KOMPAS.com - Google Doodle hari ini, Selasa (20/3/2018) merayakan ulang tahun ke-97, sosok Usmar Ismail yang dikenal sebagai Bapak Film Nasional.
Lahir di Bukittinggi, 20 Maret 1921, Usmar Ismail menjadi salah satu tokoh penting bagi perfilman Indonesia. Sepanjang karirnya ia telah membuat lebih dari 30 film.
Beberapa film produksi Usmar Ismail yang terkenal adalah film berjudul Pedjuang (1960), Enam Djam di Djogja ( 1956), dan Tiga Dara (1956) yang menjadi latar belakang Google Doodle hari ini dengan nuansa hitam putih.
Tak hanya itu, film arahan Usmar Ismail berjudul Darah dan Doa (The Long March of Siliwangi) yang diproduksi tahun 1950, menjadi film pertama yang secara resmi diproduksi oleh Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat.
Baca juga : Mengenal George Peabody yang Jadi Google Doodle Hari Ini
Hari pertama syuting film tersebut, kemudian diresmikan menjadi Hari Film Nasional oleh Presiden ketiga Republik Indonesia, B.J Habibie bersama Dewan Film Nasional.
Bersama Asrul Sani, ia pun memprakarsai berdirinya Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) tahun 1955 yang menjadi lembaga kesenian pertama di Jakarta.
Usmar Ismail meninggal tanggal 2 Januari 1971 pada usia 49 tahun karena serangan stroke, , seperti KompasTekno himpun dari laman Google Doodle, Selasa (20/3/2018). Kini namanya diabadikan menjadi nama Gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, yang berlokasi di Jakarta. Selain itu, sebuah ruang konser juga menggunakan namanya, yakni Usmar Ismail Hall yang menjadi tempat pertunjukan opera, musik dan teater hingga sekarang.
Selamat ulang tahun, Bapak Film Nasional. Baca juga : Mengenal Bagong Kussudiardja yang Jadi Google Doodle Hari Ini
Google Doodle hari ini, Selasa (20/3/2018), muncul untuk merayakan ulang tahun ke-97 Bapak Perfilman Indonesia: Usmar Ismail. Ia adalah sineas terkemuka era 1950 hingga 1960-an, sekaligus pendiri Perfini, studio film pertama di Indonesia. Usmar Ismail memiliki semangat juang yang tak padam untuk membangkitkan perfilman Indonesia. Semasa hidupnya, ia telah menghasilkan 33 karya film dari berbagai genre mulai dari drama, komedi satir, musikal, hingga film aksi. Tak berhenti di kursi sutradara, ia juga sempat menjajal kemampuan sebagai penulis skenario dan produser. Dari 33 karyanya, tercatat dua film pernah menjadi box office kala itu: Krisis (1951) dan Tiga Dara (1956). Krisis, film bergenre komedi ini mendapat penghasilan paling tinggi sejak film Terang Boelan (1938). Adapun Tiga Dara merupakan film musikal yang menceritakan kisah asmara tiga saudara perempuan. Film ini telah direstorasi pada 2016 silam. Studio film pertama Indonesia, didirikan Usmar Ismail pada 30 Maret 1950. Perfini nama studio itu, memproduksi film lewat usaha patungan dengan bank nasional dua kali, satu kali yayasan di Semarang, dan satu kali dengan Kodam IX Mulawarman. Dalam buku Sejarah Kecil 'Petite Histoire' Indonesia Volume 2 , Rosihan Anwar menuliskan, dengan perusahaan luar negeri Perfini pernah joint production dengan Singapura dua kali dan satu kali dengan Italia. Di tengah popularitas berkat jasa-jasanya membangun perfilman nasional, tak banyak yang tahu cerita tragis yang pernah dialami Usmar Ismail. Tragedi itu lantas membawanya pada kematian di usia yang cukup muda, 49 tahun. Rosihan Anwar juga pernah mengungkapkan kisah Usmar Ismail lewat artikel “Di Balik Manusia Komunikasi” dalam buku Manusia Komunikasi, Komunikasi Manusia . Pada 1970, Usmar Ismail, sebagai direktur Perfini bekerja sama dengan perusahaan di Italia membuat film Adventures in Bali . Namun, proses produksi dan setelah film jadi, bermasalah. Menurut perjanjian, kata Rosihan, nama Usmar sebagai sutradara akan dicantumkan dalam versi film yang diedarkan di Eropa. “ Ternyata waktu Usmar berkunjung ke Roma melihat penyelesaian film Bali itu namanya sama sekali tidak disebut. Usmar sudah ditipu oleh produser Italia,” kata Rosihan. Film tersebut tetap dirilis dengan judul Bali pada 1971, namun gagal menggaet penonton. Di tengah kesulitan itu, Usmar masih berjuang mempertahankan Perfini dan menggaji karyawannya. Tak lama, Usmar jatuh sakit di rumahnya akibat pendarahan di otak. Malam sebelumnya, Usmar bahkan masih sempat menyelesaikan dubbing film terakhirnya, Ananda di studio Perfini. Keluarga dan sahabat-sahabatnya semalaman menungguinya. “Ada pikiran untuk mengadakan operasi di otaknya. Namun, untuk itu tidak mungkin lagi,” ungkap Rosihan. Usmar meninggal dunia pada 2 Januari 1971 tanpa sempat berpesan apa-apa pada keluarganya. Ia dikuburkan di Karet diantarkan oleh para kerabat dan para insan perfilman. Saat kematiannya, Usmar berada di rumahnya yang sederhana. Rosihan bercerita, salah seorang kerabat pernah bersimpati pada kondisi sineas handal itu saat akhir hidupnya. “ 'Saya tidak mengira Usmar sebagai sutradara film terkenal begitu miskin.' Percaya atau tidak, tapi begitulah kenyataannya,” terang Rosihan.
Google Doodle hari ini, Selasa (20/3/2018) merayakan ulang tahun ke-97 Bapak Film Indonesia, Usmar Ismail. Karya Usmar Ismail yang sering disebut-sebut adalah film Tiga Dara (1956) yang pada 11 Agustus 2016 kemarin versi restorasinya ditayangkan kembali di bioskop-bioskop Indonesia. Tiga Dara seringkali dianggap sebagai salah satu film terbaik Usmar Ismail. Namun, di sisi lain, Usmar Ismail berkali-kali mengungkapkan ketidaksukaannya kepada filmnya tersebut. Usmar Ismail, yang dikenal sangat idealis dalam berkarya, menganggap Tiga Dara hanyalah film yang dibuat untuk tujuan komersial. Seperti dilaporkan Tirto dalam Mengawetkan Kala dalam Restorasi Tiga Dara , Tiga Dara memang diproduksi saat Perfini—yang didirikan oleh Usmar Ismail—tengah mengalami kesulitan keuangan. Djadoeg Djajakusuma, sesama pendiri Perfini, turut menyampaikan kekesalan Usmar kepada Tiga Dara . Ia menyatakan bahwa Usmar Ismail memang tidak pernah menikmati sepenuhnya kesuksesan Tiga Dara. “Usmar sangat malu dengan film itu. Niatnya menjual Tiga Dara ketika masih dalam tahap pembikinan memperlihatkan betapa beratnya bagi dia menerima kenyataan bahwa harus membuat film seperti itu,” katanya seperti dikutip dari buku "Profil Dunia Film Indonesia". Pascapembuatan Tiga Dara , Usmar Ismail seakan diperah untuk memproduksi film-film yang tidak sesuai dengan kata hatinya. Produksi Tiga Dara selanjutnya diikuti oleh peluncuran Delapan Pendjuru Angin dan Asmara Dara yang juga sukses secara komersial. Kedua film tersebut memiliki genre yang sama dengan Tiga Dara. ”Meskipun uang masuk, Perfini toh tidak lagi membikin film-film seperti yang dicita-citakan Usmar semula,” imbuh Djajakusuma. Saat beredar di bioskop, Tiga Dara sukses mendapat keuntungan yang cukup besar. Tiga Dara sukses diputar selama delapan minggu berturut-turut dan menembus bioskop AMPAI (American Motion Pictures Association of Indonesia), berdampingan dengan film-film Holywood. Seperti juga diungkapkan Usmar Ismail dalam buku "Mengupas Film", Tiga Dara merupakan film produksi Perfini (Persatuan Film Nasional Indonesia) yang terlaris. Tiga Dara berhasil membukukan penjualan sebesar 10 juta rupiah dan keuntungan bersih hingga 3 juta rupiah, jumlah yang terhitung tinggi untuk masa itu.
Butuh waktu lama bagi Usmar Ismail hingga akhirnya memiliki karier gemilang di dunia perfilman.
Untuk diketahui, Usmar pernah bersekolah HIS, MULO-B, AMS-A II Yogyakarta. Ia melanjutkan studi dengan memperoleh B.A. di bidang sinematografi dari Universitas California, Los Angeles, Amerika Serikat pada 1952.
Ketika masa pendudukan Jepang, usmar bergabung ke Pusat Kebudayaan. Di saat itu, ia mendirikan klub Sandiwara Penggemar Maya dengan beberapa tokoh seni, seperti El Hakim, Rosihan Anwar, Cornel Simanjuntak, Sudjojono, H.B. Jassin dan masih banyak lagi.
Semasa mudanya, Usmar aktif menjadi pengurus lembaga teater dan film. Beberapa organisasi juga telah ia ikuti, ia sempat menjadi ketua Badan Permusyawaratan Kebudayaan Yogyakarta (1946-1948), ketua Serikat Artis Sandiwara Yogyakarta (1946-1948), ketua Akademi Teater Nasional Indonesia, Jakarta (1955-1965), dan ketua Badan Musyawarah Perfilman Nasional (BMPN).
BMPN lah yang akhirnya mendorong pemerintah membentuk "Pola Pembinaan Perfilman Nasional" pada 1967. Selain itu, Usmar juga dikenal sebagai pendiri Perusahaan Film Nasional Indonesia bersama Djamaluddin Malik dan para pengusaha film lainnya. Lalu, ia menjadi ketuanya sejak 1954 sampai 1965.