Contact Form

 

Abdullah Hehamahua: Kita Minta IT KPU Diinvestigasi Mahkamah Internasional


Suara.com - Mantan Penasehat KPK Abdullah Hehamahua mengatakan akan melaporkan hasil keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai hasil Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pemilihan Presiden 2019 ke mahkamah internasional .

"Kita akan lakukan pelaporan ke peradilan internasional, karena mereka bisa audit forensik terhadap IT KPU bagaimana bentuk-bentuk kecurangan situng," kata Abdullah usai melakukan aksi halal bihalal Persaudaraan Alumni 212 di Jakarta, Kamis petang (27/6/2019).

Selain itu, Abdullah juga mengajak massa aksi untuk ikut menyambangi kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada Jumat, 27 Juni 2019.

"Besok usai salat Jumat di Masjid Sunda Kelapa kita akan datang ke Komnas HAM untuk melaporkan kasus KPPS yang meninggal," ujar Koordinator Gerakan Kedaulatan Rakyat (GKR) itu.

Ia juga menyampaikan akan melaporkan terkait 10 korban meninggal saat peristiwa kerusuhan 21-22 Mei lalu yang empat di antaranya masih usia remaja.

"Kita juga akan melaporkan kasus petugas KPPS yang meninggal, kita juga meminta Komnas HAM untuk memproses korban meninggal pada peristiwa 21-22 Mei sebagai bentuk pelanggaran HAM, apa lagi korbannya remaja," katanya.

Selain ke Komnas HAM, Abdullah juga mengajak Massa untuk melakukan aksi ke gedung DPR.

"Kalau waktunya cukup, besok selain ke Komnas HAM kita juga akan ke DPR," seru Abdullah.




Eramuslim – Ribuan masyarakat turun ke jalan untuk mengikuti Aksi 266 di area Patung Kuda, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu (26/6/2019). Di awal aksi, massa menyanyikan Lagu Kebangsaan, dan lagu nasional seperti Maju Tak Gentar, dan Halo-Halo Bandung.

Sebelumnya, mobil komando sempat dihalau dari lokasi aksi oleh sejumlah aparat kepolisian, namun setelah melalui negoisasi yang alot antara koordinator lapangan dengan polisi, akhirnya mobil komando diperbolehkan masuk ke lokasi.

Tampak sejumlah ulama dan tokoh nasional seperti, mantan Komisioner KPK, Abdullah Hehamahua, Koordinator API Jabar, Ustadz Asep Syaripudin dan Edi Mulyadi.

Dalam orasinya, Ustadz Asep menegaskan bahwa Aksi 266 yang bertajuk Halal bihalal dan Tahlil Akbar ini adalah aksi damai.

Sementara, Abdullah Hehamahua menekankan pentingnya para Hakim MK untuk menjunjung tinggi keadilan.

Abdullah sempat menyinggung tentang Jokowi yang tidak cuti selama masa kampanye Pilpres 2019, namun di akhir persidangan MK, tim hukum Jokowi baru memperlihatkan surat izin cuti.

“Ini kecurangan dan hukumannya 5 tahun!”, ujar Abdullah Hehamahua.

Dia juga menyinggung tentang sudah dicoblos nya surat suara Pemilu di Malaysia, dan lain-lain. “Jadi kasus ini harus diproses hukum, kalau pun tidak bisa diproses sekarng, maka harus diproses di periode kepemimpinan berikutnya,” ujarnya.




Selamat Datang di

medcom.id

SIGN IN

Don't have an account yet? Sign up here


Abdullah Hehamahua saat ikut aksi damai kawal sidang Mahkamah Konstitusi, Rabu (26/6/2019). Foto: media tim hokum BPN

indopos.co.id - Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) meminta keadilan sembilan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) jangan takut dengan berbagai ancaman dan intimidasi. Karena gugur dalam meneggakan kebenaran itu adalah syahid.

Koordinator KAMI Abdullah Hehamahua mengatakan, sembilan Hakim MK yang akan membacakan putusan hasil gugatan sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 yang diajukan calon presiden dan wakil presiden Prabowo-Sandiaga supaya untuk menjunjung tinggi keadilan.

“Jagi gak perlu takut. Apalagi IT KPU memang sangat perlu untuk diinvestigasi karena bermasalah. Di saat KPK dipimpin Antasari Azhar, sudah ada rencana untuk mau mengaudit IT KPU. Namun rencana belum terwujud Antasari dikriminalisasi dengan dijerat pasal pembunuhan berencana,” ujar Abdullah dirilis Media Tim Hukum Badan Pemenangan Pemilu (BPN) Prabowo Sandi, Kamis (27/6/2019).

Mantan Penasehat KPK Abdullah Hehamahua menegaskan, kalau memang institusi lokal tak juga berniat mengaudit secara forensik IT KPU, pihaknya meminta institusi internasional untuk turun tangan melakukan audit.

“Kami minta Mahkamah Internasional dan kami juga meminta PBB untuk melakukan audit IT KPU. Apapun bunyi putusan MK,” tegas Abdullah yang sesepuh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Ia juga menyinggung Presiden Joko Widodo yang tidak cuti selama masa kampanye Pilpres 2019, namun di akhir persidangan MK, tim hukum Jokowi baru memperlihatkan surat izin cuti. “Jelas itu kecurangan dan hukumannya 5 tahun,” kecamnya.

Dalam ilmu korupsi itu ada yang disebut berdasarkan motif ada yang disebut corruption by need, corruption by opportunity dan corruption by exploration. Abdullah menilai UU Pemilu dan UU Pilpres masuk dalam kategori korupsi politik.

“Apalagi nyaris semua media massa mainstream, mahasiswa, perguruan tinggi, dan LSM yang biasa selama ini aktif memerangi korupsi, namun kini cenderung pasif.  Bukan hanya itu, indikasi kecurangan yang luar biasa juga,” ujar pria yang akrab disapa Dullah.

Daftar Pemilih Tetap (DPT) saat Pilpres 2019, nilai dia, melonjak secara drastis hingga mencapai 27 DPT siluman bahkan KPU menetapkan DPT 20 hari setelah hari pencoblosan Pemilu. “Investigasi menyeluruh perlu dilakukan,” tutup pria gaek yang brewokan ini. (ers)




Jakarta, Gatra.com - Prabowo Subianto telah menerima hasil putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Meski mengaku kecewa dengan hasil putusan MK, mantan Danjen Kopassus itu meminta pendukungnya untuk tetap menghormati hukum dan konstitusi.

Pasca kekalahan Prabowo-Sandi di Mahkamah Konstitusi, Badan Pemenangan Nasional (BPN) menyatakan belum menentukan langkah hukum lanjutan.

Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Andre Rosiade mengatakan keputusan membawa kasus sengketa pilpres ke mahkamah internasional akan dibicarakan lebih lanjut bersama tim kuasa hukum BPN.

"Kan belum ada keputusan apa-apa (dibawa ke Mahkamah Internasional), Pak Prabowo malam ini konsultasi sama tim hukum," ujarnya ketika ditemui GATRA.com di Jl. Kertanegara, Jakarta, Kamis (27/6).

Setelah berkonsultasi dengan tim hukum, Prabowo akan melakukan pertemuan bersama partai Koalisi Adil Makmur, Jumat (28/6. Pertemuan direncanakan akan berlangsung di kediaman Prabowo, di Jalan Kertanegara IV, Jakarta Selatan.

"Iya (di K4), besok akan konsultasi dengan pimpinan partai koalisi habis salat Jumat (28/6). Nanti akan ada statement selanjutnya," tuturnya.

Seperti diketahui, calon presiden nomor urut 02 itu telah menyampaikan keterangannya terkait hasil sidang sengketa Pemilu 2019. MK menyatakan amar putusannya untuk menolak permohonan pemohon sepenuhnya. Sehingga seluruh gugatan yang diajukan BPN Prabowo-Sandi digugurkan.

"Sesuai kesepakatan kami patuh menghormati keputusan kontitusi kita dan UUD 45 yang berlaku di Indonesia," ujar Prabowo.




GenPI.co - Tim pembela Prabowo sekaligus juru bicara Persatuan Alumni (PA) 212 Novel Bamukmin pada Rabu (26/6) sempat mengatakan jika Prabowo Subianto mengalami kekalahan dalam sidang gugatan Pilpres di Mahkaman Konstitusi maka pihaknya bakal mengajukan perkara tersebut ke Mahkamah Internasional. Pernyataan Novel ini disambut dengan keheranan sejumlah orang. Apalagi melihatt profesi Novel pun adalah pengacara. Mereka sekaligus bertanya-tanya, apa benar perkara ini bisa diajukan hingga Internasional? Berikut jawabannya.

Baca juga :

Mau ke PBB Jika 02 Kalah Putusan Sidang MK, LIPI : Gak Rasional!

PA 212 Bakal Ngadu ke PBB Jika Prabowo Kalah Di Putusan Sidang MK

Cerita Miris Guru Pedalaman Papua: Anak-anak Tak Tahu 'Indonesia'

Berdasarkan Bab II Statuta Mahkamah Internasional yang dikutip dari situs Hukum Tata Negara, jelas tersebut, Mahkamah Internasional hanya menyelesaikan sengketa antar negara. Nah, ada pun perkara hasil sidang MK, bukanlah sengketa antar bangsa melainkan sesama bangsa sendiri. Sudah jelas ini bukan kewenangan Mahkamah Internasional walau disebut-sebut berhubungan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) sekalipun.

Tonton lagi :




MK melalui putusannya menyatakan menolak seluruh permohonan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno terkait Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) presiden dan wakil presiden 2019. • • #alineadotid #alineasatumenit #sidangMK #MahkamahKonstitusi #KPU #TKN #BPN #jokowi #prabowo #sidang #putusan #pemilu #pemilu2019 #pilpres2019 #komisipemilihanumum #pemilihaumum #MK #sengketa #instanews #instavideo #infoterkini #berita #trending #menjagadamaiputusanMK #terimahasilMK #mahkamahkalkulator

A post shared by Alinea (@alineadotid) on Jun 27, 2019 at 9:39am PDT


tirto.id - Pakar hukum tata negara Fery Amsari menganggap wajar Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan sengketa Pilpres 2019. Direktur Eksekutif Pusat Kajian Konstitusi (Pusako) ini beralasan, gugatan kubu Prabowo-Sandiaga memang kurang kuat sehingga hakim menolak permohonan Prabowo-Sandiaga meski hakim juga menolak eksepsi KPU dan kubu Jokowi-Maruf selaku pihak terkait. "Itu merupakan konsekuensi dari lemahnya dalil-dalil permohonan dan alat bukti. Saya tidak terkejut jika hakim memutuskan demikian," kata Feri kepada reporter Tirto, Jumat (28/6/2019). Setelah hakim konstitusi membacakan putusan permohonan sengketa Pilpres, perselisihan Pilpres pun dianggap selesai. Sebab, putusan sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Oleh sebab itu, tidak akan ada lagi upaya hukum untuk menggoyahkan hasil Pilpres 2019 karena langsung diikuti penetapan presiden dan wapres. Feri pun beranggapan sikap Prabowo yang berkonsultasi dengan tim kuasa hukum untuk mencari upaya hukum lain sebagai cara tidak jelas. Kemarin, Prabowo berencana untuk berkonsultasi hukum setelah putusan Pilpres 2019. Feri memahami kalau konsultasi tidak berarti akan mengarah kepada upaya hukum. Akan tetapi, dalam sistem konstitusi di Indonesia, sengketa Pilpres paling tinggi ditangani oleh Mahkamah Konstitusi sehingga tidak masuk akal bila ada upaya hukum setelah putusan MK. "Lebih banyak mengada-ada saja," kata Feri. Sebagai contoh, jika kubu Prabowo-Sandiaga berencana membawa sengketa Pilpres ke Mahkamah Internasional, hal tersebut berpotensi ditolak oleh Mahkamah Internasional. Sebab, hukum konstitusi Indonesia punya kedaulatan yang tidak bisa diintervensi. Oleh sebab itu, Feri berharap agar Prabowo realistis dan tidak terhasut dengan upaya non-konstitusional. Selain itu, ia berharap agar Prabowo tidak memperburuk citranya jika memang ingin membawa kasus ini ke dunia internasional. "Nasihat saya Pak Prabowo jangan mempertinggi tempat jatuh mempermalukan dirinya di dunia global," kata Feri.

Reporter: Andrian Pratama Taher Penulis: Andrian Pratama Taher Editor: Maya Saputri




Prabowo Subianto kalah dalam gugatan sengketa pilpres yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Keputusan MK membuat langkah Prabowo di Pilpres 2019 terhenti karena tak ada lagi upaya hukum yang bisa diambil. "Ya. Tak ada upaya hukum lagi," kata mantan ketua MK, Mahfud MD kepada wartawan, Jumat (27/6/2019). Mantan ketua MK lainnya Hamdan Zoelva juga mengatakan hal serupa. Dia menyebut keputusan MK mengakhiri semua proses di pilpres 2019.

"Sudah tidak ada upaya hukum lagi. Putusan MK final dan mengikat, mengakhiri seluruh proses pilpres, dan hari ini kemungkinan KPU akan melaksanakan pleno penetapan pasangan calon terpilih," kata Hamdan. Lebih rinci, Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Muchtar mengatakan, kegagalan di MK tak bisa dilanjutkan ke tingkat lebih tinggi meski ada Mahkamah Internasional (IJC) dan Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Kedua lembaga itu, kata Zainal, punya kewenangan dan ranah yang berbeda. "Yang selama ini dibicarakan adalah konsep hukum internasional, padalah konsep hukum internasional itu agak spesifik ranah kewenangannya. Sebenarnya ICJ dan ICC yang ada, ICJ itu biasanya ranahnya itu pada negara, negara yang melakukan, apa yang disidangkan di sana. Subjeknya adalah negera," papar Zainal. Dia mencontohkan kasus yang bisa diselesaikan lewat IJC di antaranya sengketa Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dengan Indonesia. Sementara ICC menyelesaikan kasus kejahatan internasional. "(CCI) misalnya sengketa antara Sipadan-Ligitan, itu diselesaikan di sana. Berbeda dengan ICC yang lebih pada kejahatan internasional, lebih pada kejahatan HAM internasional yang sangat berat seperti genosida, crime against humanity kemudian ada beberapa hal," ucapnya. Menurutnya, putusan MK sudah seharusnya diterima untuk mengakhiri sengketa pemilu. Dia mengingatkan banyak agenda yang menunggu selain Pilpres 2019. "Memang seharusnya diterima, seharusnya drama ini diakhiri. Seharusnya tidak dilanjutkan. Karena banyak agenda publik lain, agenda negara selain soal pemilihan presiden saja. Presiden bukan berarti tidak penting, tapi itu satu di antara banyak agenda ketatanegaraan, ada soal pileg, ada soal pelantikan, ada soal tugas dan janji presiden. Hal-hal lain yang paling dekat juga soal pemilihan komisioner KPK. Ada banyak agenda lain dan energi ini jangan dihabiskan di satu tempat," kata dia. Zainal juga memberi catatan terhadap proses sidang di MK. Menurutnya sidang sengketa pilpres tahun ini berjalan fair dan terbuka. Salah satunya ditandai dengan sikap MK yang tak terlalu formalistik. "Prosesnya lumayan berjalan, fair terbuka bahkan di satu sisi saya menganggap MK sudah amat baik. Ada banyak, misalnya MK tidak formalistik amat bahkan untuk permohonan saja antara permohonan pertama dan permohonan kedua, tapi MK masih menerima permohonan kedua. Padahal kalau logika hukumya orang lebih banyak bicara permohonan pertama saja. MK masih menerima," tuturnya. Sebelumnya, Capres Prabowo Subianto menyatakan menerima putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak seluruh gugatan dari pihaknya terkait sengketa hasil Pilpres 2019. Prabowo mengatakan dalam waktu dekat akan membahas bersama tim hukum untuk mencari langkah konstitusi lainnya. "Sesudah ini kami akan segera berkonsultasi dengan tim hukum kami untuk meminta saran dan pendapat apakah masih ada langkah hukum dan langkah-langkah konstitusi lainnya yang mungkin dapat kita tempuh," kata Prabowo di kediamannya, Jl Kertanegara, Jakarta Selatan, Kamis (27/6/2019). Simak Juga 'Prabowo Minta Pendukungnya Tak Berkecil Hati': [Gambas:Video 20detik]




Jakarta, CNN Indonesia -- Eks Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) Abdullah Hehamahua mengoordinasi aksi mengawal demokrasi kembali di kawasan Patung Arjuna Wiwaha, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (24/1). Massa itu melakukan aksi menyikapi sidang sengketa Pilpres 2019 yang berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat. Mereka diketahui sudah melakukan aksi tersebut sejak MK memulai sidang sengketa pilpres pada 14 Juni lalu. Namun, berbeda dengan sepekan lalu di mana aksi dilakukan hampir seharian. Pada hari ini aksi massa yang dikoordinasi Abdullah Hehamahua itu hanya berlangsung hingga azan asar berkumandang. Di MK sendiri, setelah sidang yang melelahkan selama sepekan, sembilan hakim konstitusi sedang mendiskusikan putusan lewat Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Di satu sisi, dalam aksi yang dikoordinasi Abdullah Hehamahua hari ini, berdasarkan pantauan CNNIndonesia.com , massa mulai berkumpul di sekitar mobil komando untuk mendengarkan orasi dari sejumlah tokoh mulai sekitar pukul 14.00 WIB. Sebagian besar massa terpantau menggunakan atribut berwarna kuning yang dibagikan oleh sejumlah panitia. Puluhan poster berisi tuntutan juga dipegang massa. Ratusan polisi juga terpantau berjaga di sekitar lokasi aksi. Tidak ada personel yang menggunakan senjata dalam melakukan pengamanan. Jalan dari Medan Merdeka Barat menuju gedung MK ditutup kepolisian. Akibatnya, lalu lintas kendaraan yang hendak melintas di alihkan ke arah Jalan Medan Merdeka Selatan dan Budi Kemuliaan, Jakarta Pusat. "Aksi damai ini adalah untuk memberikan dukungan moral kepada sembilan anggota MK agar mereka tidak usah taut, tidak usah khawatir dalam melaksanakan tugasnya secara profesional," ujar Abdullah. Abdullah menyatakan dirinya memimpin aksi itu tak terkait dengan salah satu paslon dalam Pilpres 2019 , kecuali memperjuangkan nilai-nilai demokrasi yang menurutnya tengah bermasalah. Bukan hanya itu, Abdullah pun menyatakan dalam rangka mencari keadilan di Indonesia ia akan berjuang hingga ke Mahkamah Internasional dan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). "Jadi dengan itu, terlepas apapun putusan dari MK [Mahkamah Konstitusi], kami akan perjuangkan ke Mahkamah Internasional, memperjuangkan kepada hak-hak asasi untuk ini diproses," ujar Abdullah yang menjadi koordinator aksi di ruas jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Senin (24/6). Diketahui MK tengah mengadili sidang sengketa Pilpres 2019 yang dimohonkan paslon nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Dalam perkara ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi pihak termohon, dan paslon nomor urut 01 Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin jadi pihak terkait. Putusan hakim MK rencananya akan dibacakan pada 27 Juni mendatang. "Jadi saya tidak ada urusan dengan Jokowi dan Prabowo. Pokoknya nilai-nilai demokrasi, kemanusiaan, dan peradaban untuk ditegakkan," ujar Abdullah. Abdullah juga menegaskan aksi akan berhenti jika Mahkamah Internasional hingga PBB turun tangan menangani persoalan demokrasi hingga kemanusiaan di Indonesia. "Jadi kami tidak berhenti pada tanggal 28 (Juni 2019). Sampai Mahkamah Internasional dan PBB turut campur menangani persoalan ini," ujar pria yang pernah menjadi Pelaksana Tugas (Plt) Pimpinan KPK tersebut. Abdullah menuturkan hakim MK harus bekerja secara profesional dengan tetap mengedepankan ajaran-ajaran ketuhanan sebagaimana yang ada di dalam sila pertama Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Lebih lanjut, Abdullah meminta seluruh hakim MK mengambil keputusan dengan objektif sesuai dengan fakta di lapangan. Ia berkata hakim MK harus berani mengatakan siapa pihak yang curang dan menipu dalam Pilpres 2019. Jika tidak, ia menyatakan sejumlah daerah akan memutuskan memisahkan diri dari Indonesia. "Sehingga dengan begitu, putusan MK bisa memberi jaminan kepada NKRI, tidak terpecah belah. Kalau MK salah mengambil keputusan maka kemudian Aceh bisa keluar, Papua dan Papua Barat bisa keluar, Sulawesi Utara bisa keluar. Bahkan Jogja juga minta referendum dan seterusnya seperti itu," ujarnya. Menanggapi keberadaan aksi tersebut, Wakil Ketua Umum Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Arsul Sani menyindir massa aksi tersebut tak mematuhi imbauan calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto. "Ya kalau ada katakanlah kelompok atau elemen masyarakat yang masih tetap pingin aksi, berarti elemen atau kelompok masyarakat tersebut enggak patuh sama Pak Prabowo karena Pak Prabowo dari awal sudah menyampaikan untuk tak usah untuk berbondong datang ke MK," kata Arsul di Kompleks MPR/DPR, Jakarta, Senin (24/6). Di sisi lain, Arsul meyakini sembilan hakim MK tak akan terpengaruh dengan kehadiran aksi massa dalam mengambil keputusan akhir sengketa hasil Pilpres 2019 pada 28 Juni mendatang. Arsul menilai para hakim MK sendiri memiliki sikap tegas dan tak mudah dipengaruhi oleh siapa pun. Hal itu tercermin pada sikap hakim MK yang kerap menegur pihak Jokowi maupun pihak Prabowo saat persidangan berlangsung apabila tak disiplin. "Apalagi kalau itu di luar mahkamah misalnya ada unjuk rasa segala macam. Sepanjang aparat kepolisian beserta TNI itu bisa jaga keamanan saya kira enggak akan mempan menekan MK," kata dia. (jps/kid)



Total comment

Author

fw

0   comments

Cancel Reply