sungguh-sungguh kalau anda dukung Prabowo-Sandi, mohon tidak perlu hadir di sekitar MK," ucapnya. Baca juga: 5 Imbauan Prabowo kepada Pendukungnya Jelang Sidang Sengketa Pemilu di MK
JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Tim Hukum pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Bambang Widjojanto meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan hasil rekapitulasi perolehan suara berdasarkan dokumen C1 yang dimiliki pasangan capres-cawapres nomor urut 02 sebagai hasil Pilpres 2019 yang sah.
Berdasarkan dokumen C1 yang dimiliki tim 02, perolehan suara pasangan Prabowo Subianto unggul dari pasangan Jokowi-Ma'ruf.
"Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar menyatakan perolehan suara yang benar adalah pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin 63.573.169 (48%) dan Prabowo Subianto-sandiaga Uno 68.650.239 (52%). Jumlah 132.223.408," ujar Bambang saat membacakan petitum permohonan sengketa hasil pilpres di Gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat (14/6/2019).
Baca juga: KPU Akan Jawab Dalil Baru Gugatan Prabowo untuk Bantah Tudingan
Pada bagian pokok permohonan, tim kuasa hukum memaparkan bahwa perolehan tersebut didasarkan atas dokumen C1 yang dimiliki Pemohon, baik yang berasal dari BPN, relawan yang dikoordinasikannya maupun dokumen yang berasal dari Bawaslu.
Data yang dimiliki tim hukum tersebut berbeda dengan hasil rekapitulasi perolehan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
KPU menyatakan, pasangan Jokowi-Ma'ruf unggul dengan 85.036.828 suara atau 55,42 persen. Sementara Prabowo-Sandiaga mendapatkan 68.442.493 suara atau 44,59 persen.
Baca juga: Prabowo-Sandi Minta Pemilu Ulang di 12 Provinsi, Mayoritas Lumbung Suara Jokowi-Maruf
Tim hukum Prabowo-Sandiaga menilai hasil perolehan suara versi KPU tidak sah karena telah terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan meluas selama proses pemilu.
Oleh sebab itu, kata Bambang, MK mendiskualifikasi pasangan Jokowi-Ma'ruf sebagai peserta pilpres karena diduga melakukan kecuran dan menetapka pasangan Prabowo-Sandiaga sebagai Presiden-Wakil Presiden terpilih 2019-2024.
"Menetapkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2019–2024," kata Bambang.
Baca juga: JEO- Hal-hal yang Perlu Kita Tahu soal Sengketa Hasil Pemilu 2019