Contact Form

 

Teresa Teng, Diva Asia yang Nyanyikan Lagu Indonesia


Liputan6.com, Jakarta - Hari ini, Senin (29/1/2018), Google merayakan hari lahirnya Teresa Teng yang ke-65 tahun dengan menampilkan dirinya sebagai Google Doodle di laman mesin pencarian.

Teresa Teng dikenal sebagai salah satu penyanyi legendaris asal Taiwan. Selama kurang lebih 30 tahun berkarier, sosoknya dikenal luas di komunitas masyarakat berbahasa Mandarin dan di seluruh Asia Timur, termasuk Jepang.

Dikenal sebagai salah satu dari Lima Diva Agung Asia, popularitas Terese Tang dipengaruhi kemampuannya menyanyikan beragam lagu romatis dalam beberapa bahasa, seperti Mandarin, Inggris, Jepang, Vietnam, Kanton, Hokkien, bahkan Indonesia.

Wanita berparas cantik ini memang nyatanya pernah membawakan sejumlah lagu dalam bahasa Indonesia, mulai dari "Dayung Sampan", "Cinta Suci", "Sekuntum Mawar Merah", dan "Selamat Jalan Kekasih" atau "Good Bye My Love".

Teresa Teng populer berkat lagu-lagunya yang merakyat dan bernada balada romantis. Salah satu lagunya yang sangat terkenal berjudul "Hé Rì Jūn Zài Lái" atau dalam bahasa Indonesia memiliki arti "Kapankah Kau Akan Kembali".

Meski lagu-lagunya sempat dilarang beredar di Tiongkok pada era 1980-an karena alasan politis, popularitasnya semakin tumbuh berkat beredarnya rekaman suara Teresa Teng di pasar gelap.

Tak hanya itu, lagu-lagu Teresa Teng pun semakin populer dan terus dimainkan di mana-mana, mulai dari klub malam hingga ke gedung-gedung pemerintahan.




TRIBUN-BALI.COM- Nama Teresa Teng menjadi trending dalam pencarian Google hari ini, Senin (29/1/2018).

Dilansir TribunTravel.com dari laman Wikipedia, Teresa Teng adalah seorang penyanyi legendaris dari Taiwan.

Asia Timur hingga Jepang telah mendengar suara merdunya selama kurang lebih 30 tahun.

Lagu-lagunya yang merakyat dan bernada Belanda romantis menjadi daya tarik bagi para pendengar setianya.

Beberapa lagu yang sempat direkam oleh Teresa antara lain "Kapankah Kau Akan Kembali (pinyin: Hé Rì Jūn Zài Lái).

Tak hanya merekam beberapa lagu berbahasa Mandarin, ia juga mengabadikan suaranya dalam berbagai lagu berbahasa Hokkien, Kanton, Jepang, Indonesia dan Inggris.

Saat karirnya berada dipuncak, penyanyi kelahiran 29 Januari 1953 ini meninggal di usia 42 tahun (43 tahun menurut Kalender Tionghoa).

Teresa Teng meninggal dunia akibat serangan asma akut ketika sedang berlibur di Chiang Mai, Thailand.

Pemakamannya dilakukan bak seorang pahlawan di Taiwan.

Bendera Taiwan menutupi peti matinya dan presiden Taiwan yang menjabat saat itu, Lee Teng-hui, turut menghadiri pemakamannya.




TRIBUN-TIMUR.COM - Penyanyi legendaris asal Taiwan , Teresa Teng , berulang tahun pada hari ini, Senin (29/1/2018).

Google pun merayakannya melalui sebuah  doodle  pada laman mesin pencari.

Teresa Teng digambarkan memakai gaun putih sembari bernyanyi dengan microphone yang masih berkabel.

Nuansa warnanya dibuat keunguan, mendeskripsikan suasana syahdu dan klasik dari tembang-tembang Teresa Teng yang romantis.

Salah satu lagunya yang paling terkenal berjudul “Hé Rì J?n Zài Lái” atau dalam Bahasa Indonesia “Kapankah Kau Akan Kembali”.

Ia berkarya selama lebih kurang 30 tahun dan sohor di kalangan masyarakat Asia.

Teresa Teng meninggal dunia akibat serangan asma akut pada 8 Mei 1995 saat berusia 42 tahun.

Presiden Taiwan kala itu, Lee Teng-hui, bahkan hadir ketika ia dikebumikan.

Kendati meninggal, nama Teresa Teng masih besar hingga sekarang berkat karya-karyanya yang berkarakter kuat.




Pop star Teresa Teng, whose fame bridged political divides across China in the 1970s and 1980s, was renowned for her multi-lingual songbook and tear-jerking love ballads. Today, on what would have been the singer’s 65th birthday, Teng is celebrated with a Google Doodle.

Teng was born on Jan. 29, 1953 in Taiwan, and became a breakout star in Japan in the 1970s. Known as one of the “Five Great Asian Divas,” Teng was celebrated across Asia for her melancholy love songs, including “I Only Care About You,” “When Will You Return?” and “The Moon Represents My Heart,” portrayed in Monday’s Doodle. Taiwanese songwriter Tsuo Hung-yun called her voice ”seven parts sweetness, three parts tears.”

Despite geopolitical tensions, Teng was a sensation across the straits, where she offered “an alternative to the mostly revolutionary songs then prevalent in mainland China,” according to Google. Known in Chinese as Deng Lijun, Teng shared a family name with Chinese President Deng Xiopiang, leading fans to nickname her “Little Deng” and giving rise to the aphorism, “Deng the leader ruled by day, but Deng the singer ruled by night.”

uang Xiaogui, 100 years old, poses with a wax figure of Teresa Teng at Madame Tussauds on in Wuhan, China on Oct. 11, 2013. VCG—VCG/Getty Images H

But Teng never performed in mainland China, and her music was banned there in the early 1980s. She was a supporter of democracy and following the 1989 Tiananmen Square massacre in Beijing, she performed concerts for the student protesters, the New Yorker reports. Her music proved “a litmus test of the political winds” in China, according to an obituary in the New York Times.

Teng herself never married, though she was linked to a few high-profile romantic partners, including film star Jackie Chan, and she died unexpectedly following an asthma attack while on holiday in Chiang Mai, Thailand in 1995, at the age of 42. But neither Teng’s music nor her cultural impact have been forgotten, and in 2013 she was reborn for an audience of 15,000 in Taipei, where a hologram accompanied some of the singer’s greatest hits.

Total comment

Author

fw

0   comments

Cancel Reply